NovelToon NovelToon
DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Suami Tak Berguna / Selingkuh
Popularitas:10.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"

"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."

"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"

Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HILANG KESABARAN

"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!" tanyaku pada Mas Pandu begitu aku membuka pesan notifikasi dari bank.

Aku belum sempat mengambil kembali kartu ATM yang aku berikan beberapa hari yang lalu, saat aku meminta tolong Mas Pandu mengambilkan beberapa jumlah uang dari sana untuk kebutuhan mendadak. Kebetulan saat itu aku sedang sibuk mengemas paket untuk dikirim pada pembeli. Sehingga aku meminta tolong padanya untuk mengambilnya untukku.

"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor," jelas Mas Pandu seraya memakai sarung kemudian membentangkan sajadah dan hanya menoleh sekilas ke arahku. Seolah apa yang sudah dia lakukan hanyalah hal sepele.

"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?" Merasa tak terima aku pun mengejarnya dengan pertanyaan.

"Nanti, Mas jelasin. Buruan mandi sana keburu waktu ashar habis, Mai."

"Ta...."

"Allahuakbar...."

Kutekan amarah yang sebetulnya sudah sangat membuncah. Namun, aku tak mau berdosa dengan terus mengomel di hadapan orang yang tengah khusyuk beribadah.

Kuhempaskan diri di ranjang, menunggu Mas Pandu

selesai sholat dan memberi penjelasan.

Afrizal Pandu Permadi, selain parasnya yang menawan, suamiku ini juga tak pernah meninggalkan sholat lima waktunya. Dia juga sangat bertanggung jawab pada keluarga. Karena semua itulah aku jatuh cinta dan akhirnya

memilihnya, selain itu, dari sekian banyak pria yang datang mendekati

hanya Mas Pandu lah yang memberi kesan istimewa di hati.

Namun, nyatanya aku salah, nyatanya besarnya rasa tanggung jawab terhadap keluarga itu lah yang justru menjadi bumerang dalam rumah tangga kami.

***

"Assalamu'alaikum warahmatullah...."

Aku menghela napas dalam setelah lama menunggunya selesai menengadahkan tangan.

"Loh, kok belum mandi? Lihat jam berapa?" Ia bangkit begitu melihatku

belum beranjak dan masih duduk di ranjang, kemudian ia pun bergegas duduk di sebelahku.

Wajahnya masih terlihat sama, bahkan senyumnya tak kunjung pudar, seolah tak merasa bahwa dia telah

membuat hati istrinya memanas oleh perbuatan yang tak kunjung berubah meski sudah berulang kali aku menyindirnya.

"Mas, kamu tu kenapa, sih? Nggak pernah ngerti? Aku kerja keras karena

aku tu pengen cepet memperbaiki rumah peninggalan ayahku ini, Mas." Lembut aku menjelaskan.

"Mas ngerti, Maira. Tapi, uang juga belum cukup untuk itu semua, apa

salahnya dipinjamkan dulu." Ucapan Mas Pandu terdengar begitu bijaksana, namun dia lupa, sudah berapa banyak dana yang dia keluarkan dan tidak

kembali sesuai nominal jika sudah berurusan dengan keluarganya, padahal aku mati-matian mengumpulkan itu semua.

Aku sadar, kami bukan dari keluarga berada.

Sehingga aku harus pandai

mengatur keuangan jika ingin punya tabungan. Kami hanyalah perintis, tapi lagak Mas Pandu bak seorang pewaris. Mengeluarkan uang tanpa pikir panjang dengan dalih agama. Aku tahu dan sangat paham, bahwa anak laki-laki milik ibunya, mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Tapi, uangku bukan berarti uangnya, kan? Toh setiap bulan aku tak melarangnya untuk memberi jatah pada ibu.

"Mas, Panji itu, kan masih lajang, PNS pula.

Dibanding kita nggak ada apa-apanya, Mas. Kita hanyalah karyawan swasta yang kapan saja bisa

diberhentikan kalau perusahaan sudah tidak

membutuhkan. Jadi, cobalah mengerti."

Lagi, masih dengan lembut aku mencoba membuat Mas Pandu mengerti. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak kehilangan kendali, bagaimanapun juga dia suami yang harus aku hormati.

Panji adalah anak paling kecil di keluarga Mas Pandu, ia seorang guru.

Dia adalah satu-satunya anak yang beruntung

dibanding dua saudaranya

yang lain yaitu Mas Tama dan suamiku sendiri, Mas Pandu. Jika Mas Tama

hanya bisa menempuh pendidikan SMA dan sekarang bekerja sebagai buruh pabrik maka berbeda dengan Panji.

Panji jauh lebih beruntung, dia adalah anak bungsu yang bisa meraih gelar sarjana. Bahkan, sekarang dia berhasil menjadi seorang pegawai negeri.

Mas Pandu dan Mas Tama bahu membahu membiayai Panji hingga lulus S1 dan menghabiskan banyak dana untuk menjadikan dia seorang Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan suamiku sendiri, pendidikannya sempat terputus saat menginjak semester akhir. Sebab, waktu bimbingan skripsinya berbenturan dengan jam kerja. Ya, namanya juga berusaha sendiri, membiayai kuliah sendiri, maka banyak resiko yang harus dihadapi, hingga akhirnya ia dapat menyelesaikan skripsi di masa-masa terakhir setelah molor beberapa tahun. Mas Pandu berusaha keras agar tidak sampai drop out dan akhirnya berhasil meraih gelar Sarjana Ekonomi. Allah Maha Baik.

"Maira, pada kenyataannya dia butuh bantuan kita.

Dia adik Mas, Mai."

"Lalu apa kabar dengan aku, Mas?!" Kini, suaraku mulai meninggi.

"Maira." Ia membalas dengan nada yang juga mulai meninggi, kemudian tatapan tajam pun diberikan padaku dan tanpa gentar aku pun menyambut dengan tatapan tajam pula.

"Ingat, Mas. Uangku bukan uangmu. Terserah kalau kamu mau pake uangmu sendiri, tapi jangan uangku terus!" Akhirnya, aku bangkit dari ranjang,

meninggalkan Mas Pandu dengan rasa kesal. Percuma berdebat, bagi Mas Pandu, kesalahan hanya ada padaku setiap kami berselisih paham tentang keluarganya.

"Maira. Nanti Mas ganti, Mai." Mas Pandu berusaha menjelaskan, namun aku terus berlalu.

Ini sudah di luar batas. Selama ini, sebisa mungkin aku mengurus diri sendiri. Mas Pandu tak pernah mengerti, berapa banyak pengeluaran yang harus aku keluarkan untuk biaya pengobatan.

Ya, pernikahan kami sudah berjalan tiga tahun, namun kami masih belum dikaruniai keturunan. Setelah sabar menunggu, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke dokter kandungan, mengikuti program kehamilan.

Niat hati datang ke dokter kandungan untuk mendapatkan keturunan, namun kenyataan berkata lain. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, memang kami dinyatakan normal, tidak ada indikasi kemandulan. Akan tetapi,

dokter memvonis bahwa ada kista endometriosis yang

mempengaruhi kesuburan pada diriku, sehingga kami dianjurkan untuk melakukan pengobatan.

Beberapa bulan kami melakukan pengobatan, mengupayakan segala hal demi memperoleh keturunan, hingga detik ini kami masih berjuang. Bukan aku tak mau berbagi atau mengerti kesusahan saudara sendiri, tapi perjuangan untuk mendapatkan garis dua juga membutuhkan banyak dana dan selama ini aku sendiri yang memikirkan biayanya.

Meski demikian, aku tak mengapa, toh aku juga masih punya penghasilan

sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta dan

juga pekerjaan sampingan berjualan hijab secara online meski hasilnya tak seberapa. Ya, namanya juga hidup dalam rumah tangga harus saling membantu, pikirku. Terlebih gaji Mas Pandu tidak terlalu besar dan aku mengerti dia ada beberapa cicilan termasuk mobil.

Mobil itupun baru terbeli beberapa bulan setelah Mas Pandu mengeluh

kecapekan, karena setelah menikah dia harus tinggal bersamaku yang jaraknya lebih jauh dari tempatnya bekerja dibanding rumah ibunya dulu.

Aku hanya bisa mendukung, lagi pula suatu saat nanti saat kami mempunyai anak kecil, mobil itu pasti sangat berguna juga.

Aku ikhlas. Namun, ikhlasku seolah memudar setiap

kali Mas Pandu mengusik penghasilan yang aku sisihkan sendiri, hatiku meronta dan ingin melampiaskan segala ketidak benaran akan sikapnya yang seolah selalu ada padahal aku pusing

memikirkan kebutuhan ini dan itu. Mengeluh? Tidak mungkin lagi karena

struk gaji Mas Pandu yang disodorkan padaku sebelum memutuskan mengambil mobil itu sisanya sudah sangat tipis untuk kebutuhan. Sekitar tiga juta, dia memberikan pada ibunya satu juta, untuknya sendiri satu juta, dan untukku satu juta. Untuk bagianku, aku menyuruhnya agar ditabung saja,

sehingga jikalau ada keperluan mendadak bisa digunakan. Kurang pengertian apa coba?

***

Beberapa saat aku mencoba menenangkan diri di kamar sebelah. Setelah sedikit tenang, aku bergegas keluar ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tampaknya aku sudah ketiduran sedangkan makan malam belum aku siapkan. Walau bagaimanapun juga, kewajiban sebagai istri tak bisa aku abaikan, semarah apapun diri ini, aku sadar, Mas Pandu sama sekali tidak bisa menyiapkan makanannya sendiri.

Pelan, kubuka pintu lalu kulangkahkan kaki menuju dapur. Sekilas aku

menoleh ke arah pintu kamar yang terlihat masih tertutup rapat.

Aku menghela napas dalam seraya menyerukan kata sabar secara berulang dalam hati yang masih terasa sebal oleh sikapnya sore tadi.

Nasi goreng menjadi menu pamungkas ketika perut sudah keroncongan.

Kuambil bahan pelengkap seperti telur dan sayuran lalu segera mengolahnya. Tak butuh waktu lama nasi goreng pun sudah siap untuk dihidangkan.

Kubawa dua piring nasi ke meja makan. Aku

mendengus kesal, ketika nasi sudah siap, namun pintu itu masih juga tertutup rapat.

Dalam hati terus menggerutu dan bertanya: haruskah

aku dulu yang menemuinya?

Seharusnya isi piring di atas meja saat ini sudah berpindah tempat ke dalam perut, tapi nyatanya tidak.

Nasi masih utuh, tak terjamah.

Bagaimana aku bisa menelan makanan saat hati justru

semakin panas melihat kamar yang seolah tak ada kehidupan.

Pada kenyataannya, aku tetaplah wanita, yang ketika hati sedang tidak baik-baik saja tak ingin diabaikan, yang ketika marah ingin lelakinya

memohon maaf, namun apa mau dikata, lelakiku berbeda. Dia bahkan tak pernah walau sekedar datang dengan kata manis ketika hatiku sedang teriris, apa lagi meminta maaf. Dia selalu merasa benar jika sudah berurusan dengan keluarganya. Itu lah yang membuatku seolah tak ada harga, masalah pun menguap begitu saja dan berakhir

dengan tangisan tanpa suara.

Satu menit, dua menit, aku mencoba menunggu. Kini hati dan pikiran mulai beradu. Hatiku enggan mengetuk pintu namun cacing di perut terus berbunyi entah sudah untuk yang ke berapa kali.

Kuusap air mata yang tak terasa jatuh membasahi pipi.

Merasa sudah tak bisa lagi bersabar, aku pun bangkit

dari tempat duduk

dan berjalan cepat menuju pintu kamar yang sudah hampir tiga tahun

menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami siang dan malam.

Kupegang handle pintu dan membukanya kasar.

Mataku membulat dan kakiku terhenti seketika, diiringi dada yang terus berdentam.

Ya, saat ribuan kata ingin keluar dan mulut ingin mencecarnya, bahkan dia tidak ada di tempatnya. Kamar ini

kosong.

Dadaku semakin bergemuruh hebat, berkali-kali aku menghela napas dalam untuk melonggarkan rongga dada.

Entah sejak kapan Mas Pandu pergi dari sini.

Aku melangkah cepat masuk ke dalam kamar lalu kuambil gawai dari dalam tas yang tertinggal di atas ranjang berukuran sedang.

Hanya satu yang ada di benakku saat ini.

Menghubungi Mas Pandu dan mencecarnya dengan semua kalimat yang sudah tertonggok di tenggorokan.

Kutekan menu telepon setelah nama Mas Pandu tertera di layar. Namun,

sebelum aku menekan warna hijau, pesan Mas Pandu lebih dahulu masuk di beranda, aku pun segera membukanya dengan tak sabar.

[Mas ke rumah ibu sebentar.]

Pesan yang kubaca membuat darahku mendidih.

Kugenggam erat benda pipih persegi panjang yang ada di tangan setelah membaca pesan yang terlihat begitu santai dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Sesak pun semakin hebat, dia masih sama, tak

berubah, dia tidak datang padaku yang jelas-jelas terluka dan kecewa oleh sikapnya. Dia justru datang pada ibunya.

Sesaat aku terdiam dengan berbagai rasa, lalu detik selanjutnya ponsel yang masih kugenggam erat kembali bergetar. Sebuah pesan dari Viona, sahabatku yang sudah lama dipindah ke kantor cabang lain di daerah perkotaan masuk ke ponsel yang sedikit basah oleh keringat.

Kuhela napas dalam, menyingkirkan emosi yang masih menggebu. Lalu kubuka pesan itu.

[Maira, gimana rumah kamu? Sudah selesai renovasinya?]

Dahiku mengerut, membaca pesan dari Viona.

Tanpa pikir panjang aku pun segera membalasnya.

[Renovasi apa?]

Balasku.

[Kan, beberapa bulan lalu aku ketemu Pandu mencairkan tabungan, katanya untuk renovasi.]

Seketika, jantungku berdetak semakin cepat. Mas Pandu melakukan pencairan tabungan? Tabungan apa?

Mungkinkah tabungan yang aku percayakan padanya? Dan tanpa sepengetahuanku?! Ada apa ini sebenarnya? Mas Pandu, apa yang dia sembunyikan?

Berbagai tanya mulai berjejalan masuk ke dalam kepala. Hawa panas merambat ke seluruh tubuh.

[Emang kapan?] Seraya menahan amarah aku kembali mengirim pesan untuk memastikan.

***

Hatiku kian memanas, lelaki yang 3 tahun lalu berhasil menggetarkan Arsy dengan janji suci yang dia ucapkan padaku itu mulai bermain di belakangku.

Rasa sabar semakin menghilang, sudah berapa kali aku memaklumi namun dia justru semakin keterlaluan. Tampaknya dia harus diberi pelajaran.

Cinta memang tak berlogika, tapi ini bukan tentang cinta yang bisa didiamkan, ini tentang tanggung jawab dan amanah. Jahat? Memang, namun, menjaga kewarasan sebagai anak yang sudah tak lagi didampingi kedua orang tua juga sangat penting, bukan?

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun hingga chat yang kukirim dengan Viona berakhir, Mas Pandu belum juga datang.

Seraya memikirkan tentang semua yang sudah Viona

katakan, segala prasangka pun terus memasuki kepala.

Aku semakin curiga. Mungkinkah dia menggunakan uang tersebut untuk keluarganya? Lagi?

Pikiranku mulai merangkai segala kemungkinan.

Menurut Viona, kejadian itu sekitar lima bulan yang lalu, dan itu bertepatan dengan Mbak Rani-istri Mas Tama membuka usaha rumah makan sederhana di daerah dekat rumah sakit pusat. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan itu semua?

Ah, tubuhku terasa lemas dan kepalaku mulai pusing memikirkan ini semua.

Suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku terkesiap. Pikiran akan Mbak Rani dan bisnisnya membuyar seiring terdengarnya suara pintu yang dibuka pelan.

Akhirnya, yang aku tunggu datang juga. Terlihat Mas Pandu masuk dan mengunci pintu, sedangkan aku memilih untuk tetap duduk di sofa tamu dengan segala pikiran yang tak menentu, antara tak percaya, kecewa, sekaligus marah.

Kutatap punggung lelaki yang membuatku dimabuk cinta dan dengan mudah membohongiku itu dengan napas memburu.

Ia membalikkan badan setelah pintu dan jendela dipastikan tertutup rapat.

Ia pun tak kalah terkejut begitu melihat aku duduk di sofa. Kemudian senyum yang selalu membuatku terkesima itu ia berikan padaku. Aku pun sama, menyambutnya dengan senyuman meski terpaksa.

"Assalamualaikum, Sayang," ucapnya melangkah ke arahku. Kini, senyumnya semakin lebar dan langkah kakinya pun semakin dipercepat seolah tak sabar. Kemudian dengan cepat pula ia meletakkan kepalanya di pangkuanku setelah mengulurkan tangan dan aku mengecup punggungnya dengan setengah hati.

Aku menghela napas dalam, Mas Pandu selalu saja bersikap manis setelah kami berselisih dan hatiku diliputi amarah, seolah tahu keadaanku namun tak mau membahas dan memahami apa mauku. Ia memilih pergi saat emosiku memuncak dan kembali dengan sikap seolah tak terjadi apa-apa. Dan sialnya hatiku selalu melunak dengan sendirinya.

'Maaf aku salah, Maira.' Satu kalimat yang begitu ingin sekali aku dengar dari mulut lelaki berparas menawan dengan rambut hitam ikalnya ini setiap ada perdebatan, terutama yang berhubungan dengan keluarganya, entah kecil atau besar. Kalimat yang disukai setiap wanita, karena pada hakekatnya sifat wanita tak jauh berbeda, ingin dimengerti, pun tak ingin terus dipersalahkan. Akan tetapi Mas Pandu berbeda, masalah hanya menguap tanpa penyelesaian dan menganggap dirinya lah yang paling benar.

Terkadang, aku ingin lari namun entah mengapa hatiku selalu memaafkan dengan sendirinya. Mungkinkah cintaku sudah buta? Hingga aku tak mampu melihat dan merasakan luka terlalu lama? Atau hatiku sudah terpaut oleh satu nama? Hingga luka mengering dengan sendirinya? Entah.

Terkadang juga, ketika aku lelah, aku ingin dimatikan saja rasa ini agar tak ada lagi peduli.

Matanya kini terpejam, seolah sedang menikmati kenyamanan. Di pangkuanku.

Dengan berat tangan ini terulur, kemudian mengusap kepalanya, lembut. Sebisa mungkin aku menekan emosi dan menyusun strategi.

"Mas, maaf kalau tadi aku marah hanya gara-gara uang yang tak seberapa. Harusnya aku bersyukur kita masih punya tabungan hasil penjualan kebun Ayah di desa. Ya... meski hanya sepetak kecil dan meski nggak sampe ratusan juta, tapi minimal cukup untuk nyicil beli bahan bangunan, kan?"

"Hem," jawabnya masih terlihat santai dengan mata masih terpejam. Mataku menyipit melihat ekspresinya yang seolah uang itu masih ada. Lalu otakku kembali merangkai siasat agar lebih sempurna.

"Besok hari Minggu, aku mau ke toko bangunan, nyicil beli bahan, Mas."

Kini, matanya terbuka, menatapku seraya menyipitkan mata. Tak lama kemudian tatapan itu berubah dalam, segera aku alihkan pandangan ke arah dada bidang yang masih terbungkus kemeja biru lengan panjang agar hatiku tak luluh oleh tatapan dengan sorot penuh cinta itu.

Ya, sebetulnya tak pernah ada perdebatan di luar masalah keluarganya yang selalu berhubungan dengan uang selama aku hidup bersama Mas Pandu. Dia pun memperlakukan aku begitu lembut dan penuh cinta. Sejak dulu sebelum kami menikah hingga kini kami sudah menikah, tetap sama, tak berubah. Namun, jika sudah berhubungan dengan keluarga, sifatnya seolah berubah seratus delapan puluh derajat.

"Mendadak sekali, Mai?" tanyanya kemudian bangkit dari pembaringan.

"Iya, menjalankan wasiat lebih cepat lebih baik kan, Mas. Lagi pula ini sudah cukup lama Ayah meninggal dan kita belum juga mewujudkannya," jelasku masih dengan senyum yang kubuat semanis mungkin meski hatiku menangis pilu.

Siapa yang tak menangis jika rasa rindu yang tak mungkin terobati pada orang terkasih mulai mendera kalbu. Rindu seorang anak yatim piatu pada Ayah dan Ibu yang tak mungkin lagi bertemu.

Harapan Ayah adalah bisa merenovasi rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan bersama almarhumah ibu yang sudah tiada sejak lulus dari bangku SMA. Namun, Ayah harus bersabar, gajinya sebagai seorang buruh pabrik hanya cukup untuk membiayai kuliahku kala itu. Rencananya aku akan membantu setelah mendapat pekerjaan, akan tetapi, Tuhan memiliki rencana lain. Ayah mulai sakit-sakitan justru setelah aku baru mendapat pekerjaan dan setelah beberapa bulan aku menikah, beliau tiada.

Selang beberapa bulan, saudara di kampung memberi kabar bahwa Ayah mendapat warisan berupa sepetak tanah yang tak begitu luas.

Pihak keluarga Ayah mengatakan akan membeli dari pada tidak ada yang mengurusi. Aku sebagai anak satu-satunya yang tidak begitu mengerti akan seluk beluk pertanian akhirnya mengiyakan saja dan memutuskan untuk menggunakan uang hasil penjualan tanah tersebut untuk tambahan renovasi rumah seperti harapan Ayah.

Sebagai seorang anak, aku belum bisa

membahagiakan semasa hidupnya dan sekarang aku harus bisa mewujudkan impiannya.

"Mai, Mas cuma mau kamu fokus sama program kehamilan dulu. Jangan mikir macem-macem dulu. Toh, rumah ini masih layak untuk ditempati," kelitnya, membuatku semakin curiga.

Rumahku memang masih layak jika hanya digunakan

untuk berteduh, namun menyelamatkan uang

peninggalan Ayah itu sudah menjadi tanggung jawabku.

Uang itu aku titipkan pada Mas Pandu agar aman bukan digunakan untuk hal lain yang bukan haknya.

"Justru itu, Mas. Aku nggak mau saat kita diberi kepercayaan, kita belum bisa renovasi rumah ini. Kamu tahu kan? Saat ada anak biaya pasti akan lebih besar dan belum tentu kita bisa nabung lebih banyak," jelasku mencoba untuk meyakinkan Mas Pandu sekaligus mengetahui kebenarannya tanpa ada keributan karena to the poin lebih tak mungkin. Dia pasti akan berkelit dan bertanya dari mana aku tahu. Aku tak ingin melibatkan Viona dalam masalah ini.

"InsyaAllah Mas sanggup, Mai ...."

"Mas." sergahku memotong ucapannya.

Terlihat raut wajahnya berubah. Lalu tertunduk dalam. Melihat wajahnya sekarang membuatku semakin tak sabar.

Hening pun menjeda cukup lama.

"Mas. Uang Ayah yang aku titipkan ke kamu bisa kan besok diambil?" tanyaku pada akhirnya. Ia tersentak, kemudian menghela napas dalam.

"Kali ini kamu tak akan bisa lagi berkelit, Mas." Aku membatin seraya tertawa sinis dalam hati.

"Besok pakai tabunganku aja dulu secukupnya. Mas ada sedikit tabungan," jawabnya tenang, aku menatapnya dengan dahi berkerut. Tak ada gurat kepanikan atau kekhawatiran di wajah Mas Pandu, bahkan kini dia tersenyum lebar menatapku penuh cinta dan detik selanjutnya wajahnya dicondongkan ke arahku. Seolah sedang ingin melampiaskan sesuatu yaitu hasrat.

Dengan cepat aku memalingkan wajah, aku sedang tak ingin menanggapi hasrat. Gejolak di dalam sini masih belum sepenuhnya menghilang bahkan justru semakin bertambah karena jawaban yang ia berikan, bagaimana bisa aku melayani hasrat dengan kondisi hati seperti ini.

Pertanyaan demi pertanyaan yang disertai rasa curiga kembali memenuhi otakku. Jika dia mempunyai tabungan lalu untuk apa menggunakan uangku dan dikirim pada Panji tadi sore?

"Sayang, besok itu hari Minggu, bank tutup. Jadi Mas nggak bisa ambil. Paham, kan? Kamu titip ke rekening itu kan karena rekening itu nggak ada ATM-nya, kamu lupa, ya?" tanyanya dengan nada yang begitu manis seraya tersenyum tenang.

Astaga, ia masih selamat. Terlalu tak sabar membuatku lupa segalanya. Aku bahkan lupa alasanku menitipkan uang itu pada Mas Pandu adalah agar kami tidak bisa dengan mudah mengambilnya saat

membutuhkan dana mendadak sekalipun.

Namun, Meski Mas Pandu sudah menjelaskan dengan sangat lembut dan sedikit masuk akal, hatiku masih saja enggan untuk percaya.

"Itu, kan uang kamu, Mai. Besok Mas kasih buku rekeningnya ke kamu kalau kamu takut. Mas cuma mau kamu fokus sama kesehatan kamu, jangan berpikir macam-macam." Ia kembali berujar. Mungkin ia melihat wajah kecewa yang tak bisa lagi aku tutupi dengan senyum yang kupaksa.

Aku hanya bisa diam. Ucapan Mas Pandu terdengar biasa saja bahkan tanpa beban, mungkinkah apa yang dikatakan Viona itu tidak benar? Tapi untuk apa Viona membohongiku?

1
Ma Em
Oh mungkin yg cari Sean itu suruhan istrinya Hartawan yg bos nya Pandu mantan suaminya Maira , wah seru nih nanti kalau Maira nikah dgn Sean Maira nanti akan jadi bos nya Pandu .
Ninik
berarti perusahaan yg dipegang pandu perusahaane bapak nya dokter Sean tp istri kedua nya serakah menguasai semuanya
Ninik
heh pandu beda istri beda rejeki mungkin dulu maira selalu mendoakanmu tp sekarang viona cuma butuh uangmu dasar jadi laki laki kok bego tapi bener jg yang kamu bilang kalau itu karma mu
Ma Em
Akhirnya Bu Azizah jadi salah paham dikiranya dr Sean menghamili Maira , Bu Azizah tdk tau bahwa Maira hamil anak dari mantan suaminya si Pandu bkn anak Sean 😄😄
Ninik
makasih Mak othor cantik untuk crazy up nya hari ini semoga hari2 selanjutnya terus seperti ini 💪💪💪💪 tenang aku dah subscribe juga
Hasri Ani: 😁😁mksi kembali say...
total 1 replies
Ninik
ternyata oh ternyata mas dokter anak Bu Azizah to dan apa td benihnya gak subur wah jgn2 dikawinin nih orang dua kan maira lagi hamil g ada laki pas kan jadinya Sean jadi ayah nya si baby
Ninik
pandu g melek apa ya Zahra bukan anaknya Zahra keluarga maira pasti pandu mau maksa maira rujuk menggunakan zahra karna tau sekarang maira hamil
Ninik
Rani pasti ngomong sama nanti dan pandu bakal tahu kalau maira hamil anaknya dihitung dr waktu perceraian,,,, Thor kenapa up nya dikurangi padahal di awal bab selalu crazy up nya
Hasri Ani: hehe tangan lagi kurang sehat say.. Sox UP BAB di cerita lainnya juga..
total 1 replies
Ninik
Thor kok cuma satu biasanya sekali up 3 ayo Thor semangat 💪💪💪
Hasri Ani: ditunggu ya say tangan ku kayak nya ada sedikit masalah Sox ngilu2 hehe mngkin efek ketikan Sox ada Bab dari cerita lainnya juga yang saya up hehehe
total 1 replies
Ma Em
Maira kalau pandu ngajak rujuk jgn mau lbh baik maira dgn dokter Sean saja , biarkan si pandu menyesal seumur hidupnya .
Ninik
rasanya g sabar nunggu lanjutan esok hari 💪💪💪
Ma Em
Maira mau saja nurut sama Pandu akhirnya kamu sendiri yg menyesal juga tersingkir karena maira terlalu cinta sama pandu sehingga apa yg dikatakan pandu dituruti saja tanpa melawan emang maira yg bodoh , sekarang baru menyesal setelah dibuang pandu mungkin baru terbuka matanya .setelah tau semua kebenaran nya .
Ninik
lanjut Thor 3 bab lagi bolehkah mumpung masih emosi nih mau ikut Jambak si pelakor aku rasanya
Hasri Ani: 🤣🤣🤣sabar saaay...
total 1 replies
Ninik
Thor saat maira nangis marah2 sama Alloh sebetulnya salah ya mestinya marahnya sama Mak othornya karna yg bikin sengsara kan Mak othor jgn kelamaan nyakitin maira ayo mulai kehancuran pandu dan viona aku aja yg baca nyesek rasanya
Hasri Ani: waduhhh.. 🤭🤭🤭
total 1 replies
Ninik
kpn penderitaan maira berakhir lantas kpn balas dendamnya
Ninik: jujur ini novel hampir ku hapus karna g kuat bacanya liat penderitaan maira jantung rasanya kaya mau meledak
total 2 replies
Ninik
Mai jgn lupa kamu minta bayaran untuk kamu menyumbangkan darah mu waktu itu jgn tangung2 bayarannya adalah nyawa viona karna dulu kamu kasih darah untuk viona hidup
Ma Em
Maira masa kamu ga bisa kabur dari Pandu seberapa pinter sih si Pandu sampai kamu tdk bisa berkutik , cari akal dong jgn cuma pinter ngomong doang tapi otak ga dipake .
Ninik
Thor kenapa pandu kejam sekali katanya dia taat ibadah tp kok zinah katanya adil tp kok hanya istri ke w yg dibelikan rumah dan ditransfer nafkah sedang maira malah diporotinbahka uang warisan dr keluarga nya maira taat agama dr mana DLAM Islam penghasilan istri suami g berhak lho bahkan uang mahar pernikahan jg suami g berhak sama sekali lha ini pandu apa
Makhfuz Zaelanì
maira nya terlalu lamban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!