Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Gejolak yang Sempat Tercipta
Suasana ruang tengah masih tegang. Papa Dean menatap lurus ke arah Adam dan gadis di sampingnya—Ayu, anak sahabat istrinya.
“Kenapa tidak bilang dari awal? Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan di belakang keluarga?” suara Papa Dean tegas.
Namun justru Mama Rini yang pertama bicara. Suaranya masih bergetar, tapi kali ini mengandung kelegaan. “Apa kalian pikir Papa dan Mama tidak akan setuju? Apa kalian kira Mama dan Papa akan menolak mentah-mentah?”
“Maaf, Ma… Pa,” ucap Adam pelan.
Mama Rini menghela napas panjang. “Kak… Mama dan Papa tidak pernah memaksakan kehendak. Semua keputusan hidupmu selalu kamu yang tentukan. Papa dan Mama hanya mengarahkan kalau pilihanmu salah.”
Adam menunduk, penuh rasa bersalah. “Adam takut Mama dan Papa menganggap Adam aneh… karena jarak usia kami.”
Kalimat Adam sontak membuat dahi Papa Dean mengernyit.
“Kamu tahu jarak usia Mama dan Papa berapa?” tanya Papa Dean.
Adam menggeleng.
“Sepuluh tahun,” jawab Mama Rini cepat. “Sedangkan kalian? Paling tujuh tahun. Apakah jarak usia kami menjadi masalah? Kamu lihat sendiri kalau Mama dan Papa masih bisa jalani rumah tangga dengan baik. Jadi, kenapa harus takut?”
Mama Rini lalu menoleh ke Ayu. “Nak, Tante tanya. Kamu keberatan dengan jarak usia kalian?”
Ayu menggeleng mantap. “Tidak, Tante. Sama sekali tidak.”
“Lalu, kenapa hal ini justru membuat kalian menyembunyikan hubungan dari kami?”
Ayu menunduk sebentar sebelum menjawab. “Sejak awal Ayu tidak mempermasalahkan usia, Tante. Hanya saja… Dari Ayu pribadi, Ayu ingin menyelesaikan pendidikan dulu. Baru setelah itu bicara tentang masa depan hubungan ini.”
Papa Dean mengernyit. “Lalu kenapa tiba-tiba telepon Papa, minta menikah hari ini?”
Adam buru-buru menunduk. “Maaf, Pa. Adam terbawa emosi. Ada dokter di tempat koas yang bilang ingin melamar Ayu. Adam....”
Lidah Adam rasanya kelu, malu rasanya bila dia mengtakan kalau tindakannya spontan karena terlalu cemburu.
“Katakan, apa kalian juga menyembunyikan ini dari orang tua Ayu?” suara Mama Rini mulai melunak, tapi penuh arti.
Keduanya terdiam. Diam itu sudah cukup menjawab.
“Baiklah,” Papa Dean akhirnya bersuara. “Kalau begitu, kalian harus jujur pada orang tua Ayu. Buat janji temu. Kita adakan pertemuan keluarga, kita diskusikan baik-baik.” Ia menatap Adam dengan serius. “Jadilah laki-laki yang gentle. Temui orang tua Ayu, bicara dengan terhormat.”
Adam mengangguk mantap.
Mama Rini menghembuskan napas panjang, berusaha mengendurkan tegang yang masih terasa. “Hhh… Kakak Adam, kamu benar-benar bikin Mama jantungan.”
“Maaf, Ma.” Adam mendekat, menggenggam tangan mamanya erat.
“Mama ini bukan orang lain, Kak. Apa Mama tidak cukup baik untuk jadi tempat kamu bercerita?” Suara Mama Rini lirih, kali ini dengan kekecewaan yang tersisa.
Adam menggeleng cepat. “Tidak, Ma. Mama adalah ibu terbaik. Selalu jadi yang terbaik di hati Adam.”
Mama Rini mengusap pipi putranya sambil berusaha tersenyum. “Kalau begitu, jangan sembunyikan apa pun lagi dari Mama. Semua anak Mama berharga. Tapi tadi… Kakak Adam hampir bikin Mama gila mikirin yang bukan-bukan.”
“Apa yang Mama pikirkan?” tanya Adam ingin tahu.
“Mamamu ini sempat curiga kamu menghamili anak orang,” sahut Papa Dean dengan nada kesal.
“Pa!” Mama Rini langsung melotot. “Jangan diomongin. Amit-amit kalau sekarang. Kalau sudah nikah, ya tidak apa-apa, biar cucu kita banyak.”
Adam tersenyum kecil lalu tiba-tiba menoleh ke Ayu. Dengan nada setengah main-main tapi penuh makna ia bertanya, “Dengar, gak? Mama request cucu yang banyak. Boleh nggak?”
Wajah Ayu langsung merona. Sedangkan Mama Rini sontak memukul kesal lengan putranya. "Jangan kotori pikiran calon menantu Mama."
“Kak! Nikah dulu lah. Ngebet amat,” celetuk Wulan yang sedari tadi hanya mengamati bersama Damar.
Adam terkekeh. “Sekarang kan bikin planning dulu. Eksekusinya nanti setelah nikah. Betul kan, calon istriku?”
Ayu makin salah tingkah, wajahnya makin merah. Tapi semua yang hadir tahu—ketegangan tadi sudah mencair. Tinggal bagaimana mereka merencanakan langkah selanjutnya untuk bicara jujur kepada orang tua Ayu.
Sore hari saat suasana rumah keluarga Ardhana mulai mereda setelah ketegangan di ruang tengah. Begitu obrolan keluarga selesai, Damar segera naik ke lantai atas. Ada satu hal yang memenuhi pikirannya—Stasia. Ia ingin tahu apakah gadis itu sudah bangun.
Sampai di depan pintu kamarnya, Damar mengetuk beberapa kali. Tak lama, pintu terbuka… dan yang muncul justru Ares.
“Lho, anak tampan Papa sudah bangun,” ucap Damar terkejut, langsung merunduk agar sejajar dengan bocah itu.
“Ares juga sudah mandi, Pa.” jawab Ares bangga.
“Pantas saja dari tadi ada bau harum, ternyata wangi anak Papa yang sudah mandi.” Damar mengusap kepala Ares penuh sayang.
“Papa, apa adik bayi juga sudah bangun?”
“Mmm… sepertinya sudah. Ares mau ketemu adik bayi?”
Anak itu langsung mengangguk semangat. “Boleh kan, Pa?”
“Tentu saja boleh.”
“Yeay!” Ares melompat kecil.
Kebetulan seorang bibi ART lewat. Damar memanggilnya. “Bi, bisa tolong antar anak saya ke kamar Wulan? Bilang sama Wulan, dia mau main dengan Dilan.”
Raut wajah si bibi jelas kebingungan. “A-anak Tuan? Maksudnya…?”
Wajar saja ia bingung—tuannya masih lajang, tak pernah kedengaran punya pasangan, tiba-tiba mengaku punya anak.
Damar dengan santai menggandeng Ares keluar. “Iya, ini anak saya. Tolong diingat ya, Bi. Karena dia akan sering ke sini.”
“B-baik, Tuan.” Si bibi menunduk, memilih patuh daripada mempertanyakan hal yang bisa bikin pusing.
Damar kembali jongkok, mensejajarkan diri dengan putranya. “Ares ikut Bibi dulu ya. Papa nanti nyusul, Papa harus ambil ponsel dulu.”
“Oke, Pa. Ares mengerti.”
“Anak Papa memang pintar,” Damar mengusap pipi Ares.
Begitu Ares pergi, Damar langsung masuk ke kamarnya. Ia sampai lupa kalau ada Stasia di dalam.
Dan tepat ketika pintu terbuka, Stasia baru saja keluar dari kamar mandi.
“Dam!” teriak Stasia terkejut.
Kalau kalian mengira ia keluar hanya berbalut handuk, kenyataannya Stasia sudah berpakaian rapi. Ia sadar benar itu bukan kamarnya.
“Kamu kaget? Maaf, aku lupa kalau kamu ada di sini.” Damar mengangkat alis sambil tersenyum.
