Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh.
"Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih.
"Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka."
"Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu.
Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!"
"Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring.
Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama.
Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran.
"Ini kesempatan terakhirmu!" teriak seorang opsir dari pengeras suara di truk lapis baja: "Masih ada sepuluh detik lagi! Menyerahlah, atau kami akan melancarkan serangan terakhir!"
Hening sejenak, tak ada yang bergerak. Lalu terdengar hitungan mundur: "Sepuluh... sembilan... tiga, dua, satu!"
Begitu angka "satu" disebut, suara siulan peluru terdengar di udara.
Surya secara naluriah membungkuk, melindungi kotak makan siangnya... Tak lama kemudian ia sadar, itu tindakan konyol. Seharusnya ia langsung melahap semua makanan secepat mungkin, bukan menjaganya. Dan yang lebih tepat, ia seharusnya membuang kotak makan siang itu, meraih senapan, lalu mencari perlindungan.
"Boom!" Ledakan meriam mengguncang tanah, debu dan pasir beterbangan seperti badai. Setelah itu, pesawat Mustang milik Belanda melintas, menjatuhkan bom di parit-parit pertahanan pejuang. Suaranya meraung memekakkan telinga, membuat jantung para pejuang berdebar hebat.
Belanda sengaja memasang sirene pada pesawatnya, membuat suara lengkingan nyaring saat menukik, mirip suara serangan udara.
Meskipun perangkat itu mengganggu laju terbang, Belanda tetap melakukannya, karena tujuannya jelas: menebar ketakutan.
Dan hasilnya berhasil. Banyak pejuang republik di bawah, termasuk Surya, merasakan lutut mereka melemas mendengar lengkingan itu.
Bom-bom yang dijatuhkan pun diberi tambahan peluit. Saat jatuh dari langit, terdengar siulan kecil sebelum ledakan besar mengguncang tanah.
Suara itu seakan jatuh tepat di atas kepala, membuat pejuang-pejuang yang bertahan di parit kerap panik.
Banyak yang meloncat dari perlindungan, berlari tanpa arah, hanya ingin menjauh dari titik jatuhnya bom. Sebagian besar memang tak lari, tapi bergerak sembarangan untuk menghindari ledakan.
Surya juga punya dorongan serupa. Namun ia menggertakkan gigi, memaksa tubuhnya tetap tiarap.
Ia tahu, kemungkinan peluru atau bom jatuh tepat mengenai seseorang kecil sekali. Yang mematikan justru pecahan logam dan gelombang kejut.
Karena itu, meski telinga berdenging dan tanah bergetar hebat, Surya memilih tetap menunduk dan bertahan di tempatnya.
Keputusannya terbukti benar. Dalam kabut debu, ia sempat melihat beberapa pejuang lain yang berlarian justru terhempas ke udara.
Entah berapa lama sebelum suara ledakan reda. Surya membuka kotak makan siangnya yang ia lindungi dengan tubuh.
Bubur jagung bercampur tanah, entah ke mana.
Saat menoleh ke kanan, matanya langsung membelalak. Kurang dari satu meter darinya, sebuah drum bensin besar tergeletak di parit. Jelas itu dijatuhkan pesawat Belanda. Untungnya tidak meledak. Kalau sampai meledak, ia pasti tinggal nama.
Okta merangkak keluar dari lumpur, wajahnya penuh tanah. Begitu melihat drum bensin itu, ia dan Surya spontan saling pandang. Tanpa pikir panjang, keduanya berlari menyusuri sisi parit, senapan terikat di pinggang.
Setelah berlari puluhan meter, Okta masih merasa kurang jauh. Ia menyeret Surya, berlari sepuluh meter lagi.
Drum bensin di medan perang bisa meledak kapan saja. Dan mereka berdua tidak mau mati terbakar sia-sia.
"Musuh datang!" teriak seseorang dari ujung parit.
Hal ini tak mengherankan, Belanda sudah beberapa kali melancarkan serangan. Namun kali ini berbeda. Di balik asap mesiu, terdengar suara "gemuruh" berat, seperti raungan mesin raksasa yang menggetarkan tanah.
Awalnya Surya mengira itu hanya dengung telinganya setelah serangan udara, atau sekadar truk logistik musuh.
Sampai seseorang berteriak ngeri:
"Tank! Tank Belanda!"
Surya menengok dari balik parit. Benar saja beberapa kendaraan besar perlahan keluar dari kepulan asap. Raksasa baja itu merayap mendekat, rantai besi mereka menghancurkan tanah basah.
Tiga tank ringan Belanda, buatan Inggris, tipe "Stuart" dengan laras meriam kecil, tapi cukup untuk melumat posisi pertahanan para pejuang yang hanya bersenjatakan senapan dan granat seadanya.
Surya sadar, alasan Belanda baru mengerahkan tank sekarang adalah karena mereka menunggu infanterinya membersihkan jalan. Tapi meski hanya tiga unit, tetap saja itu bencana besar.
Para pejuang republik di parit saling pandang. Mereka tahu betul, gudang amunisi di markas sudah hancur dibombardir pesawat beberapa jam sebelumnya. Senjata anti-tank nyaris tak ada. Senapan mesin pun hanya tinggal beberapa yang masih bisa menembak.
"Astaga… kita nggak punya mortir, apalagi meriam," gumam Okta dengan wajah pucat.
Senjata ringan memang masih bisa melawan serdadu Belanda, tapi jelas tak berarti apa-apa di hadapan lapisan baja tank yang tebalnya belasan milimeter.
Di saat genting itu, Mayor Wiratmaja turun ke parit, teropong di tangannya menatap tank yang mendekat. Dengan suara lantang ia berteriak:
"Atur tim peledakan! Siapkan bom molotov! Jangan biarkan mereka lolos!"
Semua orang langsung paham. Tim peledakan berarti para pejuang harus mendekati tank dari jarak dekat, melemparkan granat rakitan atau bom molotov ke rantai roda dan mesin. Cara itu bisa berhasil, tapi nyawa taruhannya.
Surya menelan ludah. Ia tahu betul, tentara Belanda bukan pemula. Mereka selalu mengiringi tank dengan infanteri yang terlatih, siap menembaki siapa saja yang nekat mendekat.
Ketegangan pun makin menebal. Tiga tank Stuart terus maju, moncong meriamnya berputar perlahan, siap menyalak kapan saja.
Di dalam parit, jantung para pejuang berdentum keras. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Hanya suara rantai tank mendekat, makin lama makin jelas…
Ini bukan ancaman kosong. Inilah "serangan terakhir" Belanda untuk menghancurkan posisi pertahanan mereka.