Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restu Ibu
“Terima kasih, Pak Bakar.” Jelita turun dari jok belakang motor tua itu setelah kendaraan berhenti sempurna di depan teras rumah.
“Sama-sama, Mbak,” jawab Pak Bakar sambil menepuk pelan tangki motornya.
Jelita melangkah naik satu anak tangga menuju teras rumah Kakek Doni. Namun kakinya terhenti ketika melihat sang kakek berdiri di depan pintu, kedua tangannya bertumpu di pinggang.
“Kok cepat pulangnya?” tanya Kakek, nada suaranya penuh tanda tanya.
“Capek, Kek,” jawab Jelita singkat. Tanpa menunggu respons apapun, ia berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang kakek yang mengerutkan dahi bingung.
Kakek Doni memandang punggung cucunya sampai menghilang di balik kamar. Gelagat itu membuat rasa penasaran menggelitik hatinya. Ia menoleh ke halaman dan melihat Pak Bakar yang baru menstarter motor hendak kembali ke belakang rumah. Dengan langkah pelan, Kakek mendekat.
“Pak Bakar,” panggilnya. “Kok bisa Jelita pulang bareng sama Pak Bakar?”
“Oh, tadi saya ketemu Mbak Jelita sama Pak Lurah di jalan panjang, Pak,” jelas Pak Bakar sambil melepas helmnya setengah. “Mbak Jelita manggil saya. Terus minta ikut pulang bareng.”
“Pak Lurah juga ada di sana?” tanya Kakek Doni, kali ini suaranya lebih serius.
“Iya, Pak.” Pak Bakar mengangguk mantap.
Kakek Doni menarik napas dalam. “Baik, Pak. Terima kasih.”
Pak Bakar kembali mengangguk hormat, lalu mengarahkan motornya ke belakang rumah. Sementara itu, Kakek Doni masuk kembali dengan langkah pelan, pikirannya ramai oleh dugaan-dugaan yang belum jelas.
Tadi ia sempat melihat wajah cucunya menekuk ketika pulang. Itu membuatnya khawatir sebab Jelita jarang terlihat begitu selama ini.
Begitu masuk ruang tengah, ia berpapasan dengan Jelita yang baru keluar dari kamar setelah berganti pakaian rumahan. Gadis itu menggunakan kaos oversized dan celana kain lembut. Rambutnya digelung asal, menunjukkan kalau dia benar-benar tidak bersemangat.
“Kenapa cepat selesainya?” ulang Kakek Doni lagi, masih penasaran.
“Capek aja, Kek,” jawab Jelita, suaranya terdengar datar.
Jawaban itu jelas tidak membuat Kakek puas, tapi ia memilih tidak memaksa. Ia hanya mengangguk perlahan.
Jelita duduk di depan TV yang menampilkan berita politik. Kakek ikut duduk di kursi kayu tunggal favoritnya. Suasana ruang tengah sunyi, hanya suara TV dan kipas angin tua yang berputar malas.
Beberapa menit berlalu sebelum Jelita tiba-tiba memanggil, “Kek…”
Kakek menoleh pelan, memberi tanda bahwa ia mendengarkan.
“Kakek kenal sama perempuan namanya Nadya?”
“Nadya?” ulang Kakek, memastikan. “Nadya yang mana?”
“Yang rambutnya panjang, wajahnya ayu… terus kalau ngomong lembut,” jelas Jelita sambil memainkan ujung kukunya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia gelisah.
Senyuman kecil muncul di bibir Kakek Doni. Sangat tipis, sampai-sampai Jelita tidak menangkapnya.
“Tentu saja Kakek kenal. Semua orang di kampung ini kenal sama dia. Anak itu ramah, disayang banyak orang,” jawab Kakek datar, meski ada nada mengamati di balik ucapannya.
“Oh…” Jelita menunduk kembali, fokus pada ponsel di tangannya. Namun gerakan jarinya lambat, tampak jelas pikirannya sedang tidak di sana.
