Senin
"Aku tidak suka susu."
Empat kata yang singkat dan jelas!
Sialan!
Lera tahu kalau Bian sengaja melakukan ini padanya. Jelas-jelas tadi pria itu memintanya untuk membuat segelas susu.
Lera menggenggam nampan ditangannya erat, sangat erat. Kalau saja dia tidak takut, nampan berbahan stainless itu sudah ia layangkan ke kepala bosnya —yang brengsek— saat ini juga.
Ini jauh, sangat jauh dari rencananya!
Pada awalnya, ya, pada awalnya ia ingin sekali membuat masalah di hari pertamanya bekerja, membuat Bian pusing sampai pria itu tidak sanggup lagi untuk mempekerjakannya di sini. Akan tetapi, rencananya gagal total. Justru dirinya lah yang sedang dikerjai oleh pria sinting itu.
"Jelas-jelas tadi kau minta susu!"
"Tidak."
Lera menggulirkan iris coklatnya menuju sosok pria yang berdiri tak jauh dari posisi Bian saat ini. "Tadi bos mu bilang mau susu kan?"
"Benar kah David?" tanya Bian ada kaki tangannya tersebut.
Lera memutar bola mata sebal. Dia jelas tahu bahwa tidak akan ada seorang pun yang membelanya di tempat sialan ini. Tentu saja David akan memihak orang yang menggajinya alih-alih dirinya, kecuali David siap dipecat.
"Kalau kau tidak suka susu, lalu kenapa kau menyuruhku membuatnya?" sungut Lera.
Membuat susu memang tidak sesusah memasak nasi goreng, akan tetapi ... ruangan Bian itu di lantai tiga, sedangkan pantry kantor ada di lantai dasar. Jalan bolak-balik dari lantai dasar ke lantai tiga itu butuh tenaga. Walaupun naik lift, tapi tangannya pegal loh bawa-bawa nampan dengan gelas di atasnya.
"Jadi sebenarnya Anda mau minum apa, T.U.A.N?" tanya Lera lagi dengan nada dongkol.
Bian mengalihkan tatapan dari dokumen yang tengah dibacanya, ekspresinya terlihat sedang berpikir padahal Lera tahu kalau itu hanya pura-pura. "Kau bisa balik ke sini 15 menit lagi, aku ingin memikirkan apa yang ingin aku minum lebih dulu." ujarnya dengan tatapan menyebalkan.
Dia bercanda yah?
Lera memejamkan matanya sejenak seraya menarik napas dalam sebelum menghembuskannya cukup kasar, "Baiklah." responnya diiringi senyum kecut.
"Aaaargh, dasar brengsek!" teriaknya dalam hati, "Kaca mobil sialan!"
Kalau tidak ada insiden kaca retak, maka dirinya tidak akan berada di sini.
"Kau masih mau memandangi wajah tampanku?"
"Apa?"
Lera mengerjap, ia baru sadar bahwa dirinya masih berada di ruangan terkutuk itu. Wajah puas itu, Lera sangat ingin memukulnya, sungguh. Tapi kalau dirinya melakukan itu, maka ia kalah dan Bian akan semakin puas karena berhasil memancing emosinya.
"Kau sama sekali tidak tampan!" ucap Lera sebelum menyeret kedua kakinya keluar dari ruangan itu.
...----------------...
Selasa
"Mana kopi pagiku?"
"Kau mau kopi? Sepagi ini?" Lera menatap Bian tidak percaya. Jarum pendek bahkan belum menyentuh angka delapan. Emo, sepupunya juga penggila kopi, tapi tidak sepagi ini juga dia meminum minuman berkafein itu.
Bian mengendikkan bahu, "Wow, kau mulai perhatian padaku?"
"Jangan ge'er! Aku hanya merasa kasihan pada lambung dan ginjalmu, bukan dirimu!" sahut Lera.
"Catat baik-baik, gula hanya 2 sendok teh."
"APA? DELAPAN SENDOK?"
"Leraaaa!"
"Ya, ya, ya hanya dua sendok kan?"
Apa Lera harus mengakui ini? Mengakui kalau dirinya sedikit terhibur saat mendengar Bian menggeram. Ingatkan Lera untuk mencari trik-trik membuat Bos kesal lagi di internet.
...----------------...
Rabu
"Lera ambilkan selotip!"
"Lera ambilkan stempel!"
"Lera, apa menu makan siang untuk hari ini?"
Lera menatap Bian dengan tatapan —apa aku juga harus memikirkan menu apa yang harus kau makan? Sebenarnya aku ini apa? Cleaning servis? Sekertaris atau pembantu pribadi mu huh?
Dasar bos sialan! Pria sinting! Psikop4t gila!
Dia ingin memberikan semua umpatan itu, benar-benar ingin. Tapi alih-alih kata umpatan, dia justru bicara ... "Nasi Padang enak, murah dan kenyang!"
"Oke."
Seriusan? Dia benar-benar akan memesan nasi padang?
...----------------...
Kamis
Tatapan yang menajam dan ekspresi wajah kaku penuh amarah tertahan itu membuat Lera merasa tidak nyaman sekaligus terancam. Ini kali pertamanya melihat emosi Bian yang lain dari biasanya. Pria itu bahkan lebih marah dari terakhir kali ia bicara sembarangan tentang Ibunya, tidak main fisik, dia hanya diam tapi menurutnya itu jauh lebih mengerikan.
Ya, biasanya pria itu hanya berteriak atau mengomel setiap kali melihat kekacauan yang dibuatnya. Namun kali ini berbeda, sejak pertama kali dia masuk ke dalam ruangan ini Bian hanya diam, akan tetapi auranya menakutkan.
