NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Bau

Satpam itu mengernyit. "Soal apa, ya?"

Kevin terdiam sejenak. "Pak, ini… sebenarnya rumah Kevia atau bukan?”

Tatapan satpam itu berubah ragu. Ia menoleh kanan–kiri, memastikan tak ada siapa pun yang mendengar. Suaranya menurun jadi bisikan konspirasi.

“Bukan, Nak. Ini rumah Bu Rima… istri muda ayahnya Non Via.”

Kevin mengerutkan kening. Satpam itu menunduk, menambahkan lirih seolah setiap kata adalah rahasia berbahaya.

“Bapak dengar, Pak Ardi dijebak Bu Rima. Katanya, kalau Pak Ardi mau nikah sama Bu Rima, biaya pengobatan Bu Kemala, ibunya Non Via, akan ditanggung. Memang benar biaya itu dibayar. Tapi akibatnya… Pak Ardi gak boleh lagi nemuin istri dan anaknya di dalam rumah ini.”

Kevin menahan napas.

“Padahal, selama ini Pak Ardi yang kelola bisnis Bu Rima. Usahanya berkembang pesat sekarang. Tapi… jangan harap Pak Ardi dapat uang sepeser pun.” Satpam itu menggeleng, wajahnya penuh iba. “Non Via? Anak itu kasihan. Diperlakukan kayak pembantu. Bu Rima sama Non Riri suka menindas dia. Kemarin sore… Bapak dengar Non Riri ngamuk gara-gara cowok yang dia taksir malah deketin Non Via. Katanya sampai Non Via terluka.”

Kevin terdiam. Kata-kata satpam itu seperti hantaman tak kasat mata. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar. Ia tak menyangka gadis yang selalu tersenyum tipis itu menyimpan luka sedalam ini.

Satpam itu tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Matanya menyipit, menatap Kevin penuh selidik.

“Jangan-jangan… cowok yang diributin Non Riri kemarin itu kamu, ya, Nak? Soalnya selama ini belum pernah ada cowok yang nyariin Non Via.”

Kevin sempat tersentak. Ia menahan senyum, lalu menjawab tenang, “Saya murid baru di sekolah Kevia, Pak. Baru kemarin pindah. Kevia… anaknya cerdas, enak diajak bahas pelajaran.”

Satpam itu mengangguk kecil, senyum getir mengembang di bibirnya. “Ah, Non Via memang pintar. Non Riri itu, Nak… mungkin udah tinggal kelas dari dulu kalau bukan maksa Non Via yang ngerjain semua tugas sekolahnya.”

Kening Kevin berkerut. “Kevia yang ngerjain semua tugas Riri?”

“Iya, Nak,” jawab satpam itu lirih. “Kalau nggak nurut… bisa kena marah. Atau lebih parah lagi, Bu Kemala nggak dibawa berobat.”

Kevin terdiam, hatinya mengeras. Kata-kata sederhana itu menamparnya lebih dalam daripada teriakan apa pun. Dari sorot mata satpam, ia bisa melihat betapa besar rasa iba yang tertahan setiap kali membicarakan Kevia.

Setelah melontarkan beberapa pertanyaan, Kevin merogoh saku celananya, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu, dan menyelipkannya pelan ke saku satpam.

“Terima kasih, Pak. Ini buat beli kopi sama cemilan. Biar gak ngantuk jaga pagi-pagi begini.”

Satpam itu tergagap, wajahnya memerah. “Eh, Nak… kok Bapak jadi berasa kayak jual informasi…”

Kevin menepuk bahunya ringan. “Anggap aja kompensasi karena mengganggu waktu Bapak. Infonya bonus.” Ia tersenyum samar, lalu kembali ke motornya.

Satpam itu menatap sakunya, masih tak percaya. “Rezeki nomplok. Padahal tadi cuma mengungkapkan keprihatinan, nggak ada niat apa-apa,” gumamnya, lalu melirik Kevin yang sudah duduk di atas motor.

