NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERMINTAAN

Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar ruang makan jatuh membentuk garis-garis lembut di atas meja panjang dari kaca yang mengkilap.

Dari arah dapur, Bik Yuni, seorang pembantu membawa makanan dan mulai sibuk menata sarapan dengan rapi—roti panggang, buah segar, telur orak-arik, dan beberapa pilihan lain. Aroma teh jahe hangat pun perlahan memenuhi ruangan, namun tetap tak mampu mengurangi ketegangan halus yang menyelimuti udara.

Ratna sudah duduk lebih dulu, punggungnya tegak sempurna, menyendokkan sedikit oatmeal ke piringnya. Wajahnya tampak tenang, hampir terlalu tenang, seperti seseorang yang sudah siap menilai segala sesuatu—termasuk mereka yang baru datang.

"Pagi semua," Sapa Adit.

Ratna tak menjawab. Matanya hanya mengunci gerak Asha, begitu juga dengan Maya, lengannya sibuk mengolesi lembar roti tawar lalu melahapnya perlahan.

"Pagi, Om… Tante.” Lilia mengucapkannya pelan sambil duduk di hadapan Maya, ibunya—di sisi kiri meja.

Saat Adit dan Asha akhirnya duduk di kursi yang berdekatan, suasana meja berubah sedikit. Tidak ada yang berbicara, namun semua orang merasakan perubahan kecil itu—tegang, seolah ada gelombang baru yang masuk ke ruangan.

Begitu Asha menarik kursinya, Lilia mengangkat wajah. Matanya langsung menangkap tatapan Maya, ibunya. "Ma, hari ini kita jalan-jalan, yuk! Aku pengen beli es krim, Ma..."

“Ya ampun, Lilia…” Dengus Maya akhirnya, nada suaranya datar namun penuh peringatan halus.

Ia tidak menoleh pada putrinya. Tidak sekali pun. Matanya masih tertuju pada roti yang baru saja ia sobek perlahan, seolah perhatian penuh lebih ia berikan kepada remah-remah di piring daripada pada putrinya sendiri. "Kamu gak tahu kalau Mama setiap hari selalu sibuk?! Kalaupun Mama pengen pergi jalan atau belanja, Mama gak akan ajak kamu. Soalnya kamu tuh banyak minta di sana! Belum lagi manja-manjanya kamu, bikin Mama gerah tahu, gak!"

Ucapan Maya menghantam lebih keras dari yang seharusnya. Lilia tertegun. Jemarinya yang tadi memegang garpu perlahan melemah, menurunkannya ke meja tanpa suara. Matanya berkedip beberapa kali, berusaha menahan genangan yang tiba-tiba muncul.

Pipi Lilia merona bukan karena marah, tapi karena malu—dan sakit. Ia menunduk, menatap piringnya yang kini tampak buram. Bibirnya mengerucut kecil, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.

“Hmmm—mm.” Adit berdeham kecil, lalu menggeser posisi duduknya sedikit, condong ke arah Lilia. Gerakannya tampak tenang, tetapi jelas ia sedang mencoba menarik perhatian Lilia yang nampak sedih atas jawaban Ibunya. "Lilia mau es krim?" Tanyanya lembut. "Kebetulan Om sama Tante Asha mau jalan-jalan. Lilia nau ikut? Nanti kita makan es krim bareng, gimana?"

Wajah Lilia yang semula muram mendadak berubah. Alisnya terangkat sedikit, bibirnya terbuka tipis seolah tak yakin benar dengan apa yang baru ia dengar. “Beneran, Om?” Tanyanya pelan, ragu namun jelas ada cahaya kecil yang mulai menyala di matanya.

"Iya, dong! Masa Om bohong. Kalau bohong, nanti Allah marah sama Om." Kata Adit, menoleh menatap Asha yang sedari tadi disamping menyimaknya. "Gak apa-apa kan, sayang?"

"Iya gak apa-apa dong, Mas." Jawab Asha dengan senyum tulus memandang wajah gemas Lilia. "Aku justru seneng Lilia bisa ikut sama kita."

Pipi Lilia yang tadi pucat kini berangsur hangat. Tatapan sedihnya melembut, berganti dengan harapan yang berusaha ia tahan agar tidak terlihat terlalu senang—meski sudut bibirnya sudah terlanjur terangkat. "Makasih ya, Tante. Tante cantik, terus baik lagi." Ucapnya meluncur polos, namun penuh ketulusan. Ia menatap Asha dengan senyum kecil yang baru saja kembali menghiasi wajahnya.

Ratna dan Maya spontan saling berpandangan. Tatapan mereka bukan sekadar kaget, lebih pada ketidaksukaan yang mencoba disembunyikan, meski jelas terlihat dari cara mata mereka menyipit sedikit.

Maya menghela napas pelan, sementara Ratna mengangkat alis seakan tak percaya anak sekecil itu berani menunjukkan keberpihakannya di depan mereka.

“Hmmm.” Ratna berdeham pelan namun penuh makna, cukup keras untuk memecah suasana. Sekejap saja, semua kepala serempak menoleh ke arahnya—Adit, Asha, Maya, bahkan Lilia. Namun Ratna tidak memandang mereka satu per satu. Satu matanya yang tajam dan penuh penilaian itu langsung tertuju pada Asha.

“Apa Mama juga boleh ikut?” Ratna bertanya dengan nada ringan—terlalu ringan, sampai-sampai justru terdengar tajam.

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat Asha refleks menoleh. Ia terkejut, tak menduga Ratna akan berkata demikian.

“Kebetulan Mama udah lama nggak jalan-jalan,” Sambung Ratna sambil tersenyum tipis. Bukan senyum hangat seorang ibu, tapi senyum yang terdengar seperti tantangan terselubung. Adit menahan napas sejenak.

Sementara Lilia spontan memandang Ratna. "Sama Oma pasti seru!" Katanya semakin riang. "Gak apa-apa kan, Om?" Matanya melirik Adit.

Adit hanya mengangguk, ragu. "Iya, sayang."

Asha sempat memejamkan mata sepersekian detik, berusaha bersikap tenang meski jelas ia tak siap untuk kemungkinan Ratna ikut serta.

Suasana meja menjadi hening kembali.

Tapi kali ini, heningnya berbeda—lebih padat, lebih menekan.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!