TING!
Lift berdenting ketika mencapai lantai 3. Seorang pria berjalan keluar dari dalam sana, iris pekatnya menyorot dengan percaya diri, aura tegas dan dingin menguar di sekelilingnya, kaki panjangnya terus melangkah, merespon beberapa sapaan dari pegawainya yang kebetulan berpapasan dengan anggukan kepala.
Bian Atmaja, pria berdarah dingin itu tengah mengecek ponsel pintarnya. "Apa jadwalku hari ini?" ia bertanya pada sosok yang sedari tadi berjalan di belakangnya saat tidak menemukan email masuk terkait agenda hariannya.
Pria yang lebih tua 10 tahun darinya itu lekas membuka tablet yang sedari tadi dibawanya. "Ada rapat dengan tuan Nichole tepat saat jam makan siang." David membacakan schedule hari ini, "setelah itu ada pertemuan dengan salah satu client untuk membahas skema proyek kita yang sedang berjalan di Bandung pada jam 3 sore."
Menatap jam di pergelangan tangannya, Bian mendengkus kesal. Ini bahkan sudah jam 11 siang, bagaimana bisa David tidak memberitahunya sejak pagi tadi?
"Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang." Bian mulai mengeluh. "Ada lagi?" ia kembali bertanya.
David kembali menatap tab, "Lima menit lagi Anda harus memimpin rapat dengan beberapa divisi untuk membahas beberapa proyek yang harus segera dijalankan."
Pria itu mengangguk, dia lupa jadwal yang itu padahal kemarin sore dia sendiri yang mengirim email kepada stafnya untuk mengikuti rapat bulanan hari ini. "Semua orang sudah ada di ruang rapat?"
David mengangguk, "Mereka sudah menunggu sejak 15 menit lalu."
Sebuah erangan berhasil lolos dari Bosnya. David yakin kalau pria itu merasa kesal pada dirinya sendiri karena telat. Itu lebih seperti ... menjilat ludah sendiri?
Jika ada orang yang harus disalahkan, itu tentu saja Lera!
Benar, seandainya dia tidak merasa iba saat melihat cucu keluarga Estan yang terlihat menyedihkan di sepanjang trotoar satu jam lalu, dia tentu akan datang tepat waktu.
Lera ... entah mengapa gadis itu memiliki sesuatu yang membuat Bian sedikit terusik mengesampingkan bahwa dia adalah anak dari seseorang konglomerat.
Dari cara gadis itu menatapnya dengan kebencian yang segunung, cara bicaranya yang jauh dari kata manis dan ramah, ada hal lain yang lebih membuatnya tertarik pada gadis itu namun Bian tidak tahu itu apa.
Bian menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangan yang bertuliskan meeting room, ia berbalik dan menatap kaki tangannya. "David ...." panggilnya dengan ekspresi tidak yakin.
"Ya, tuan?"
Bian mengerutkan kening, ia sedang menimbang-nimbang apakah dirinya harus meminta David untuk melakukan hal ini atau tidak. Akan tetapi, kalau ia tidak segera mengetahui apapun tentang gadis itu ... sudah dipastikan ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.
"Bisakah kau membantuku untuk mencari tahu tentang cucu perempuan keluarga Estanbelt"
"Keluarga Estanbelt? Nona Lera?"
Bagaimana dia bisa tahu?
Bian menatap David ngeri. Padahal dia tidak pernah bercerita apapun tentang Lera padanya, lalu dari mana David tahu kalau cucu perempuan yang ia maksud tadi adalah Lera?
David tersenyum melihat ekspresi bosnya yang terlihat kaget. Walaupun ia belum begitu lama bekerja untuk pria itu, namun David cukup mudah untuk membaca atasannya karena semua yang pria itu rasakan akan tergambar dengan jelas dari ekspresi wajahnya.
Kalau tidak salah, dia mendapati bosnya tersebut lebih sering tersenyum sejak insiden kemarin siang; saat dia membantu gadis asing mengambil sebuah layang-layang di sebuah taman. Entah karena insting atau apa, tanpa diminta dia sudah lebih dulu mencari tahu identitas gadis itu.
"Saya akan menyiapkan informasi tentang Nona Lera paling lambat malam ini."
Bian menggaruk belakang kepalanya canggung, "Kabari aku kalau sudah dapat." ucapnya sebelum mendorong pintu kaca buram di depannya.
Suasana ruang rapat yang semula agak gaduh langsung senyap bersamaan dengan pemimpin mereka yang masuk ke dalam ruangan. Tidak lekas berbicara, pria itu sedang sibuk mengedarkan iris kelasnya ke seluruh ruangan, dia sedang mengabsen bawahannya dalam diam.
"Selamat siang semuanya ..." sapa Bian setelah selesai melakukan kegiatan rutinnya.
Pria itu berjalan ke arah kursi tepat di ujung meja, khas kursi seorang pemimpin perusahaan pada umumnya dengan meja panjang yang sudah dipenuhi pegawai dari beberapa divisi.
"Ada beberapa hal yang akan saya bahas di sini, tentunya mengenai beberapa proyek besar yang berhasil kita menangkan."
.
.
.
"Kenapa hidupku mendadak sial sekali sih?" keluh Lera.
Sudah semua asetnya disita oleh Nyonya besar Estan, handphone satu-satunya yang lolos dari sitaan pun kini rusak. Sialnya lagi, Lera sama sekali tidak mempunyai backup kontak-kontak penting, semua nomor ia save pada memory telepon bukan memori SIM-card.
Aditama, Lera sangat ingin menghubungi sah Ayah dan menyerangnya dengan senjata paling ampuh -sebut saja air mata buaya- yang di jamin akan sukses meluluhkan kekerasan hati orang tua itu. Tapi sialnya, gara-gara si br3ngsek Bian yang sok tampan itu harapan Lera satu-satunya kini pupus sudah.
Demon maupun Sinta, mereka tentu saja memiliki nomor handphone ayahnya, tetapi rasa marah dan gengsi membuat Lera enggan untuk memohon pada dua orang itu. Lagian kalau Lera memohon pun tidak menjamin sang Nyonya besar akan memberitahunya, begitu juga dengan Demon.
Kalau sudah begini, Lera jadi berpikir negatif, sebenarnya dia memang benar-benar cucu keluarga Estan atau hanya cucu pungut? kenapa sang Nenek memperlakukan dirinya dengan sangat tidak adil?
"Serius deh Chik, aku tidak mengerti jalan pikiran mereka." oceh lera setelah terdiam cukup lama.
Mereka sedang nongkrong di kantin kampus, tepatnya Lera yang menyeret paksa Chika untuk membelikannya makan.
Sebenarnya Chika tidak keberatan untuk mentraktir Lera karena sahabatnya itu juga sering mentraktirnya disaat dia tidak punya uang dulu. Akan tetapi, kalau pesanan Lera sebanyak itu, jiwa miskin chika meronta tidak terima, dia bisa membayangkan dompetnya akan mengempis dalam sekejap.
"Mereka siapa, Le?"
Lera mencabik daging di atas piringnya seperti sedang mencabik-cabik musuh bebuyutan. "Siapa lagi kalau bukan Omah dan suamimu!" sungut Lera sebelum masukkan daging yang barusan dicabiknya ke dalam mulut, membuat efek kunyahan dramatis.
Chika menaikkan satu alisnya, "Omah dan Emo? Memangnya apa yang sudah mereka lakukan padamu?"
"Tidak usah pura-pura kaget begitu! Aku yakin kau sudah mendengar rencana jahat mereka kan?" sungut Lera, tatapannya saat ini berfokus untuk mengamati ekspresi sang sahabat.
Walaupun tidak ahli, namun Lera cukup tahu bagaimana caranya untuk menilai kejujuran seseorang hanya dengan mengamati mimik wajah maupun gerak matanya.
"Rencana apa?" tanya Chika, dia benar-benar tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu maksud ucapan Lera.
Lera memejamkan kedua matanya, "Serius kau tidak tahu?" tanyanya kembali namun gelengan kepala Chika membuat kekesalannya pada gadis itu mereda.
Setidaknya ia tahu kalau Chika bukan bagian dari mereka dan setidaknya ia masih memiliki satu orang yang akan menjadi penyelamatnya di tengah krisis ini. "Omah, Emo dan juga Ayahku telah berkomplot untuk membuatku sengsara!" ia memberitahu.
Chika mengerutkan kening sambil menatap Lera tidak percaya. Benar, rasanya agak mustahil jika mereka melakukan hal itu pada cucu perempuan satu-satunya keluarga Estan. "Benarkah? Memangnya apa yang sudah mereka lakukan padamu, Le?"
"Look at me, Chika!"
"I am."
Lera mengeluarkan dompet dari tas anyam besar miliknya, gadis itu menunjukkan isi dompet yang hanya berisi satu lembar uang ratusan ribu. "Mereka telah membuatku miskin, Chika. Sangat miskin kalau kau ingin tahu!" sungut gadis itu, "dan lihat pakaianku!"
Chika melakukan apa yang sahabatnya suruh, ia tengah mengamati apa yang dikenakan Lera hari ini. Well, memang agak berbeda dari biasanya. Tidak ada dress mahal yang biasanya membungkus tubuh semampai Lera, yang gadis itu kenakan hanya sebuah kaus polos yang kelihatan sudah usang. Tidak ada sepatu hak tinggi yang mengkilap, hanya sepasang kets sederhana.
"Kau lebih casual hari ini, Le." ucap Chika setelah cukup lama mengamati.
Lera memutar bola matanya kesal, "Casual kau bilang? Dengar, ini lebih seperti pengamen jalanan, tahu!" sungut Lera yang disahuti kekehan renyah Chika. "Ya, Tuhan ... aku benar-benar akan gila!" keluhnya kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Devi Damayanti
masuk tanpa izin sama dgn mati.... mati yg nyaman ya bian 😂😂
2020-05-16
0
Al Charos Chiris Afa
lucu
2020-04-12
0