Mesin meraung, dan detik berikutnya Kevin sudah melesat di jalan, menuju sekolah dengan kepala penuh pertanyaan yang belum ada jawabannya.

Ia masih membawa bayangan kata-kata satpam sepanjang perjalanan menuju sekolah. Angin pagi menusuk wajahnya, tapi pikirannya lebih sibuk memutar ulang nasib Kevia. Ada getir, ada amarah, bercampur jadi satu.

Begitu sampai di kelas, ia masuk dengan tenang, langkah mantap penuh percaya diri. Seperti biasa, beberapa gadis langsung berbisik-bisik, sebagian bahkan tersenyum malu-malu hanya karena Kevin melangkah melewati bangku mereka.

Ia duduk di kursinya. Tepat di sebelahnya, Kevia sudah lebih dulu hadir, tengah sibuk menata buku dan peralatan tulis. Kevin sempat menoleh sekilas, lalu alisnya terangkat. Kedua tangan Kevia dibalut perban putih, masih terlihat baru.

“Tangan kamu kenapa?” suaranya datar tapi sorot matanya tajam.

Kevia tersentak kecil, buru-buru menunduk. “Kemarin… pas aku bawa gelas, nggak sengaja terpeleset. Gelasnya pecah, terus aku jatuh. Jadi, ya… begini.” Ia meremas pensil di tangannya, tapi suaranya tetap pelan, seperti berusaha terdengar meyakinkan.

Dari bangku depan, Riri dan Ani saling melirik cepat. Mata mereka penuh kewaspadaan, telinga menajam seperti kucing mendengar suara tikus.

"Awas aja kalau berani ngadu," batin Riri, bibirnya tersungging tipis.

Kevin hanya menggumam singkat. “Oh…” jawabnya, lalu menoleh ke arah Riri. Tatapannya sekilas, singkat, tapi penuh arti. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya melintas di pikirannya.

Bel istirahat pertama berbunyi. Suasana kelas riuh karena bendahara kelas sibuk menagih uang kas. Kevia tetap duduk, sibuk menghitung uang receh di tangannya. Kevin tidak banyak bicara, hanya bersandar di kursi, membiarkan suasana berlalu begitu saja.

Namun, saat bel istirahat kedua menggema, Kevin bangkit dan keluar bersama beberapa teman. Riri dan Ani, yang biasanya langsung berlari ke kantin, tumben masih duduk di kelas.

Pandangan Riri menyapu ruangan, lalu berhenti pada tas Natali yang tergeletak di bangku depan. Diam-diam, dengan gerakan seolah sedang merapikan buku, ia menarik tas itu sedikit, membuka resletingnya perlahan, lalu menyelipkan tangannya ke dalam. Sekilas terdengar suara gesekan kertas, tapi tak seorang pun menoleh. Beberapa detik kemudian, Riri menutup kembali tas itu dan meletakkannya seperti semula, wajahnya tetap tenang seakan tak terjadi apa-apa.

Tak lama, Riri dan Ani keluar dari kelas sambil tertawa kecil. Kevia memilih tetap di tempat, membuka bekalnya diam-diam, mencoba menikmati ketenangan. Beberapa siswa lain juga masih bercakap-cakap kecil, tanpa menyadari ada sesuatu yang baru saja hilang.

Tiba-tiba—

Bugh!

Suara benda jatuh terdengar, seperti sesuatu yang terbungkus plastik. Sesaat kemudian, bau menyengat mulai menyeruak, menusuk hidung.

Terdengar suara benda jatuh seperti dibungkus plastik, disusul bau menyengat menyeruak, menusuk hidung. Anyir, busuk, bercampur amis, seperti sampah yang dibiarkan membusuk berhari-hari. Semua siswa serentak mengerutkan dahi, beberapa spontan menutup hidung.

“Astaga, bau apa ini?!” teriak salah satu siswa, wajahnya meringis.

“Hueeek…!” seorang murid hampir muntah, tangannya menekan mulut sambil berlari ke luar kelas.

“Cepat keluar! Cepat keluar!” seru yang lain panik.

Bangku-bangku bergeser berisik, langkah kaki berhamburan. Dalam hitungan detik, kelas hampir kosong, hanya menyisakan beberapa siswa yang masih celingak-celinguk bingung sambil menutup hidung.

Tak ada yang tahu, di luar jendela Riri dan Ani sudah berlari kecil menjauh, menahan tawa tercekik. Kantong plastik berisi sampah yang mereka lempar tadi tergeletak di lantai kelas, sobek, isinya tumpah berantakan. Bau busuknya merajalela, memenuhi ruang yang baru saja ditinggalkan siswa-siswi.

Kevia berdiri di ambang pintu, menutup hidung dengan tangan. Bau busuk menusuk semakin tajam, membuat kepalanya pening. Ia menatap kekacauan kelas dengan wajah panik.

“Kita harus melapor,” gumamnya lirih pada teman-temannya.

Tiba-tiba, Riri muncul kembali bersama Ani. Ekspresinya dibuat-buat panik, tapi mata menyimpan kilau licik.

“Via, tolong ambilin bukuku di meja, ya. Biar aku sama Ani yang lapor ke guru.” Ucapannya terdengar manis, terlalu manis, sampai terasa seperti jebakan.

Kevia terdiam sejenak. Hatinya mengeras. Tak biasanya Riri berbicara selembut itu padanya. Tapi di bawah tatapan penuh desakan, ia hanya bisa mengangguk pelan.

Dengan langkah ragu, Kevia kembali masuk ke kelas yang sudah kosong. Bau anyir menusuk paru-paru, membuatnya menahan mual sambil menutup hidung. Bangku-bangku masih berantakan, suasana kelas seperti barak yang ditinggalkan.

“Mana bukunya?” batinnya. Ia memandang meja Riri yang kosong. Tak ada buku di atasnya. Kevia baru sadar, ia bahkan tak sempat bertanya buku apa yang harus diambil.

Kebingungan semakin menyesakkan dada. Akhirnya ia meraih tas Riri yang tergeletak di kursi, berharap buku yang dimaksud ada di dalamnya.

Di luar kelas, Riri dan Ani sudah tak kuasa menahan tawa. Mereka berdiri bersembunyi di balik dinding, cekikikan seperti dua penonton yang tengah menunggu tirai panggung terbuka. “Pertunjukan” baru saja dimulai.

Guru datang tergesa, menutup hidung dengan sapu tangan. Ia menatap kelas yang kacau dengan wajah kaget.

“Astaga… baunya…” gumamnya lirih. Lalu ia menoleh pada murid-murid yang menunggu di luar. “Kalian semua pindah ke aula. Kita lanjutkan belajar di sana.”

Murid-murid langsung mengangguk lega. Namun guru menambahkan, “Tapi sebelum itu, ambil dulu tas kalian di dalam kelas.”

Semua siswa saling pandang. Tak ada yang bergerak.

“Bu… maaf, tapi kami nggak kuat baunya,” salah satu siswa mengeluh sambil menutup hidung.

Yang lain menimpali, “Iya, Bu… masuk sebentar aja bikin mau muntah.”

Guru menghela napas panjang, menatap satu per satu muridnya. Lalu Riri, dengan wajah polos tapi sorot mata penuh kelicikan, tiba-tiba angkat bicara.

"Tadi Kevia sempat masuk ke kelas, Bu. Dia kuat kok sama baunya… bahkan sempat ambilin tas saya.” Suaranya terdengar manis, padahal ada jebakan halus di balik kalimat itu.

Beberapa murid langsung menoleh ke Kevia.

“Iya, Via tolong ya… ambilin sekalian tas kita.”

“Bener tuh, kasihan Bu Guru kalau kelamaan nunggu.”

Guru yang dari tadi menutup hidung, akhirnya menatap Kevia dengan tatapan penuh permohonan. “Kevia… bisakah kamu menolong teman-temanmu?”

...🌸❤️🌸...

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!