Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan murid
Tepat pukul sepuluh malam, Adit membawa Arumni keluar dari kedai pak Beni. Sebenarnya Arumni merasa tidak enak merepotkan orang lain, namun karena terpaksa Arumni akhirnya mau.
"Oh ya, ngomong-ngomong kita belum kenalan, Siapa namamu?" tanya Adit untuk membuka obrolan.
"Arumni, mas!" jawabnya singkat, tanpa membalas tanya.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening, karena Arumni tak banyak bicara dan Adit masih belum mengenal karakter Arumni. ia pun lebih memilih fokus pada kemudi mobilnya.
"Di depan belok kiri, mas!" cetus Arumni saat ia hampir sampai di rumah mertuanya.
"Ternyata rumah mu di daerah sini, Arumni?"
"Iya mas. Berhenti di rumah cat biru ya, mas!" ucapnya sambil bersiap akan turun.
"Tunggu, Arumni!" Adit menghentikan Arumni yang terburu-buru akan turun.
Arumni menoleh cepat, "Iya, ada apa mas?"
"Ini bukannya rumah pak Arif?"
"Iya, mas kok tahu?"
Adit melebarkan Senyum. "Beliau guru di sekolah ku dulu. Jadi kamu anaknya?"
Arumni mengulas senyum sambil menganguk. "Mau masuk dulu?"
"nggak, terimakasih. Mungkin lain kali." ucapnya sambil tersenyum.
Karena hari sudah malam, Arumni tak ingin berlama-lama berada di luar rumah, dan juga tidak ingin memaksa Adit untuk masuk, meskipun bapak mertua pernah menjadi gurunya.
Saat Adit beranjak pergi, Arumni teringat sesuatu, "Siapa namanya, ya? kok aku ngak tanya balik?" gumam Arumni. Namun saat Arumni menoleh, mobil Adit sudah tidak terlihat lagi. "Ah ya sudahlah!" Arumni pun berjalan menuju pintu rumahnya.
Arumni membuka kunci pintu rumahnya dengan hati-hati, agar pak Arif dan bu Susi tidak terganggu. Namun ternyata pak Arif dan bu Susi masih duduk menatap layar televisi sambil menunggu kepulangan Arumni.
"Maaf pak, bu. Aku tadi dapat kerja di kedai lamongan milik pak Beni, jam kerjanya sore sampai malam, jadi tidak sempat memberi kabar pada bapak dan ibu."
Arumni mencoba menjelaskan, namun sang ibu mertua memasang wajah tegang yang menakutkan, Arumni belum pernah melihat ibu mertuanya begitu marah, ia pun menunduk pasrah jika harus menanggung kemarahan ibu mertua.
"Arumni, kamu itu seorang istri, dan menantu kami! apa kamu tidak bisa memberi kabar, atau berpamitan pada suamimu? jangan seenaknya sendiri, pulang semalam ini, kamu pikir tetangga tidak curiga? lalu di mana kehormatan keluarga kami? lagian apa kamu merasa nafkah dari Galih kurang? jika alasan mu kerja untuk mengisi waktu luang, kenapa kamu tidak kerja di Jakarta saja?" Rasa khawatir bu Susi berubah menjadi kemarahan.
Bu susi akhirnya melampiaskan semua rasa kesalnya karena terlalu lama menunggu Arumni, dan lagi Arumni tidak menghubungi siapapun untuk memberi kabar.
"Bu, dengarkan dulu penjelasan Arumni!" ucap pak Arif meredam emosi bu Susi.
"ngak pak, ibu rasa menantu kita sudah keterlaluan! di mana ponsel mu, kenapa tidak aktif saat dihubungi?"
Kemarahan bu Susi begitu meledak-ledak, sementara Arumni yang sengaja mematikan ponselnya karena kesal pada Galih, harus membuat alasan yang tepat agar ibu mertua tidak merasa curiga.
"Ponselku kehabisan baterai, bu. Aku lupa charger semalam." ucapnya sambil menunduk.
"Ah tidak masuk akal!" bu Susi masuk kamar dengan membanting pintu.
Pak Arif memegang pundak sang menantu. "Tidurlah, Arumni!" ucapnya sambil pergi meninggalkan Arumni.
Arumni merasa sedih atas ucapan bu Susi, namun ia menyadari bahwa dirinya memang bersalah.
Malam semakin larut, sejak pagi belum bicara dengan Galih, membuat Arumni merasa belum lengkap harinya. Baru saja ponsel diaktifkan, nama Galih tertampang di layar ponsel dalam pangilan tak terjawab sebanyak dua puluh kali.
Kedua bola mata Arumni seketika membulat, "dua puluh kali?"
Sebenarnya Arumni belum pernah sehari tanpa bicara pada Galih, meski mereka berjauhan. Namun bayang-bayang kekecewaan terus merasuk dipikirannya semenjak Arumni tahu bahwa Galih memiliki istri baru, oleh sebab itulah Arumni menonaktifkan ponselnya.
Rasa kantuk baru saja akan membawanya ke alam mimpi, Namun suara dering dari ponselnya yang baru saja aktif terasa melengking hingga menyentuh gendang telinga, Arumni pun kembali membuka matanya.
"Mas Galih?" Lirihnya, sejak pagi belum mendengar suara Galih membuatnya tidak tahan mengabaikan telepon darinya. Tanpa pikir panjang, Arumni segera mengeser tombol hijau demi menghubungkan pangilan.
"Arumni, apa kamu belum tidur?" ucap Galih sesaat setelah pangilan terhubung.
"Baru saja mau tidur, mas."
"Dari tadi ponsel mu tidak aktif, kata ibu kamu cari kerja? kenapa?"
Hening!
Galih menghela napas, "Maaf ya. Aku tahu, kamu cari kerja demi mengabaikan rasa kecewa mu, kan? ngomong-ngomong kamu kerja di mana?"
"Di kedai lamongan pak Beni, mas. Aku berangkatnya sore, dan pulangnya malam. Tapi aku ada sedikit kendala." ucapnya.
"Apa kendalanya?"
Sebenarnya Arumni merasa ragu ingin mengatakan, ia harus menunggu beberapa saat untuk bicara. "Saat pulang aku kebingungan, karena sudah tidak ada angkot, kalau jalan kaki rasanya juga tidak mungkin."
Galih paham maksud dari perkataan Arumni. "Iya, aku mengerti. kalau kamu masih ada sisa tabungan, belilah motor, besok pas gajian aku kasih lebih. Besok aku suruh Andi antar ke rumah, ya?"
"Makasih, mas!" Lirihnya sebelum memutus panggilan.
Hatinya masih diselimuti rasa bimbang, antara bertahan, atau meninggalkan Galih dan segala kenangannya.
Sementara Galih masih sangat mencintai Arumni, bahkan ia tak rela jika Arumni pergi. Meski saat ini Arumni tak lagi seperti dulu, bahkan sikap dinginnya sering kali membuat hati Galih merasa tersiksa.
**
Pak Arif dan bu Susi masih belum bisa tidur, mereka sama-sama memikirkan sikap Arumni yang kini terasa asing, seperti bukan Arumni yang dulu.
"Bu, harusnya ibu tadi jangan terlalu keras pada Arumni."
"Memangnya kenapa, pak? ibu bisa saja lebih marah daripada tadi. Ibu rasa menantu kita sekarang sudah berubah, seperti bukan Arumni yang dulu lagi." Bu Susi masih kesal pada sikap Arumni yang belakangan ini berubah.
"Ibu sabar dulu, pelan-pelan bapak akan cari tahu, pasti ada alasan kenapa Arumni begitu." pak Arif merasa yakin bahwa Arumni dan Galih sedang ada masalah, hanya saja diantara mereka sama-sama menutupi.
Bu Susi membenamkan tubuhnya kedalam selimut, berbaring membelakangi sang suami. Bu Susi jadi kepikiran, mungkin saja memang bu Susi terlalu keras pada Arumni, sementara bu Susi belum memahami yang sedang Arumni alami. Bu Susi nyaris tidak bisa tidur, karena selama hampir tiga tahun Arumni menjadi menantunya, belum pernah sekalipun ada keluhan tentang Arumni.
"Mungkin benar apa kata bapak, perubahan sikap Arumni beberapa minggu ini pasti ada alasannya, tapi apa, ya? ah, iya, sepertinya sejak menyusul Galih ke Jakarta." Gumam bu Susi dalam hatinya.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi