Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Bab 10
Suara kipas angin yang seperti orang ngorok, menemani Dima yang tidur dalam keadaan gelap. Lampu tidurnya adalah lampu merah yang menyala dari stop kontaknya. Hanya dengan memakai celana pendek dan kaos belel, Dima tidur di atas kasur tanpa dipan.
Pintu kamar terbuka dengan keras. Lampu tiba-tiba menjadi terang. Dima otomatis membuka matanya. Lala yang memakai daster berada tepat di sebelahnya dan bicara dengan panik, “Anterin ayah ke rumah sakit, cepet!”
Lala bangkit dan mengambil celana panjang yang sudah tiga hari tergantung di belakang pintu kamar Dima.
“Kenapa, Kak?” Tanya Dima sambil berdiri dan menerima celana panjang dari kakaknya itu.
“Sesek napas!” Lala memberikan jaket pada Dima, lalu pergi ke luar kamar.
Sambil memakai jaket, Dima turun ke lantai dua. Ibunya sedang memeluk ayahnya yang terlihat lemas dengan napas yang sesak.
Setelah mengambil helm dan kunci motor, Dima langsung membuka pintu ruang tamu dan mengeluarkan motor. Lala bergegas membantu membuka pintu pagar. Ibu Dima membantu ayahnya naik ke motor.
“Bisa, Yah?” Tanya Dima yang sudah menyalakan motor.
Ayah Dima mengangguk.
“Ke klinik di depan?” Tanya Dima pada ibunya yang tampak cemas, dahinya berkerut dan bibirnya gemetar.
“Iya,” jawab Lala memberikan hapenya pada Dima.
Dima menyimpan hape Lala ke dalam jaketnya, lalu menjalankan motornya.
Angin dini hari dingin menembus tulang. Tangan ayahnya memeluk pinggang Dima dengan erat. Terdengar suara napas ayahnya berdesir di telinganya. Dima tahu ayahnya kedinginan, tapi dia tidak bisa mengurangi kecepatan motornya.
Jendela kamar Quin yang gelap menyaksikan Dima dan ayahnya melintas keluar dari kampung.
Lima menit kemudian, Dima tiba di depan sebuah klinik kecil yang buka 24 jam.
“Bisa turun, Yah?”
Sambil berusaha mengatur napasnya, ayahnya turun dari motor. Dima bergegas menurunkan standar motor dan membantu ayahnya masuk ke dalam klinik.
Klinik kosong. Tidak ada siapa-siapa di meja resepsionis.
“Halo! Tolooong!” Teriak Dima ke dalam ruangan.
Tak lama kemudian seorang suster pria keluar dari dalam ruangan dan langsung menuntun Dima membawa ayahnya ke tempat tidur.
“Kenapa?” Tanya suster pria yang Dima tahu biasa disebut bruder itu.
“Sesek napas. Kayanya GERDnya kambuh,” jawab Dima yang tahu ayahnya punya riwayat keluar masuk IGD karena asam lambung yang berlebihan.
Dokter jaga muncul dan bersama bruder langsung memberikan pertolongan pertama.
Ayahnya perlahan terlihat membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali berwarna. Tapi badannya masih terlihat lemah.
Dima duduk menunggu di sebelah kasur.
“Tunggu satu dua jam, kalau sudah baikan, bisa pulang,” kata Dokter setelah memasang infus dan memasukkan obat penurun asam lambung.
“Makasih, Dok,” jawab Dima yang kemudian baru bisa merapikan rambutnya yang acak-acakan dan membersihkan belek dari matanya. Kepalanya masih berat karena tiba-tiba bangun.
Terdengar dering hape Lala.
Dima mengeluarkan hape kakaknya dari jaketnya, lalu menjawab telepon, “Ya?”
“Gimana?” Tanya Lala yang menelepon menggunakan hape ibunya.
“Udah dikasih penurun asam lambung. Sekarang udah nggak apa-apa,” jawab Dima mpelan sambil memperhatikan ayahnya.
“Tadi sore dia ditraktir nasi padang sama Haji Berkah. Katanya minta maaf karena ayamnya suka gangguin ibu jualan,” jelas Lala.
“Oh, gitu.”
“Bisa nggak, nanti sekalian beliin obat asam lambung, biar kalau ada orang ngasih makan pedes dan bersanten lagi, bisa langsung dikasih obat,” pinta Lala.
“Kenapa sih? Mendingan nggak usah makan pedes lagi aja, bisa nggak sih?” Tanya Dima kesal.
“Kamu itu, kayak nggak tau ayah aja. Udah beliin aja. Bayarnya pake hape kakak aja dulu, tau kan?”
“Iya.”
“Bukan cuma karena makan. Kata ibu, ayah lagi stress, karena bentar lagi jatuh tempo utangnya,” jelas kakaknya lagi.
“Bukannya udah pinjem Om Budi?”
“Baru separuh.”
“Ya sudah,” Dima lalu menurunkan hapenya dan merebahkan kepala di tepi kasur tempat ayahnya tidur.
–
“Nanti mama yang jemput kamu pulang sekolah, langsung ke Image Fiction TV buat audisi YAMI,” kata papanya Quin sesaat setelah Quin membuka pintu mobil.
Quin menatap papanya, lalu turun dari mobil. Ia tidak mau menjawab apapun. Ia sudah memutuskan untuk tidak ikut audisi YAMI.
Ketika Quin jalan di lorong sekolah. Anak-anak kelas 10 terdengar sedang membicarakan Quin yang akan ikut audisi YAMI. Beberapa di antara mereka ada yang sedang melihat video ketika Quin latihan bersama Dima kemarin pagi di sekolah.
Quin tidak suka suasana seperti itu. Ia merindukan masuk ke sekolah, tanpa ada yang tahu siapa dirinya. Mungkin hikmah dari bertengkar dengan neneknya adalah dia jadi berhenti membuat video di youtube. Kalau tidak, mungkin dia akan masih berambisi menjadi penyanyi terkenal. Mungkin sekarang dia tidak bisa sekolah dengan tenang. Namun memang manusia tidak bisa menghindari takdir. Sepertinya dia memang ditakdirkan untuk tetap menjadi penyanyi. Walau tidak mendaftarkan diri, tetap saja dia dipanggil untuk audisi YAMI.
‘Apa kalau aku tidak ikut audisi nanti, semesta tetap akan menyuruhnya menjadi penyanyi?’ Tanya Quin dalam hati sambil duduk di sebelah Nisa yang sudah lebih dulu ada di kelas.
“Nanti jadi audisi?” Tanya Nisa seperti tidak ingat bahwa Quin kemarin bilang padanya tidak akan ikut audisi YAMI meski dibayar 1 milyar pun.
“Nggak!” Jawab Quin singkat, tidak mau memarahi Nisa yang selalu lupa tentang apa yang dikatakannya sebelumnya.
Quin melihat ke kursi Dima. Hanya ada Givan.
Bel pelajaran berbunyi.
Tidak biasanya Dima datang ketika hampir pelajaran pertama dimulai. Wajah Dima terlihat lecek, seperti baru bangun tidur, seperti belum mandi. Dia duduk di kursi dan menjatuhkan badannya yang lunglai di atas meja. Dima tidak memedulikan guru kimia menjelaskan tentang rantai karbon.
Ketika istirahat, Pak Adam datang dan bertanya pada Quin, “Nanti kamu jadi ikut audisi, kan?”
“Insya Allah,” jawab Quin terpaksa. Dia tahu bahwa ungkapan insya Allah seharusnya tidak boleh diucapkan untuk sebuah janji yang tidak ingin ditepati.
Hari ini Quin dan Dima sama sekali tidak berinteraksi. Dima tahu video dia membantu Quin latihan kemarin sudah tersebar. Murid-murid kelas sebelah juga menanyakan apakah Dima akan ikut audisi bersama Quin atau tidak. Meski begitu, Quin tidak tahu apa jawaban Dima. Dima tampak seperti sedang berada di dalam gua yang dalam. Jiwa introvertnya memancar keluar, sehingga orang-orang bisa tahu bahwa Dima sedang tidak ingin bersosialisasi. Namun tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan Dima dinaungi awan hitam.
Bel pulang berbunyi.
Murid-murid berangsur pergi. Quin melihat pesan dari mamanya yang sedang dalam perjalanan untuk menjemput Quin dan mengantarkan ke tempat audisi. Semua orang menyemangati Quin agar bisa tampil dengan baik saat audisi nanti.
“Bener kan, kecurigaan gue kayanya bener,” Quin berbisik pada Nisa di depan gerbang sekolah.
Di kejauhan tampak Dima jalan bersama Givan dan yang lain ke parkiran motor.
“Curiga apaan?” Tanya Nisa yang memang tidak ingat apa yang dibicarakan Quin malam sebelumnya.
“Dima. Dia yang daftarin gue,” Quin mengulang asumsinya pada Nisa. Meski kesal, dia tahu bahwa Nisa memang tidak punya kemampuan untuk mengingat sebaik orang-orang lainnya.
“Udahlah, nggak perlu dimasalahin. Prioritasin apa yang elu mau aja, Quin. Mau audisi, bagus. Nggak mau, ya udah,” jelas Nisa yang memang terkadang lebih bijak dari Quin.
“Iya. Gue tau. Gue udah mutusin untuk nggak ikutan audisi kok,” jawab Quin santai.
“Ya udah, gue duluan ya! Sukses ya, nanti!” Teriak Nisa ketika abang ojolnya datang.
Meta menghampiri Quin, “Gue boleh liat elu audisi nggak sih?”
Quin yang kesal seharian ditanyai soal audisi akhirnya memutuskan untuk menghampiri Dima. Dia perlu tahu siapa yang membuat keonaran dalam kehidupannya yang tenang ini.
“Dima!” Teriak Quin mendekati Dima yang sedang memakai helm milik Givan.
Dima menoleh ke Quin, “Apa?”
“Elu kan yang ndaftarin gue ke YAMI!” Tuduh Quin.
Jantung Dima berdebar keras. Dia berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk menceritakan yang sebenarnya.
Semua murid menatap Quin dan Dima.
“Nggak,” adalah jawaban yang keluar dari mulut Dima. Dia tidak bisa jujur di hadapan orang banyak. Dia bukan akan dibenci oleh Quin, tapi akan jadi orang yang dibenci satu sekolahan.
Quin merasa bodoh, tentu saja tidak akan ada maling yang mengaku jika dituduh di depan orang banyak, "Jangan bohong!"
"Nggak ada yang maksa elo untuk ikutan YAMI, kalau lo nggak mau. Ya udah. Nggak usah nuduh-nuduh orang!" jawab Dima kesal.
Tanpa menjawab apapun, Quin balik badan dan bergegas jalan ke mobil taksi online yang ditumpangi mamanya.
Dima lalu balik dan naik ke motor Givan, “Jalan!”
Givan menjalankan motornya, melewati Quin. Quin bergegas masuk ke dalam mobil taksi onlinenya.
“Ada apa, Quin?” Tanya mamanya pelan.
“Ayo jalan.”
“Ke YAMI, kan?”
“Iya," jawab Quin singkat, tapi tegas. Matanya menatap jalan raya yang ramai dari balik jendela mobil. Dalam hatinya dia berjanji tidak mau lagi diatur oleh orang lain dan akan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya.
queen Bima
mantep sih