—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
“Apa kau sudah mencicipinya juga?” tanya Domias lagi, kali ini dengan senyum mengejek yang menyebalkan. Suaranya nyaris terdengar malas, tapi jelas bertujuan menusuk, memancing, dan menghina.
Kael mengangkat kepalanya perlahan, menatap Domias lurus tanpa emosi. Tatapannya tidak marah, tidak juga tersinggung. Hanya dingin—begitu datar hingga membuat udara seolah ikut membeku.
“Aku tidak hobi menunjukan kemesraanku untuk jadi tontonan seperti kamu,” jawab Kael pelan, tenang, namun suaranya seperti pisau yang tajam dan menusuk balik.
Para teman Domias tertawa kecil, beberapa mulai gelisah. Suasana mendadak tidak nyaman. Tetapi Domias tidak mundur—meski ekspresinya menegang sedikit, seolah baru menyadari Kael bukan sekadar bayangan pendiam di belakang Elvero.
Kael tidak menunggu balasan. Ia menarik Ara untuk berjalan kembali, tanpa melihat ke belakang. Namun genggamannya di tangan Ara tetap kuat—bukan hanya untuk menjaganya tetap dekat, tapi juga untuk meredam sesuatu yang hampir meledak di dalam dirinya.
...****************...
“Sakit,” kata Ara pelan saat mereka sudah sampai di lorong yang sunyi, jauh dari keramaian kantin. Genggaman Kael tadi terlalu kuat.
Kael langsung melepaskan tangannya.
Keduanya terdiam sesaat. Hanya suara napas mereka yang terdengar.
“Kael…”
“Hmmm?”
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ara hati-hati.
Kael menghela napas, lalu menyandarkan punggung ke dinding. “Hah…”
“Kau sangat marah,” lanjut Ara, tetap menatap Kael.
“Bukan karenamu,” jawabnya singkat.
“Aku tahu,” balas Ara cepat, lalu menunduk. “Karena Domias. Apa… Kau benar-benar suka laki-laki?”
Kael menoleh pelan, menatapnya sejenak. Ada jeda yang cukup panjang sebelum ia menjawab. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Ara tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kael.
“Apa itu akan membuatmu takut?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Suaranya datar, namun ada sesuatu yang dalam di baliknya. Sesuatu yang tidak bisa ditafsirkan dengan mudah—sakit, cemas, atau justru penasaran.
“Takut. Tapi… apakah benar?” tanya Ara lagi, suaranya gemetar.
“Sesukamu saja,” jawab Kael datar. Ia menoleh ke arah lain, seperti hendak meninggalkannya.
Tapi belum sempat Ara menarik napas lega, Kael tiba-tiba kembali melangkah mendekat dan menarik Ara ke dalam jarak yang sangat dekat.
“Apa—?”
“Diam.”
Suara Kael rendah, nyaris seperti bisikan perintah. Tangannya merengkuh wajah Ara, lembut tapi mantap, membuat gadis itu nyaris berhenti bernapas.
Kael mendekatkan wajahnya.
Jantung Ara berdetak panik. Matanya melebar, napasnya tercekat.
Dari kejauhan, siapa pun yang melihat mereka pasti akan berpikir Kael mencium bibir Ara.
Padahal, nyatanya tidak.
Kael hanya menyentuhkan bibirnya sebentar di sudut bibir Ara—sekilas, cukup untuk membuat ilusi itu sempurna.
Ia berbisik nyaris tanpa suara, “Dia mengikutiku.”
Dan Ara tahu pasti, yang dimaksud adalah Domias.
Ara hanya diam. Napasnya tercekat, tapi tubuhnya tak bergerak.
Kael masih mendekap wajahnya. Satu… dua kali, ia mengecup sudut bibir Ara dengan perlahan. Seperti sedang melukis garis tipis yang tak terlihat—penuh kendali, namun tidak dingin.
Ara terkejut. Bukan karena gerakannya, tapi karena kelembutan itu. Sentuhan Kael bukan seperti ancaman. Bukan juga seperti pria-pria lain yang pernah menyentuhnya. Ada sesuatu yang asing… tenang, dan nyaris membuatnya tenggelam.
Saat Ara ingin membuka mulut, ingin bertanya—atau sekadar membantah kelembutan itu—ia sedikit menoleh.
Namun di saat yang sama, Kael kembali mendekatkan wajahnya.
Tak sengaja.
Bibir mereka bersentuhan.
Bukan pada sudut. Tapi tepat di tengah.
Untuk sesaat, waktu berhenti. Dan tatapan mata Kael—yang biasanya dingin dan tak terbaca—berubah membeku. Begitu juga jantung Ara.
Terdengar suara gulf—notifikasi khas dari perangkat komunikasi mereka—memecah kesunyian lorong yang sempit itu.
Keduanya tersentak bersamaan.
Ara buru-buru mundur, wajahnya merah padam. Tangannya gemetar saat ia meraba-raba saku roknya, mencari gulf miliknya.
“Di mana… mana sih…” gumamnya gugup, nyaris menjatuhkan alat kecil itu saat akhirnya ia menemukannya.
Sementara itu, Kael sudah kembali bersandar ke dinding, menatap jauh ke arah lain, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal ringan di sisi tubuhnya.
Ketika akhirnya Ara menemukan perangkat gulf-nya dan melihat nama Elvero terpampang di layar, jantungnya berdebar lebih kencang.
Ia segera menerima panggilan itu.
“Dimana kau sekarang?” suara Elvero terdengar gelisah, namun masih mencoba tenang.
Ara menelan ludah. “Aku… di lorong sekolah dengan Kael,” jawabnya cepat—terlalu cepat. Seolah ingin segera menyingkirkan kenyataan yang baru saja terjadi.
Di sisi lain lorong, Kael masih berdiri diam, tidak menoleh padanya, tapi Ara bisa merasakan kehadirannya begitu dekat.
Tanpa sadar, Ara menggigit bibirnya. Ingatan akan sentuhan lembut Kael tadi—sangat lembut, hampir seperti tidak nyata—muncul kembali dalam kepalanya, membuat pipinya memanas.
“Apakah terjadi sesuatu?” suara Elvero terdengar lebih lembut kali ini, seolah mencium kegugupan Ara dari seberang panggilan.
Ara buru-buru menggeleng, meskipun tahu Elvero tak bisa melihatnya. Tapi itu refleks yang tak bisa ditahan. “Tidak… tidak ada apa-apa.”
Namun pipinya masih memerah, dan dia tahu itu terlalu mencolok.
Dia berharap Elvero tidak menyadarinya.
Tapi tentu saja, Elvero bukan orang bodoh.
“Kau kelihatan merah. Ada apa?” tanyanya lagi.
Ara cepat-cepat menunduk, lalu berkata, “Matahari. Aku lupa memakai pelindung matahariku.”
Alasan yang terlalu tipis. Tapi dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Di sampingnya, Kael masih bersandar ke dinding, satu tangan di saku, seolah tak mendengar percakapan itu—padahal jelas-jelas dia mencuri dengar.
Dari perangkat di tangannya, Ara mendengar Elvero menghela napas pelan. “Kalau begitu, pulanglah lebih cepat hari ini. Aku akan menyusul.”
Dan untuk sesaat, Ara merasa lebih bersalah pada Elvero… daripada Kael.
...****************...
Di dalam kamar mandi, Kael berdiri mematung di depan cermin. Uap masih menempel di permukaan kaca, menutupi sebagian bayangannya yang telanjang dada, rambutnya basah, tetesan air masih meluncur perlahan di leher dan tengkuknya. Tapi bukan dingin yang membuat tubuhnya tegang seperti itu—melainkan ingatan yang belum mau pergi dari benaknya.
Ciuman itu.
Kael mengembuskan napas panjang dan menatap dirinya sendiri. Apa yang barusan ia lakukan?
Akal sehatnya tahu: ia tidak perlu mencium gadis itu sungguhan hanya untuk membuat Domias melihat bahwa gadis itu miliknya. Bahkan menyentuh sudut bibirnya pun sudah terlalu banyak. Tapi Kael melakukannya. Dan lebih dari itu—mereka benar-benar berciuman. Tak sengaja, katanya.
Namun yang lebih mengusiknya bukan sekadar insiden itu. Tapi fakta bahwa saat bibir Ara menyentuh bibirnya…
Ia tidak menolak.
Ia tidak menjauh.
Ia tidak merasa jijik.
Sebaliknya… ia menikmati ciuman itu.
Padahal seharusnya perasaannya hanya untuk Tania. Sejak dulu hanya Tania. Yang lembut, yang sempurna, yang ia pikir tak tergantikan.
Lalu kenapa dengan gadis yang bahkan bukan tipe idealnya itu… ia justru merasa ingin mengulanginya?
Kael menutup matanya, memijit pelipis.
“Brengsek,” gumamnya pelan pada pantulan dirinya di cermin. “Apa yang sebenarnya aku lakukan?”
Malam itu, Kael terlelap dalam diam—tapi pikirannya tidak pernah benar-benar tenang.
Dalam mimpinya, ia berdiri di ruang kosong yang samar diterangi cahaya temaram. Lalu, gadis itu datang. Ara. Langkahnya ringan, ragu-ragu, tapi sorot matanya menatap Kael dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bukan takut. Bukan marah. Tapi seperti seseorang yang datang karena ingin… dan tak tahu kenapa.
Mereka saling mendekat. Tanpa suara. Tanpa kata.
Kemudian Ara menyentuh wajahnya—lembut, seperti yang Kael rasakan tadi siang. Jemari itu menggantung di pipinya, lalu turun ke leher, ke dada. Dan ketika bibir mereka bertemu, tidak lagi sekadar menyentuh sudut. Bukan lagi demi sandiwara. Kali ini penuh, dalam, dan penuh rasa.
Kael menarik napas dalam tidurnya. Tubuhnya sedikit gelisah di balik selimut, namun wajahnya tenang.
Karena di dalam mimpi itu, dia tidak menolak.
Dia membalas ciuman itu. Membawanya lebih dalam. Menyentuh pinggang gadis itu. Menariknya mendekat. Membiarkan napas mereka berpadu dalam kehangatan yang asing namun tidak asing.
Dan anehnya, Kael menginginkannya.
Dalam mimpi itu…
Dia tidak mengingat Tania.
Tidak memikirkan siapa yang sedang memperhatikan.
Tidak memikirkan siapa Ara sebenarnya.
Yang ada hanya perasaan aneh dan berbahaya:
“Aku menginginkannya.”
Lalu mimpi itu menghilang.
Kael terbangun dengan napas berat.
Tangannya mengepal di atas dada.
Dan ia tahu, sesuatu di dalam dirinya telah berubah.
...****************...
Di ruangan taktik yang mulai lengang, hanya tersisa dua sosok muda duduk berdampingan. Buku-buku strategi masih terbuka, namun percakapan mereka sudah melayang jauh dari medan perang buatan. Elvaro menatap Kael—tatapan seorang sahabat yang ingin memperingatkan sebelum semuanya terlambat.
“Jangan jatuh cinta pada Ara,” katanya, tanpa basa-basi. “Kau tahu kenapa aku setuju soal hubungan pura-pura kalian? Karena aku pikir kau aman. Karena aku tahu kau mencintai Tania sejak lama.”
Kael menoleh, sorot matanya tenang, tapi tak menjawab.
Kael menghela napas pelan, lalu melanjutkan, “Apa kau mencintai Ara sekarang? Bukankah kau yang bilang dia sepupumu?”
“Jangan gila, Aku sudah menganggapnya adikku sendiri” Elvaro menatap Kael lama dan berkata “apa Kau mulai tertarik padanya, Jika sudah. Kita hentikan saja hubungan pura-pura kalian”
Pertanyaan itu retoris. Elvaro tidak butuh jawaban. Ia hanya perlu membuat Kael sadar sebelum semuanya menjadi titik tak kembali.
“Aku bicara seperti ini demi kebaikanmu juga,” ucap Elvaro, lebih pelan. “Ara bukan gadis biasa. Dia… seperti ibunya.”
Nama itu menggantung di udara sebelum akhirnya jatuh dengan berat.
“Putri Yuki Orrie Olwrendho.”
Kael hanya diam. Tapi tak perlu menjawab untuk mengerti siapa wanita itu.