Mengigit bibir bawah, melirik sekali lagi, Lera kemudian membuka mulut. "Maaf." ucapnya lirih. "Aku tidak tahu kalau kopinya akan tumpah di sana." Ia coba memberikan penjelasan atas apa yang terjadi.
Bian menghembuskan napas, benar, napas yang sangat kesal. Kalian pasti bisa membayangkan bagaimana suara hembusannya. "Jangan kau pikir melakukan hal ini akan membuatmu dipecat, Lera!"
Itu adalah kalimat pertama yang pria itu katakan setelah 30 menit bungkam seperti patung. Iris kelopak kecoklatan Lera melebar akan pernyataan itu.
"Kau pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku terpeleset dan tidak sengaja menyenggol kopi mu, sungguh." dia sedang memberikan penjelasan yang sepertinya sia-sia karena pria itu sama sekali tidak menggubrisnya.
Ya Tuhan .... Lera memang menginginkan tidak bekerja di sini, tapi Lera tidak sepicik itu sampai melakukan hal yang merugikan apalagi Lera dengar itu adalah dokumen proyek besar yang sedang Bian garap bersama sepupunya, Demon.
"Tunggu dan lihat hukuman apa yang akan aku berikan nanti!"
Apa itu ancaman untuknya?
Lera mengerucutkan bibir. Oke, Lera tidak akan kabur, ayahnya tidak mengajarkan dirinya untuk menjadi pengecut. Lera akan bertanggungjawab atas apa yang sudah ia lakukan.
"Ya, ya, aku tidak akan kabur, tenang saja."
Bian pergi sambil membawa dokumen basah berwarna kecoklatan itu keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi.
...----------------...
Jum'at
Dari ketujuh hari yang ada, Lera sangat menyukai hari ke lima ini, hari Jum'at. Aaa ... kapan terakhir kali ia merasa begitu bahagia? Saat mendapat hadiah mobil baru dari Ayahnya?
No, no!
Menurut gadis berambut kuncir kuda tersebut hari ini jauh lebih membahagiakan dari sekedar mendapatkan mobil baru. Senyumnya bahkan masih terpatri di bibirnya sejak satu jam lalu.
"Tante Lera sakit gigi ya?"
Bocah laki-laki yang duduk di depannya mengerutkan kening heran.
"Tidak." jawab Lera pendek. Kerutan di kening Erry justru semakin bertambah setelah mendengar jawaban dari tante-nya tersebut.
"Terus kenapa mulut Tante Lera meringis begitu sejak tadi?"
Meringis?
Lera segera mencari cermin kecil dari dalam tasnya kemudian segera mengecek ekspresi wajahnya saat ini. "Ini senyum, Erry. Bukan meringis!"
Chika hanya bisa terkekeh melihat dua orang di ruang tengah itu. Lerry dan Lera, dua orang itu tidak pernah bisa untuk tidak berdebat setiap kali berada di satu ruangan yang sama.
"Tapi itu mengerikan Tante Lera, kalau ada anak lain yang lihat, mereka pasti langsung menangis atau lari sambil mengompol karena takut!"
"Lebay deh, anak sama bapak sama saja kalau bicara, tidak berperasaan!" gerutu Lera.
Erry cekikikan, dia berhasil membuat tantenya mengomel. Seminggu tidak bertemu dengan tantenya tersebut, rumah rasanya sepi, sunyi dan tidak asyik.
"Kenapa kau datang kemari, Le? Memangnya tidak bekerja?" Chika datang ke ruang tengah sambil membawa minuman dan camilan.
"Aaah segaaaar ...." desah Lera setelah tenggorokannya diguyur minuman bersoda. "Tidak ada hal bisa aku kerjakan di sana karena tukang suruhnya tidak ada."
"Bos mu tidak masuk?"
"Em-hem, itulah alasan kenapa aku di sini. Kalau si brengsek itu ada di kantor, jangankan bisa rebahan, duduk saja tidak akan bisa."
Entah Lera harus bersyukur atau tidak dengan pekerjaannya saat ini. Walaupun Bian cukup rese dan kadang tega, tapi untungnya si brengsek itu tahu batasannya. Ruang lingkup pekerjaannya hanya sebatas ruangan Bian saja, tidak di area lainnya. Maka dari itu, sebagian pegawai OB —Lera yakin— tidak menyukainya. Mereka merasa ada diskriminasi pekerjaan. Tapi Lera tidak peduli selagi dia tidak dipekerjakan untuk menggosok toilet.
"Memangnya kau kerja di bagian apa?"
"Banyak, jadi tukang sapu, tukang pel, tukang bikin kopi dan sekertaris dadakan si brengsek itu!"
"Brengsek itu apa?"
Oops! Lera lupa kalau di sini ada anak kecil.
Lera lihat Erry sedang fokus menonton film kartun, tapi entah kenapa bocah itu bisa mendengar ucapannya.
Telinga anak itu bisa terbagi-bagi ya fokusnya?
"Bunda?" Erry beralih menatap Chika, tatapannya syarat akan rasa penasaran.
"Tampan!" seru Lera.
"Tampan?" gumam Erry sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba memahami dan mengerti arti kata itu. "Berarti Ayah Emo dan Ery sangat brengsek dong Tante Lera? Ya, kan Bunda?"
APA???
Chika dan Lera sama-sama tertegun, mereka hanya bisa bertukar pandang sambil meringis. Semoga saja Erry cepat melupakan kata itu dan tidak pernah mengatakan di depan Emo secara langsung atau mereka berdua akan mendapat masalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments