Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ritorno al Palazzo
Tetes embun malam menggantung berat di udara sekitar mansion, membawa aroma mawar biru yang kuat dan menyesakkan. Pintu gerbang raksasa berderit lirih saat Taeri, diikuti Azey, memasuki pekarangan. Langkah sepatunya menggema di atas lantai marmer yang dingin, sementara matanya menyapu barisan penjaga berseragam hitam yang berdiri tegak di sepanjang lorong.
"Oh, astaga. Apa kalian lupa bagaimana caranya tersenyum?" celetuknya dengan nada datar yang mengandung cemoohan halus. Ia memperlambat langkahnya, meneliti wajah setiap penjaga. "Coba deh sekali-kali pasang tampang ramah. Jangan kayak mau nagih utang terus, bikin orang takut aja!"
Tidak ada satu pun yang bergeming. Hanya tatapan kosong yang mengikuti gerakannya, menambah kesan mencekam.
"Diam, Taeri," tegur Azey dari belakang, suaranya tenang namun mengandung ketegasan. Langkahnya berat dan terukur. "Masuk ke dalam. Jangan hiraukan mereka."
Taeri berhenti, memutar tubuhnya setengah, menatap Azey dengan senyum sinis. "Kau ini selalu bicara seolah seluruh dunia harus menuruti perintahmu." Ia mendengus pelan. "Lucu sekali, Tuan Azey yang terhormat ingin mengatur segalanya. Huh, aku sangat ketakutan, dasar menyebalkan."
Beberapa penjaga terlihat menelan ludah mendengar Taeri mengejek tuan mereka.
Taeri kembali melangkah, kali ini dengan lebih cepat, dan berhenti di depan pintu lift yang tinggi menjulang. "Selamat malam, Tuan Pengatur Segalanya. Semoga malammu penuh mimpi buruk, dan jangan coba-coba mendekati kamarku atau kuhantam wajahmu dengan ponsel baruku," ancamnya sebelum menekan tombol lift, meninggalkan Azey berdiri seorang diri.
Azey tidak membalas. Ia hanya memandang Taeri yang menghilang di balik pintu lift yang menutup, lalu menarik napas dalam-dalam, seolah menelan amarah yang tertahan. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan ponsel, dan menekan sebuah nomor tanpa ragu.
"Kalian semua sudah tiba di Sisilia?" tanyanya tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan Leonardo.
Dari seberang, suara Leonardo terdengar bercampur dengan deru angin laut. "Ya, kami sudah di sini. Anak buah juga sudah siap. Kami sedang menyusun rencana penyerangan, berdasarkan data yang terkumpul. Mansion itu dijaga lima puluh orang."
Azey mendongak, matanya setengah terpejam. "Bagus." Ia terdiam sejenak, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang berbahaya. "Pastikan kabar yang kudengar besok pagi tetap bagus, Leo. Kalau kau masih ingin anggota tubuhmu lengkap," peringatnya dengan dingin. "Satu kesalahan saja, siapkan peti mati untuk kalian masing-masing."
Ia menutup panggilan tanpa menunggu jawaban, lalu menghela napas panjang. Ruangan kembali sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar lambat, seolah menghitung waktu menuju sesuatu yang tak terhindarkan.
Di sisi lain mansion, Uap tipis dari air hangat menempel manja di kaca kamar mandi, mengaburkan bayangan Taeri yang tengah berendam. Ia memanjakan kulitnya yang putih bersih dengan sabun sakura yang lembut, mengusapnya perlahan di setiap lekuk tubuh. Ia menarik napas dalam, lalu menghela napas lega.
"Ah, damai sekali tanpa dia di sini…" gumamnya lirih. "Kalau ada si brengsek itu, pasti dia membuatku naik darah."
Tangannya meraih gelas jus stroberi di tepi bak, menyesapnya perlahan, menikmati kenyamanan yang menenangkan. Namun, begitu matanya menangkap bercak kemerahan samar di dada, pipinya langsung merona.
"Ciuman sialan," umpatnya pelan, tanpa sadar, ia tersenyum tipis, membayangkan wajah Azey. Lalu menggeleng cepat, berusaha mengenyahkan bayangan itu.
"Taeri bodoh…" rutuknya, mengejek diri sendiri. "Apa yang kupikirkan, hah? Jangan bilang aku mulai terbiasa dengan sentuhan dan ciuman pria psikopat itu."
Ia menggeleng lebih keras. "Sadarlah, Taeri, sadar! Pria itu yang menyabotase perusahaan keluargamu dan merenggut kehormatanmu!" sambungnya dramatis.
Ia menyelamkan tubuhnya lebih dalam, menutup mata rapat-rapat seolah ingin menenggelamkan semua pikiran tentang Azey. Tapi wajah pria itu, tatapan matanya yang intens, nada suaranya yang memerintah, masih melekat di benaknya seperti noda yang sulit dihilangkan.
Sementara itu, di dapur, aroma tumisan bawang dan rempah memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan mengundang selera. Orellana bergerak cekatan, memotong sayuran dengan gerakan yang terampil. Di sisi lain meja, Pricilia berdiri di depan panci besar, mengaduk sup yang mengepul lembut, namun pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang calon nyonya yang diceritakan ibunya.
"Ibu," panggilnya pelan. "Nona yang dibawa Tuan Azey… seperti apa orangnya? Apa dia seperti gadis kaya yang sombong dan kejam?"
Orellana menoleh sekilas sambil menuangkan saus ke dalam wajan. "Namanya Kim Taeri," jawabnya tenang. "Gadis itu… berbeda. Manis tutur katanya, dia juga sangat cantik dan menghormati semua orang... kecuali para penjaga dan Tuan Levi," ia terkekeh geli. "Tapi mungkin hanya mereka berdua yang tahu kenapa nona selalu membantah perkataan Tuan."
Pricilia menghentikan adukannya. "Membantah perkataan Tuan Azey?" tanyanya ragu, seolah kalimat itu terlalu berani untuk diucapkan.
Orellana tersenyum tipis, lalu menghela napas. "Dia tidak pernah menundukkan kepala, bahkan ketika Tuan Azey menatapnya seperti elang lapar. Entah keberanian macam apa yang dimilikinya."
Pricilia memiringkan kepala, rasa ingin tahunya semakin besar. "Jadi… dia benar-benar berani melawan setiap perintahnya?"
Pisau di tangan Orellana berhenti sejenak di udara, lalu ia mengangguk pelan. "Ya. Tapi entahlah, Nak. Kadang ibu berpikir Nona Taeri tidak tahu seberapa bahaya Tuan, atau memang Nona punya maksud lain sehingga berani menentangnya."
"Lalu kenapa Tuan membawanya ke sini?" Pricilia menunduk, suaranya nyaris berbisik.
Orellana menatap putrinya tajam. "Sst, jangan mempertanyakan apa yang dilakukan Tuan Azey! Ibu tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ibu yakin ada sesuatu yang besar di balik ini. Dan Ibu juga tidak mengerti?" peringatnya dengan nada cemas. "Sebaiknya fokus saja memasak dan jangan membahasnya lagi, ibu tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Pricilia terdiam. Rasa ingin tahunya masih membara, namun ia tahu lebih baik untuk tidak mendesak ibunya lebih jauh. Ada misteri yang menguar di sekitar Taeri dan Azey, misteri yang membuat bulu kuduknya meremang.
Di sisi lain mansion, Azey baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya masih basah, dan kemeja tipis yang dikenakannya terlipat asal-asalan di lengan. Udara malam membawa aroma sabun yang segar dari tubuhnya saat ia melangkah menuju kamar Taeri, tanpa alasan yang jelas selain keinginan untuk melihat gadis itu.
Begitu pintu kamar terbuka, matanya langsung tertuju pada Taeri yang berdiri di depan meja rias. Handuk putih melilit tubuhnya yang seksi, memperlihatkan bahu mulusnya yang berkilauan karena sisa air. Gadis itu pasti tahu kedatangannya, tapi ia tak menoleh, hanya menatap pantulan dirinya di cermin sambil mengoleskan krim malam dengan gerakan yang tenang.
Azey terdiam sejenak, menikmati pemandangan itu. Perlahan, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Taeri, memeluknya dari belakang. Keheningan kamar pecah oleh suara napasnya yang dekat di telinga Taeri, disusul ciuman ringan di pipinya.
Taeri tersentak kaget, matanya membulat saat melihat pantulan wajah Azey di cermin. "Tuan ini kenapa sih?!" serunya jengkel. "Apa kamu tidak lihat aku sedang memakai krim wajah? Sedikit saja salah oles, aku harus mulai dari awal lagi!" Ia mencoba melepaskan diri dari pelukan Azey, tapi pria itu malah semakin mempereratnya. "Buruan minggir sana! Kenapa tidak turun saja ke meja makan?"
Azey hanya tertawa kecil, membuat Taeri semakin kesal. "Teruskan saja, aku tidak akan mengganggu," ujarnya sambil menatap wajah Taeri di cermin. "Aku cuma ingin memelukmu sebentar… aromamu tercium sampai ke kamarku," dengan nakal, tangannya menyusup di balik handuk, mengelus perut rata gadis itu. "Dan dugaanku benar, kamu terlihat sangat cantik sekarang."
Taeri mendengus tidak percaya, tapi ia tahu membantah hanya akan memperpanjang permainan Azey. "Kalau begitu, jangan bergerak! Tetap seperti itu," peringatnya dengan nada tegas. Ia menatap cermin lagi, mencoba mengabaikan tangan Azey yang terus mengusap perutnya.
Azey terdiam sesaat, tapi bibirnya mulai mengecupi pundak Taeri sebelah kiri, lalu pindah ke sebelah kanan, membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Namun, ia sudah terlalu lelah untuk melarang, jadi ia tetap melanjutkan ritual kecantikannya.
Setelah selesai mengoleskan krim malam, Taeri menatap pantulan dirinya di cermin sejenak. Begitu merasa cukup, ia berbalik dan berjalan menuju walk-in closet, diikuti oleh langkah Azey yang santai di belakangnya. Taeri berhenti di ambang pintu dan menoleh tajam.
"Tuan ini mau apa lagi?" suaranya terdengar datar, tapi jelas menyiratkan kekesalan. "Aku hanya ingin berganti baju untuk makan malam, kenapa kamu juga ingin mengikutiku sampai ke ruang ganti?" Azey bersandar santai di kusen pintu, melipat tangannya di dada.
"Kenapa harus malu?" sahutnya dengan nada menggoda. "Aku sudah pernah melihat semua lekuk tubuhmu, jadi lanjutkan saja. Aku tidak akan mengganggu, tenanglah, aku tidak akan menerkammu, jangan terlalu percaya diri." sambungnya mengejek, membuat pipi Taeri merona.
Tatapan Taeri membeku. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya, tapi akhirnya ia mendekat cepat. Tangannya terulur, menarik kasar kerah kemeja Azey.
"Kalau memang Tuan ingin melihat," ujarnya dengan nada menantang, "lihatlah sekalian, sampai matamu buta karena terus melihat tubuhku. Tapi jangan berani-berani menyentuh, atau aku lempar wajahmu pakai high heels." Azey terkekeh pelan, tak tampak sedikit pun tersinggung.
"Baiklah," jawabnya singkat, matanya menatap Taeri dengan sorot penuh permainan. Ia melangkah masuk ke dalam walk-in closet dengan langkah santai, seolah menantang Taeri untuk melakukan apa yang telah ia ancamkan. Suasana di antara mereka berdua terasa tegang sekaligus menggelitik, dipenuhi dengan permainan kata dan tatapan yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
Di meja makan, Orellana menata setiap hidangan dengan hati-hati, aroma daging panggang dan sup hangat berpadu, menciptakan suasana yang menggugah selera. Putrinya, Pricilia, membantunya menata sendok dan serbet dengan teliti. Senyum tipis terukir di wajah Orellana saat ia melihat Taeri menuruni tangga. Wajah gadis itu terlihat sedikit kesal, namun tetap memancarkan keanggunan alami yang sulit disembunyikan.
Mata Pricilia terpaku pada Taeri. Ia mengagumi bagaimana wanita itu bisa terlihat begitu anggun dan mempesona bahkan dengan ekspresi kesal sekalipun. Dalam hati, ia berbisik kagum, "Bahkan hanya dengan mengenakan tanktop sederhana pun, dia terlihat seperti seorang putri." Taeri melangkah anggun menuju meja makan, menarik kursi di sebelah Azey dengan gerakan yang halus.
"Selamat malam, Nyonya Orellana," ucapnya tulus, lalu mengalihkan pandangannya pada pelayan muda yang berdiri di dekat meja. "Dan... terima kasih atas makan malam yang sudah disiapkan." Orellana dan Pricilia saling bertukar pandang sejenak, lalu tersenyum hangat sebagai balasan sebelum pamit undur diri. "Silakan menikmati hidangan dengan tenang, Nona Taeri," kata Orellana dengan lembut sebelum melangkah pergi, diikuti oleh Pricilia.
Begitu Orellana dan Pricilia menghilang dari pandangan, Azey menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Taeri dengan tatapan menyelidik. "Kenapa kau bersikap begitu ramah pada para pelayan?" tanyanya datar, nada suaranya tajam dan tanpa emosi. "Mereka di sini digaji untuk bekerja, bukan untuk menerima keramahan. Tidak perlu bersikap selembut itu."
Taeri mendengus kesal, meletakkan garpu yang baru saja ia pegang. "Kenapa tidak boleh? Mereka juga manusia, bukan robot yang hanya bisa diperintah. Tidak seperti para penjaga di luar sana yang bahkan takut menatapku," jawabnya sinis, tersirat sedikit kepedulian dalam nada bicaranya. "Dan kalaupun aku bersikap baik pada mereka, itu tidak akan membuatmu bangkrut, jadi terserah aku saja, kan?" Ia kemudian mengambil sepotong seledri dan mengunyahnya dengan gerakan yang dibuat-buat, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan pendapat Azey.
Azey tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya, lalu mulai menyendok makanan ke piringnya sendiri. Namun, pandangannya terpaku pada piring Taeri yang hanya berisi sayuran dan sup bening. Sebuah kerutan samar muncul di dahinya. "Hanya itu yang kau makan? Padahal di depanmu ada banyak hidangan yang lebih menggugah selera," ujarnya dengan nada yang terdengar seperti perintah terselubung. Ia lalu menyodorkan piring berisi daging panggang ke arah Taeri. "Makan ini, supaya tubuhmu sedikit berisi. Aku tidak suka melihatmu terlalu kurus."
Taeri menatapnya dengan tatapan dingin, bibirnya sedikit tertarik ke bawah. "Sekarang kau juga ingin mengatur apa yang harus kumakan, Tuan Azey? Apa sulit bagimu untuk sekadar... melihat dan diam saja?" ucapnya pelan, namun setiap kata yang keluar terdengar tajam dan menusuk. "Dan kenapa juga aku harus mengikuti aturan bodohmu itu? Toh ini mulutku, terserah aku lah mau makan apa. Kau tidak perlu repot-repot mengurusiku." Nada bicaranya jelas menunjukkan pemberontakan dan ketidaksukaannya terhadap sikap obsesif Azey.
Azey terdiam sesaat, lalu menatapnya dengan senyum miring. “Aku tidak bermaksud mengatur. Hanya menawarkan sesuatu yang lebih lezat dari sayur mentah itu.” Dengan gerakan tenang, Taeri menyingkirkan piring yang ditawarkan. “Aku sedang diet. Jadi jangan memaksaku memakan sesuatu yang berlemak.” Nada suaranya lembut tapi tegas, membuat udara di meja terasa sedikit dingin.
Azey mengangkat bahu, tak lagi berdebat. Ia melanjutkan makannya dalam diam, sementara denting sendok di piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di antara mereka.