Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAWARAN PEKERJAAN
James menatapnya, kata-kata itu masih terngiang di benaknya.
“Universitas...?” ulangnya, nada ketidakpercayaan terdengar dalam suaranya.
Ekspresi Alicia tidak berubah. Jika ada, justru semakin serius.
“Aku ingin kau menjadi pengawal pribadiku.”
James berkedip sekali. Dua kali. “Menjadi apa?”
“Pengawal pribadiku,” ulangnya dengan tenang. “Menyamar. Sebagai seorang mahasiswa.”
James menghembuskan napas pendek. “Kau pasti sedang bercanda.”
“Aku tidak.”
James bersandar di bangku lalu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa? Masalah apa yang sedang dihadapi pewaris keluarga Remington?”
Suara Alicia merendah sedikit, matanya berpaling sebentar lalu kembali menatap James. “Belakangan ini aku terlibat dalam banyak masalah... masalah yang nyata.”
Ada jeda sejenak. Lalu dia menambahkan dengan suara yang tetap tenang namun dingin, “Minggu lalu aku hampir diserang dengan cairan asam.”
Mata James langsung menyipit. “Apa?”
“Di ruang kelasku,” lanjutnya dengan tenang, meski rahangnya menegang. “Di depan semua orang. Pria itu masuk dengan berpakaian seperti mahasiswa biasa. Dia bahkan tidak pernah terdaftar disana. Tidak ada yang sadar sampai dia mengeluarkan botol kecil itu. Untungnya... dia terpeleset sebelum sempat melakukannya. Pihak keamananku berhasil menahannya sebelum terjadi sesuatu yang lebih buruk.”
James tidak berkata apa-apa. Rahangnya mengeras.
“Sekarang dia dalam tahanan,” lanjut Alicia. “Tapi itu hanya salah satu dari banyak insiden. Aku sering diikuti. Diancam. Beberapa anak laki-laki dari keluarga saingan tidak mau menerima penolakan... dan sebagian dari mereka memiliki lebih banyak uang daripada moral. Aku butuh seseorang di dalam sana. Seseorang yang tidak akan mereka curigai.”
Dia menatap James langsung. “Seseorang seperti kau.”
James mengangkat alis. “Jadi pada dasarnya... kau ingin aku menjadi perisaimu. Seseorang yang bisa menahan serangan sebelum mengenai dirimu. Seperti, misalnya, cairan asam itu mengenai aku dulu sebelum mengenai kau.”
Alicia tidak bergeming. “Kalau kau melihatnya begitu, silakan.”
James menggelengkan kepalanya perlahan, nada suaranya tajam penuh sarkasme. “Dan menjadi sasaran para penguntit berharta itu hanya bonus, ya?”
James mengerutkan kening, matanya tajam. “Apa yang membuatmu berpikir aku bisa melakukan pekerjaan ini?” tanyanya, hanya untuk mencari tahu apakah Alicia benar-benar tahu siapa dirinya.
Tatapan Alicia melunak, pandangannya tampak jauh. “Ada sebuah foto di meja kerja ayahku — foto yang ia simpan selama bertahun-tahun. Dari masa SMA-nya, lingkaran sahabat terdekatnya. Lima orang, semuanya sahabat baik.”
Dia berhenti sejenak, suaranya nyaris berbisik. “Sayangnya, hanya satu yang masih hidup — ayahku. Yang lainnya... mati satu per satu, tujuh belas tahun lalu. Sebuah kebetulan yang terlalu aneh.”
Jari-jari Alicia mengepal saat mengingatnya. “Aku pernah melihat ayahku terdiam lama menatap foto itu. Dia bercerita tentang mereka saat aku masih kecil. Kemarin, ketika aku melihatmu berdiri melindungi wanita dan anak-anak itu, cara kau menghadapi polisi, ketenanganmu, kekuatanmu, kau masih muda, tapi kau bisa mengangkat seorang polisi dengan satu tangan, lalu mematahkan pistolnya.”
Dia menatap James dengan tajam. “Saat itu aku sedang melewati jalanan itu bersama ayahku. Aku tidak bisa berhenti... tapi wajahmu — sangat mirip dengan salah satu pria di foto itu. Simon Brooks.”
Napas James tercekat.
Tubuh James menegang, matanya menyipit saat nama itu bergema di kepalanya — Simon Brooks. Nama yang selalu dia kenang.
Rahangnya mengeras, bayangan kelam melintas di wajahnya. Beratnya nama itu bukan sekadar kenangan; itu adalah akar dari semua rasa sakitnya. Da tahu — dia tahu — Simon Brooks adalah ayahnya. Pria yang kematiannya menghancurkan dunianya, meninggalkan ibunya berjuang sendirian melawan nasib yang kejam.
Sekilas gambar-gambar buram melintas di balik kelopak matanya: seorang anak kecil memeluk foto usang, seorang pria dalam setelan gelap tersenyum dengan mata letih, sebuah rumah sunyi penuh gema kehilangan.