Kakek Doni diam-diam memperhatikan cucunya. Ia melihat betapa gelisahnya Jelita, matanya sesekali menerawang tanpa sadar. Ada sesuatu yang mengganggu hati gadis itu, Kakek bisa merasakannya dari caranya menarik napas pendek dan menggigit bibir pelan.
Sebagai orang tua, ia ingin bertanya. Sangat ingin.
Tapi ia tahu betul jika Jelita sedang kesal atau bingung, terlalu banyak pertanyaan hanya akan membuat gadis itu semakin menutup diri.
Jadi ia hanya berkata lembut, “Kalau capek, istirahat dulu. Jangan dipikirin berat-berat.”
Jelita mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tidak berubah.
Sedangkan di sisi lain, Rian yang sudah kehilangan semangat sejak Jelita memutuskan untuk pulang akhirnya ikut berbalik arah. Ia memilih kembali ke rumah, mengabaikan ajakan sarapan dari Nadya yang baru pagi namun sudah berupaya mendekatinya. Rian sama sekali tidak berminat pergi ke rumah gadis itu.
Bu Sri yang melihat putranya pulang lebih cepat dari biasanya langsung bertanya, “Lho, kenapa cepat pulangnya?”
“Nggak semangat,” jawab Rian lesu.
Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air dingin untuk menenangkan pikirannya.
“Tumben nggak semangat?” tanya Bu Sri lagi.
“Penyemangatnya udah pulang,” gumam Rian lirih sambil meneguk airnya. Tentu saja, ibunya tak memahami maksud ucapan itu.
Belum sempat Bu Sri mengajukan pertanyaan lanjutan, Riski — adik bungsu Rian — muncul sambil membawa roti di tangan.
“Mas Rian beneran mau nikah sama Mbak Nadya, ya?” tanyanya polos.
Rian yang sedang minum langsung terbatuk keras mendengar pertanyaan itu. “Kamu ngomong apaan!!!”
“Orang-orang kemarin pada heboh, Mas. Katanya Mas Rian udah mau dilamar sama Mbak Nadya,” timpal Riski santai.
“Gosip receh dari mana lagi itu,” gerutu Rian kesal.
Bu Sri mengerutkan dahi. “Emang kamu nggak mau, Mas? Nadya itu ‘kan cantik, ayu, baik pula sama keluarga kita.”
Rian menghela napas. “Tapi Rian nggak mau, Bu.”
“Kenapa nggak mau?” Bu Sri semakin penasaran.
“Ya karena Mas Rian udah punya pilihannya sendiri, Bu.” Kali ini Riski yang menjawab, dengan nada seakan mengetahui segalanya.
“Bener, Mas?” Bu Sri menatap Rian penuh harap, juga sedikit curiga.
Rian memelototi adiknya. “Kamu tahu dari mana?”
“Mas, aku ini juga cowok.” Riski mulai bergaya sok bijak. “Kita itu berasal dari pabrik dan bahan baku yang sama—”
Belum selesai, kepala Riski sudah ditempeleng pelan oleh Rian.
“Ngomong yang bener, Ki. Ada Ibu,” tegur Rian.
Riski hanya tertawa cengengesan, tak merasa bersalah sedikit pun.
“Pokoknya aku tahu Mas itu nggak tertarik sama mbaknya yang satu itu. Tapi…” Riski menunjuk belakang Rian dengan dagunya. “Mas tertarik sama Mbak yang kemarin di belakang Mas.”
Bu Sri kembali menatap Rian. Kali ini tatapan itu jauh lebih serius, penuh rasa ingin tahu dan juga harapan seorang ibu yang ingin melihat anaknya bahagia.
“Siapa, Mas?” tanya Bu Sri pelan.
Rian mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal karena gugup. “Ibu doakan saja semuanya lancar. Nanti… kalau sudah ada sinyal Rian diterima, Rian pasti kenalkan sama Ibu.”
“Tapi itu cucunya Pak Doni, ya?” tanya Bu Sri hati-hati, seolah menebak sesuatu.
Rian tak langsung menjawab. Pipinya memanas, matanya menghindari tatapan sang ibu dan adiknya.
Bu Sri dan Riski saling pandang. Reaksi Rian saja sudah merupakan jawaban bagi mereka.
***
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