Stasia menepuk dadanya, mencoba menenangkan diri. Damar sigap mengambil segelas air dari nakas, lalu menyodorkannya.
“Minum dulu.”
Stasia menerima gelas itu, duduk di sofa, dan meneguk pelan. Setelah selesai, Damar mengambil kembali gelas dari tangannya.
“Sudah lebih baik?” tanyanya.
Stasia mengangguk pelan. Matanya lalu menyapu kamar. “Lho, Ares ke mana? Kok nggak ada?”
“Ares ke kamar Wulan, main sama Baby Dilan.”
“Lalu… kenapa kamu ke sini?”
“Oh iya,” Damar terkekeh kecil. “Aku lupa taruh ponsel di nakas. Aku perlu telepon Abas sebentar.”
“Weekend gini kamu masih mau ganggu weekend Pak Abas untuk urusan kerjaan?”
Damar menatap Stasia bingung. “Cuma memastikan sesuatu, bukan nyuruh dia kerja.”
“Kenapa nggak besok saja?”
“Kenapa memangnya?” Damar menatapnya heran.
“Pak Abas juga butuh istirahat. Biarkan dia nikmati weekend.”
Damar memicingkan mata. “Kamu… bela Abas? Kamu suka sama Abas ya?” nada suaranya kesal.
“Ck.” Stasia mendengus. “Saya cuma kasih sudut pandang sebagai karyawan, Bapak Damar yang terhormat. Kalau saya ditelepon kerjaan pas weekend, saya juga kesal. Weekend itu waktu untuk istirahat dan jaga kewarasan.”
“Nadanya kok jadi kesal? Aku salah ya?” Damar bingung.
Stasia langsung mencubit pinggangnya.
“Aw… sayang! Sakit…” Damar meringis.
“Siapa yang kamu panggil sayang?” protes Stasia, wajahnya memerah.
“Kan biar terasa ikatan hati kita.”
“Alay banget sih, Dam.”
“Alay cuma depan kamu. Biar ada chemistry.”
Stasia refleks meraba dahi Damar. “Kamu nggak panas kan?”
“Enggak, sayang.” Damar mengambil tangan Stasia dan menempelkannya ke dadanya. “Tapi yang di sini nggak aman, sayang.”
“Gila.” Stasia mendorongnya pelan. “Lama-lama hadapi kamu begini bikin aku gila.”
Damar terkekeh puas melihat Stasia yang salah tingkah.
Stasia bangkit untuk mengambil sisir di meja rias. Namun Damar justru menyusul, meraih sisir dari tangannya.
“Aku bantu ya, Sayang.”
“Dam, aku bisa sendiri.”
“Tapi aku lebih bisa.” Damar tetap memaksa, lalu mulai menyisir rambutnya dengan lembut.
“Dam, hentikan. Kalau ada yang lihat, bisa salah paham.”
“Biarin. Kalau Mama Papa masuk, malah bagus. Langsung dinikahkan.”
“Bagus apanya?” Stasia bersungut, pipinya panas.
“Bagus untuk masa depan kita.”
“Ngawur.”
Damar terkekeh, terus menata rambut Stasia. “Tapi setidaknya, bikin kita makin dekat, kan?”
Damar berhenti menyisir, tapi tangannya masih menahan lembut rambut Stasia. Tatapannya menurun, menelusuri wajah gadis itu yang kini memerah.
“Dam… jangan lihat aku begitu,” bisik Stasia, suaranya lirih.
“Kenapa? Aku nggak boleh lihat calon istriku sendiri?” Damar balas dengan suara rendah.
Stasia menunduk, berusaha menghindar, tapi Damar justru semakin dekat. Jarak mereka hanya sejengkal. Hening sesaat terasa menekan, sampai detik itu Stasia benar-benar merasa jantungnya berdetak tak karuan.
Jika bukan karena suara HP Damar yang berdering, mungkin mereka sudah benar-benar…
Stasia buru-buru berdiri, pura-pura merapikan rambut. “Udah cukup, Aku mau turun dulu.”
Damar hanya tersenyum nakal, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan gejolak yang tadi sempat tercipta.