James menelan ludah, berusaha mempertahankan potongan kenangan rapuh itu — serpihan masa lalu yang pudar namun tak pernah benar-benar hilang.
Suaranya nyaris berbisik, parau oleh emosi. “Simon Brooks... Ayahku.”
Dia menatap Alicia, mencari jawaban di wajahnya — mencari hubungan yang mungkin bisa menyatukan kepingan masa lalunya, dan mungkin memberinya secercah harapan untuk masa depannya.
“Waktu kau menyebutkan namamu pagi ini, aku mulai menghubungkannya. Dia ayahmu, bukan?”
James mengangguk pelan. “Ya. Dia.”
James menatap ke depan, beban itu perlahan menekan dadanya. “Aku tidak mengingatnya... hanya bayangan samar. Sisa masa lalu yang sudah lama terkubur.”
Alicia menatap James, ekspresinya datar, nyaris tanpa emosi.
“Aku tahu waktu itu kau masih anak-anak,” katanya lembut, “tapi dia adalah ayahmu. Jadi begini — aku hanya punya satu bulan lagi di universitas. Bantu aku, dan aku akan memberimu salinan berkas yang dimiliki ayahku — hasil penyelidikan selama bertahun-tahun, semuanya.”
Dia berhenti sejenak, menatap langsung ke mata James. “Anggap saja ini bantuan antar teman.”
James mengangkat alis, sedikit skeptis. “Teman?”
Alicia tersenyum kecil dengan menggoda. “Apakah kita bukan teman? Kita baru saja berlari bersama, bukan?”
James menghela napas lalu mengusap rambutnya. “Jadi, itu semua yang kau tahu tentangku?” tanyanya dengan nada menantang.
“Menurutmu aku ini apa? Penguntit?” Alicia menggeleng pelan. “Aku baru melihatmu kemarin. Bahkan ayahku tidak tahu apa-apa tentang pertemuan ini.”
James tersenyum sinis. “Benarkah? Lalu bagaimana dengan tiga pria yang diam-diam mengawasi kita sejak tadi, hmm? Bukankah mereka orang-orangmu?”
Mata Alicia melebar, sedikit terkejut. “Siapa kau, James? Bagaimana kau tahu?”
James tersenyum tipis. “Aku memiliki indra kedelapan.”
Alicia tertawa kecil. “Yah, itu membuatmu menjadi seorang pengawal yang sempurna.” dia menurunkan suaranya, “Dan tenang saja, mereka ada di pihakku. Mereka tidak melaporkan semuanya pada ayahku.”
Dia menatap James dengan penuh harap. “Jadi... kau mau menjadi pengawalku?”
James terdiam sejenak, menimbang tawaran itu. Membantunya berarti membuka jalan menuju masa lalu — dan mungkin akan menemukan jawaban.
Dia mengangguk perlahan. “Baiklah. Aku ikut.”
Alicia mengangkat alis, menyilangkan tangan sambil menatapnya tajam. “Jadi, apa sebenarnya pekerjaanmu, James? Kau tidak terlihat seperti seorang mahasiswa biasa. Putus kuliah? Petinju bawah tanah, mungkin?”
James tertawa kecil, menggeleng. “Tidak juga. Aku baru kembali ke kota minggu lalu. Wanita dan anak-anak yang kau lihat bersamaku kemarin? Itu keluargaku.”
Mata Alicia sedikit melebar, ekspresinya berubah menjadi kaget dan penasaran. “Keluargamu?” ulangnya pelan, mencoba memahami arti di balik kata-kata itu.
“Ya, dia ibuku.”
James tidak berkata lebih banyak. “Jadi, kapan aku akan memulai pekerjaan ini?”
Alicia melirik arlojinya. “Besok akhir pekan, dan hari ini aku libur. Kau bisa mulai hari Senin.”
Dia mengeluarkan ponselnya. “Beri aku nomormu. Aku akan kirim semua detailnya. Proses penerimaan sudah diatur — kau akan menjadi mahasiswa pindahan.”
James mengambil ponselnya — perangkat sederhana tanpa hiasan — dan menyerahkannya. “Ini.”
Matahari mulai terbit, memancarkan cahaya keemasan lembut di atas jalan-jalan kota.
Alicia menatapnya. “Tunggu, James... biar aku yang akan mengantar kau pulang.”
James mengangguk, menerima tawaran itu tanpa ragu.
Mereka berjalan bersama menuju mobil Alicia yang terparkir di dekat situ — sedan mewah hitam dengan kaca gelap dan lambang berkilau di kap mesinnya. Kursinya dari kulit halus, interiornya modern dan elegan, memadukan kenyamanan dengan kemewahan.
Alicia duduk di kursi pengemudi, dan James duduk di sampingnya.
Mesin mobil menyala lembut, dan mereka pun melaju.
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan