Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Kekhawatiran Narendra
Narendra berdiri di depan pintu bernomor 12-07, tangan kirinya masih memegang kantong plastik berisi obat demam, pereda nyeri, serta bubur instan yang ia beli dalam perjalanan.
Hujan rintik baru saja berhenti, menyisakan aroma dingin koridor apartemen.
Ia mengetuk pelan.
Sekali.
Dua kali.
Hening.
Narendra mengerutkan dahi. Ia mencoba lagi, sedikit lebih keras.
“Livia? Ini saya, Narendra.”
Masih tidak ada jawaban. Tapi tepat ketika ia berpaling, hendak memeriksa nomor pintu sekali lagi, suara batuk terdengar dari dalam, terdengar lemah, seperti seseorang yang menahan sakit dalam diam.
Narendra langsung mengetuk lagi.
“Livia, buka pintunya.”
Hening beberapa detik… lalu terdengar suara langkah kaki pelan, seperti seseorang yang berjalan sambil bersandar pada dinding.
Klik.
Pintu terbuka sedikit, menampilkan wajah Livia yang tampak jauh lebih pucat dari biasanya. Rambutnya berantakan, mata sembab, tubuhnya memerah.
“…Pak Narendra?” suaranya serak, hampir tidak terdengar.
Narendra menahan diri agar ekspresinya tetap netral.
Padahal jantungnya sempat terhenti melihat kondisi gadis itu.
“Kamu tampak sangat buruk,” ucapnya tanpa filter.
Livia memejamkan mata, separuh kesal, separuh tidak punya tenaga untuk marah.
“Apa yang… Bapak lakukan di sini?”
Narendra mengangkat kantong plastik di tangannya. “Mengantarkan ini. Saya dengar, Kamu sakit.”
Livia memegang kusen pintu, tubuhnya sedikit limbung. “Saya nggak butuh—”
Belum selesai kalimatnya, lututnya melemas, tubuhnya oleng.
Refleks, Narendra menangkapnya sebelum ia jatuh.
“Livia!” suaranya meninggi, panik. “Astaga… badanmu panas sekali.”
Livia mengerang pelan. “Saya… bisa sendiri…”
“Kamu tidak terlihat seperti itu,” balas Narendra cepat.
Dengan mudah ia mengangkat tubuh Livia, mendekapnya seolah itu hal paling alami di dunia. Livia tidak melawan; ia bahkan bersandar lemah di bahu Narendra, matanya separuh tertutup.
Narendra masuk ke dalam apartemen Livia, menutup pintu dengan kakinya.
Ia membaringkan gadis itu di sofa, menarik selimut tipis yang tergeletak.
“Kamu demam tinggi,” gumamnya sambil menyingkirkan helaian rambut dari wajah Livia.
“Nggak perlu… begini… nanti istri Bapak—”
“Kamu sakit Livia, jangan keras kepala.” Nada Narendra tajam namun lembut.
Ia berdiri, membuka kantong obat.
“Aku akan buatkan air hangat dan bubur. Kamu diam di sini.”
Livia membuka mata perlahan. “Kenapa… Bapak peduli?”
Narendra terdiam sesaat, ekspresinya berubah.
Karena setiap kali aku melihatmu… aku seperti takut kehilangan sesuatu.
Tapi kalimat itu hanya bergema dalam pikirannya.
Yang keluar hanyalah kalimat yang lebih aman.
“Karena kamu terlihat sendirian dalam banyak hal.”
Livia menutup mata lagi, setengah karena demam, setengah lagi karena perkataan itu menyentuh hatinya.
Narendra melangkah ke dapur kecil Livia, memulai sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan… namun tidak bisa ia hentikan.
Beberapa menit kemudian
Narendra kembali ke ruang tamu dengan semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Livia sudah setengah sadar, matanya berat, tubuhnya menggigil meski diselimuti.
“Livia,” panggil Narendra lembut, lebih lembut dari semua nada suara yang pernah ia gunakan di kantor. “Kamu harus makan sedikit dulu.”
Livia membuka matanya perlahan. “Saya… nggak nafsu makan…”
Narendra duduk di sisi sofa. “Kalau kamu nggak makan, obatnya percuma.”
Ia mengambil sendok, meniup bubur yang masih mengepul.
“Dikit aja. Ayo.”
Livia menghela napas, menyerah. Ia membuka mulut pelan. Satu sendok masuk. Narendra sabar, meniup tiap suapan, memastikan tidak terlalu panas. Setiap kali Livia berhenti, ia menunggu, tak mendesak, tapi juga tak membiarkan gadis itu terbenam dalam ketidakpedulian pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa sendok, Livia menolak halus. “Cukup… saya udah kenyang.”
Narendra mengangguk dan meletakkan mangkuk di meja kecil. Ia mengambil obat, menuangkannya ke telapak tangan Livia.
“Minum ini.”
Livia menurut, meneguk air pelan-pelan. Usai itu, ia bersandar lagi, wajahnya tampak sedikit lebih lega meski masih memerah karena demam.
Narendra merapikan selimut, memastikan kaki dan bahu Livia tertutup. Ia kemudian duduk di lantai, bersandar pada sofa dekat kepala Livia. Jaraknya cukup dekat, cukup untuk Livia merasakan kehadirannya.
“Kenapa… Bapak masih di sini?” tanya Livia lemah.
Narendra tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah pucat itu, alis lembut, bibir pucat, semburat lelah yang tidak pernah terlihat di kantor.
“Aku tidak mau kamu sendirian dalam kondisi begini,” jawabnya akhirnya, jujur, tanpa alasan tambahan.
Livia mengalihkan wajahnya, seolah kalimat itu terlalu berat untuk ditelan.
“Aku cuma… demam. Bukan mau mati,” gumamnya lirih.
Narendra terkekeh kecil, tapi ada kekhawatiran yang tidak pernah hilang dari matanya.
“Demam tinggi, ditambah kamu tinggal sendiri, ditambah lagi… kamu tipe yang suka bilang ‘nggak apa-apa’ padahal sebaliknya.”
Livia memejamkan mata. “Bapak terlalu banyak tau…”
“Aku sudah lumayan cukup banyak tau,” jawab Narendra pelan.
Keheningan turun, hanya terdengar napas Livia yang berat dan suara hujan tipis di luar jendela. Livia mulai terlelap, kelopak matanya turun perlahan. Namun sebelum benar-benar tidur, ia masih berbisik:
“…terima kasih…”
Narendra memandangnya lama, terlalu lama, seolah berusaha menghafal bentuk wajah itu dalam cahaya matahari yang menyelinap masuk di ruang tamu.
“Tidurlah,” ucapnya pelan.
Livia tertidur beberapa menit kemudian, napasnya lebih tenang.
Narendra bangkit, merapikan gorden agar cahaya siang tak begitu masuk, lalu Ia mengambil bantal dari kamar Livia, ia hanya sekilas mengintip ruangan itu, dan kembali ke ruang tamu. Dengan tenang ia duduk di sofa kecil di seberang Livia, melipat tangan di dada, tidak berniat pulang atau kembali ke kantor.
Siang itu, Narendra berjaga dalam diam. Hanya menatap, memastikan gadis itu tidak lagi menggigil, memastikan napasnya teratur, memastikan ia aman.
Sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.
Tapi tidak ada penyesalan di matanya.
Hanya sebuah keputusan yang sudah lama terasa terlalu mudah untuk diambil.
Menjelang sore, cahaya jingga menembus tirai tipis apartemen Livia, membuat ruangan tampak hangat meski udara masih terasa dingin.
Livia terbaring di sofa, wajahnya kini tidak sepucat sebelumnya, pipinya memerah karena suhu tubuh yang perlahan turun.
Obat yang diberikan Narendra mulai bekerja.
Awalnya tubuh Livia menggigil hebat, tetapi kini keringat mengalir perlahan dari pelipisnya, membuat rambutnya menempel di dahi. Selimut yang menutupinya mulai terasa terlalu panas.
Narendra, yang sejak tadi duduk di kursi kecil dekat sofa sambil membaca laporan diponselnya, langsung menoleh saat mendengar gumaman pelan dari Livia.
“Panas…” bisik Livia, menggeliat gelisah.
Narendra berdiri dan mendekat, menyingkirkan sedikit selimut.
“Kamu berkeringat,” katanya pelan. “Obatnya mulai bekerja.”
Livia membuka mata samar-samar, napasnya terengah karena tidak nyaman. “Bajuku… basah…”
Narendra ragu sejenak. Ini bukan tempatnya. Bukan perannya. Tapi melihat keringat menetes dari leher Livia, membuat kaus tipisnya lembap dan menempel pada kulit, ia tahu demam bisa kembali naik jika tubuh Livia dibiarkan seperti itu.
“Livia…,” suaranya turun, penuh pertimbangan. “Kamu perlu ganti baju yang kering.”
Livia memejamkan mata lagi. “Iya… tapi saya… pusing…”
Narendra menarik napas panjang, menahan segala batas yang seharusnya ada.
“Aku bisa bantu. Kalau kamu mau.”
Livia terdiam beberapa detik sebelum membuka mata sedikit, melihatnya dengan pandangan buram. Tidak ada ketakutan, tidak ada kecurigaan, hanya kelelahan.
“Bapak… bantu… sedikit aja,” katanya lirih.
Narendra mengangguk.
Ia pergi sebentar ke kamar Livia, dan menemukan lemari yang separuhnya sudah terbuka, cukup untuk mengambil kaus longgar dan celana pendek bersih. Ketika kembali ke ruang tamu, Livia sudah berusaha duduk tapi kembali jatuh ke bantal, tubuhnya terlalu lemah.
Narendra menelan ludah, menjaga suaranya tetap stabil.
“Aku cuma akan bantu bagian atas. Kamu bisa urus bagian bawah sendiri, kan?”
Livia mengangguk pelan.
Narendra berlutut di samping sofa.
Tangan besarnya bekerja perlahan—hati-hati, sopan, nyaris tidak menyentuh kulit.
Ia membantu Livia duduk setengah bersandar, lalu menarik kaus yang basah oleh keringat, gerakannya kecil dan terkontrol. Livia tidak bereaksi apa-apa selain sedikit meringis karena pusing
Saat ia menarik kaos Livia ke atas, perlahan melepasnya—
Narendra terpaku.
Sangat terpaku.
Punggung Livia tersingkap jelas di hadapannya. Kulitnya yang pucat dihiasi tato bunga mawar merah besar yang memenuhi hampir seluruh punggung, dengan beberapa bunga mawar kecil bertaburan ke arah bahunya. Garis-garis tinta itu indah… namun sekaligus menyiratkan sesuatu yang gelap.
Narendra terdiam beberapa detik.
“Livia…” Narendra berbisik tanpa sadar, suaranya terdengar kaget sekaligus terpesona.
Livia membuka mata sedikit, wajahnya kusut karena demam.
“Kenapa…?”
Narendra buru-buruh menggeleng.
“Tidak apa-apa,” jawabnya cepat, meski tatapannya masih tertahan di punggung itu.
Dalam hati ia bergumam, Apa yang sebenarnya kamu lalui sampai tubuhmu bercerita seperti ini, Livia?
Ia tidak pernah membayangkan gadis pendiam itu memiliki sesuatu se-liar ini, sekelam ini, sekaligus seindah ini.
Karyawan administrasi yang selalu rapi, sopan, dan cenderung menjaga jarak… ternyata membawa dunia lain di balik pakaiannya.
Seolah ada dua versi Livia, yang ia lihat di kantor, dan yang sebenarnya.
Ia tidak menyadari tatapannya terlalu lama sampai Livia bergumam lemah, “Ada apa…?”
Narendra tersentak.
“Maaf,” ucapnya cepat. “Aku tidak sengaja melihat… punggungmu.”
Livia menutup wajah dengan satu tangan, ia lupa bahwa dalam posisi seperti ini Narendra akan tau. “Oh… itu…”
Narendra menunggu, tapi Livia hanya menghela napas pendek, seakan tidak punya tenaga untuk menjelaskan.
“Bukan… buat gaya,” bisik Livia akhirnya. “Tato itu tanda, untuk menutupi luka di setiap tubuhku.” katanya jujur.
Narendra menatap wajah Livia sejenak, meresapi setiap kata-katanya.
Tiap gambar tato itu bukan sekadar hiasan.
Itu peringatan.
Luka yang ia paksa untuk tidak hilang.
Sesuatu yang pernah dilakukan seseorang terhadapnya, dan Livia memilih menandainya agar ia tidak kembali lagi pada orang itu.
Narendra mengalihkan pandangan, menahan emosi yang tidak seharusnya ia rasakan untuk seorang bawahan.
“Aku mengerti,” katanya pelan. “Dan aku tidak akan tanya lebih dari itu.”
Livia menatapnya sebentar, pandangan sendu yang hanya muncul ketika ia terlalu lemah untuk pura-pura kuat.
“Terima kasih…”
Narendra kembali membantu merapikan selimut, lebih hati-hati dari sebelumnya.
Kini, matanya memandang Livia bukan hanya sebagai staf.
Bukan hanya sebagai gadis yang keras kepala.
Tapi sebagai seseorang yang mungkin… terlalu sering dilukai sampai ia lupa bagaimana rasanya tidak terluka.
Narendra duduk kembali di kursi kecil, namun kini posisinya sedikit menjauh untuk menjaga batas. Meski begitu, pikirannya tetap tersangkut pada pemandangan yang tadi.
Pada punggung yang penuh gambar.
Dan pada cerita gelap yang Livia simpan di balik diamnya.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