Seperti rumput liar, berapa kali pun dipangkas, mereka tetap akan muncul kembali dan bahkan lebih subur dari sebelumnya. Seperti itulah sosok Bian dalam bayangan Lera, semakin ditolak maka semakin menjadi saja tingkahnya.
"Bian sialan! Brengsek!"
Makian itu keluar dari mulut Lera untuk yang ke 87 kalinya dalam 3 jam ini. Chika yang melihat tingkah sahabatnya tersebut hanya bisa geleng kepala.
"Kenapa ada manusia seperti dia sih?"
Itu bukan pertanyaan untuknya, Chika tahu. Lera hanya sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Jadi dia tidak menggubrisnya sama sekali.
"Aku yakin dia itu psikopat!"
"Jadi kau akan bekerja untuk psikopat itu, Le?"
Lera mengangkat kepalanya yang semula berbaring lemas di lengan sofa. Ia melirik Chika yang sibuk membongkar belanjaan lalu menatanya ke dalam lemari es. Demi apapun Lera sangat bersyukur memiliki —setidaknya satu orang yang masih waras ditengah kegilaan— Chika yang begitu pengertian. Setidaknya untuk beberapa hari kedepan Lera tidak perlu khawatir perutnya akan kelaparan.
"Apa aku punya pilihan lain?" sahut Lera tidak bersemangat.
"Ada."
"Apa?"
"Memohon pada Omah Sinta?"
"Tck, lupakan." decak Lera seraya mengibaskan tangan.
Apa sih yang bisa diharapkan dari neneknya yang kejam itu? Tentu saja tidak ada!
"Kenapa tidak dicoba dulu? Aku rasa Omah akan luluh kalau cucu perempuan satu-satunya datang ke rumah dan meminta maaf?"
Apa Chika bilang? Omah Sinta luluh? Yang benar saja! Hati wanita itu itu bahkan lebih keras dari batu karang kalau Chika ingin tahu.
"Chika, kau tidak tahu bagaimana Omah sebenarnya. Wanita tua itu tidak mudah untuk diluluhkan. Kalau aku datang ke rumah, itu sama halnya dengan menggali kuburku sendiri."
Chika hendak menimpali pendapat Lera tentang Nyonya besar Estanbelt tersebut. Oke, Chika memang hanya orang asing di keluarga itu, dia belum lama dan belum cukup mengenal sang Nyonya besar, akan tetapi ... dari beberapa interaksi dan konversasi yang pernah ia lakukan dengan Sinta, Chika bisa merasakan bahwa dibalik wataknya yang keras; ada hati yang begitu lembut. Tatapan wanita tua itu tidak sedingin ekspresi wajahnya dan tutur katanya tidak sekeras wataknya. Namun, melihat sikap Lera yang defensif membuat Chika kembali menelan argumennya tersebut.
Selesai memasukkan bahan-bahan kebutuhan makanan ke dalam lemari es, Chika segera menghampiri Lera di ruang tengah. Gadis itu sedang berbaring di sofa sambil menatap plafon rumah dengan tatapan menerawang.
Chika masih ingat saat ia datang ke tempat ini dua bulan lalu. Ruang tengah ini terisi berbagai perabot mahal, televisi yang sangat besar, karpet mewah dan masih banyak lagi. Sangat kontras dengan keadaan saat ini, ruangan terasa lebih luas, lebih hampa karena semua perabot itu entah berpindah kemana, hanya menyisakan sofa yang tidak semewah waktu itu.
Berada di situasi seperti ini, Chika pernah mengalaminya, bahkan jauh lebih buruk dari Lera karena saat itu dia bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Perasaan begitu frustasi membuatnya berpikir untuk bunuh diri.
Namun Lera? Lihat, gadis manja itu bahkan terlihat begitu tegar dengan semua tekanan yang dihadapi saat ini. Sosok yang terbiasa hidup mewah itu tidak seperti dirinya yang mudah sekali menyerah dengan keadaan. Chika merasa ... malu.
"Apa yang harus aku lakukan agar Bian melepaskan ku?" tanya Lera.
"Kalau kau ingin Bian melepaskan mu, buat dia tidak menginginkanmu, buat dia muak padamu."
"Tapi bagaimana caranya?"
"Membuat onar di perusahaannya? Bekerja asal-asalan?"
Lera mengerutkan keningnya seraya menatap Chika di sofa sebrang tidak percaya. "Maksudmu agar aku dipecat?" Melihat anggukan Chika membuat Lera paham akan maksudnya. "Wow, Chika, tinggal serumah dengan Emo membuatmu cukup cerdik ya."
"Apa hubungannya sih?!" protes Chika, "dari dulu aku sudah cerdik tahu."
"Nope, kalau kau cerdik, kau tidak akan ditipu oleh Nate."
"Lera tutup mulutmu!!!" omel Chika karena sahabatnya itu kembali mengingatkannya pada pria brengsek yang meninggalkannya di saat ia terpuruk.
Lera tergelak ditempatnya, "Sudah jangan sedih, jangan bimbang. Sekarang kau sudah mendapatkan pria yang jauh lebih tampan, lebih kaya dan lebih brengsek dari Nate, kawan."
"Lera, kau benar-benar ya!"
...----------------...
Bian mengayunkan kedua kakinya dengan cukup percaya diri, ia bahkan tidak merasa takut akan tersesat diantara rak-rak buku yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Sebaliknya, pria itu justru merasa terlempar kembali pada masa-masa itu. Masa saat ia berjuang keras agar bisa mendapatkan angka-angka fantastis untuk akademik-nya.
Sudut bibir Bian tersungging kecil, kedua matanya terpejam bersamaan dengan rongga dadanya yang mengempis karena menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Wangi kertas usang di antara rak-rak itu ... Bian merasakan perasaan rindu bercampur sakit secara bersamaan.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Suara seorang perempuan mengusik ingatan kelamnya. Bian membuka matanya perlahan. Perempuan yang mengusiknya tadi ... Fallen, dia tengah berdiri di hadapannya dengan senyum geli.
Bian menghela napas sekali lagi. Emosi yang sempat keluar lekas ia simpan dengan rapi. "Perpustakaan? Seriously?" tanyanya bersamaan dengan satu alisnya yang terangkat tinggi.
Sejak membaca pesan yang dikirimkan Fallen setengah jam lalu, Bian tidak bisa memungkiri rasa penasarannya. Bukan apa-apa, melihat bagaimana gaya hidup seorang Fallen selama ini, perpustakaan jelas bukan spot favorit gadis itu untuk dijadikan tempat hang out atau kencan.
"Hey, aku cukup sering nongkrong di sini, apalagi kalau sedang ada tugas menumpuk." sungut Fallen, dia sedang mencoba membela dirinya sendiri.
Mengindahkan ocehan Fallen, Bian kembali melangkah, iris kelam pria itu bergerilya dengan leluasa. Ada beberapa titik yang menarik perhatiannya sejak ia pertama kali memasuki area public library ini. Beberapa pria bertubuh tegap dengan stelan semi formal membuat Bian yakin kalau mereka bukanlah petugas keamanan gedung ini.
"Siapa mereka?" tanya Bian, dia berhenti di salah satu rak dan mengambil satu buku secara random dari sana.
Fallen yang berdiri memunggungi Bian —sambil berpura-pura mencari buku di rak lainnya— lekas menyahut dengan suara rendah, "Jangan menatap mereka."
"Kau punya hutang?"
"Tidak."
"Lalu?"
Fallen kembali menutup buku —yang baru saja dibukanya— cukup kasar hingga menimbulkan suara 'Bam' yang lumayan keras.
"Mereka orang-orang suruhan Papa."
Entah mengapa informasi itu sama sekali tidak membuat Bian terkejut. Justru Bian akan kecewa jika pria tua itu sama sekali tidak melakukan apapun di saat anak gadisnya berada dalam kendalinya.
"Aku tidak tahu kenapa Papa mengirimkan orang-orang itu untuk menjagaku. Tck, itu adalah hal paling konyol yang pernah Papa lakukan selama 21. tahun aku hidup."
Bian berbalik, punggung lebarnya bersandar santai pada rak buku di belakangnya. "Kata orang, tingkat keproktektifan seorang ayah akan meningkat 10 kali lipat saat mengetahui putri kesayangannya mempunyai seorang kekasih." gumamnya seraya menerawang, membayangkan seseorang yang mungkin kepalanya tengah berasap.
"Itu konyol." desis Fallen, "Papa tidak bisa melakukan itu. Aku bukan lagi anak perempuan berusia lima tahun yang harus selalu dia awasi. Look, aku sudah dewasa, umurku sudah menginjak 21 tahun. Lagipula apa yang harus Papa khawatirkan dari kekasihku yang baik ini kan?"
"Baik?" tanya Bian sambil menunjuk dirinya sendiri dan anggukan Fallen membuat pria itu ingin terbahak jika saja tidak ingat dimana mereka saat ini.
Fallen tidak sepolos itu kan? Jangan bilang ini karena aktingnya yang terlalu bagus dan rapih sampai Fallen tidak bisa membedakan antara kebaikan dan kelicikan seseorang?
Ngomong-ngomong soal keproktektifan, Bian ingin mengetahui sesuatu. "Kalau saja kau punya saudari perempuan, aku rasa keproktektifan Ayahmu akan terbagi dengannya?"
Walaupun tidak dapat melihat bagaimana ekspresi Fallen saat ini, namun Bian cukup tahu dari bagaimana jemari lincah itu berhenti membolak-balikkan halaman buku, juga bagaimana kedua bahu itu menegang kemudian merosot seperti semula. Jadi ... apakah Fallen ingat sosok itu?
"Semalam Papa menelpon seseorang untuk mencaritahu latarbelakang mu."
Mengalihkan pembicaraan huh?
"Oh ya?"
Itu kabar yang cukup mengejutkan. Bian tidak menyangka kalau pria tua itu akan bertindak secepat ini, lebih cepat dari dugaannya.
"Aku masih belum tahu kenapa Papa melakukan itu dan untuk apa, tapi aku rasa harus memberitahu mu." ujar Fallen, namun pria yang ia ajak bicara tidak begitu mendengarkannya. Bian terlihat sedang memikirkan sesuatu yang serius jika dilihat dari ekspresi wajahnya. Meletakkan buku yang tadi —pura-pura— dibacanya ketempat semula, Fallen kemudian menghampiri Bian dan menyentuh pipi kanan pria itu. "Bian, hati-hati oke?
"Tentu saja." jawab Bian seraya mengambil tangan Fallen dari pipinya kemudian menggenggam tangan yang lebih kecil darinya itu, memberikan sedikit remasan lembut.
Menolah ke belakang, Bian melihat orang-orang suruhan itu tengah menatap mereka berdua. Haruskah Bian sedikit bermain dengan mereka? Kalau sampai Fallen menghilang dari jangkauan mereka, pria tua itu pasti akan meledak kan?
"Kau sudah makan siang?" Bian bertanya, ia harus mencairkan suasana hati Fallen yang mungkin sedang terbebani.
Fallen berbalik, kedua matanya berbinar bahagia. "Belum."
"Mau makan siang denganku?"
"Sangat! Tapi ... bagaimana dengan mereka?"
Bian menyeringai, "Aku tahu pintu keluar rahasia." ujarnya seraya menarik tangan Fallen untuk mengikutinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments