Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Teman
Toko buku Mawar terletak di sudut persimpangan jalan. Tempat mencolok untuk menyembunyikan diri. Memang tak ada siapa pun yang berpikir untuk menyembunyikan diri di sana. Mudah ketahuan. Jendela tembus pandang dan siapa pun dapat melihat orang-orang yang keluar masuk ke dalam ruangannya.
Ruangan itu tidak besar, tidak juga kecil. Semua buku-buku lama terletak di rak paling ujung. Sementara buku terjemahan diletakkan pada rak bagian depan. Dekat kasir juga dekat pintu masuk.
Mala mengambil langkah ke belakang, kali ini dia memang hendak melihat-lihat buku lama. Terdiri dari buku non-fiksi dan buku-buku itu masih rapi terbungkus plastik. Beberapa judul bukunya terlahir dari penulis ternama. Namun, kurang laku di pasaran.
Kali ini Mala menenggelamkan diri pada buku-buku spiritual. Memilah mana yang sepertinya penting untuk pengetahuannya.
Waktu berlama-lama di tempat beraroma buku menjadi tempat favorite Mala. Jika orang lain, mungkin tak pernah berpikir untuk bersembunyi di dalam tumpukan buku yang pengap dan sempit, lain halnya dengan Mala yang menikmati detik dan menit yang berlalu. Tempat ini aman dari debu. Meski menyimpan buku-buku lama, tetapi bersih hampir tanpa debu. Sebuah AC menyala dari sudut tempat kasir berada, jelas tak memadai untuk mendinginkan seluruh buku-buku ini.
“Ups!” Mala menarik tangan cepat. Sebuah tangan dingin tersentuh kulitnya, rupanya menginginkan buku yang sama.
“Silakan,” ucap orang itu menampilkan gigi putih yang rapi.
“Te-terima kasih.” Sontak Mala menunduk menghargai.
“Buku yang bagus,” kata orang itu berbasa-basi.
Hal yang sebenarnya Mala tidak suka, yaitu: basa-basi dengan orang asing.
“Hmm, iya. Aku memang mencari buku seperti ini,” ucap Mala menerangkan. Entah kenapa untuk kali ini ada dorongan beramah tamah.
“Sebuah buku mengenai spiritual awakening?” Pria itu membaca judul buku yang tertera pada buku yang dipilih Mala.
“Bukankah anda tadi juga tertarik pada buku ini?”
“Ya, saya sedang mempelajari tentang vibrasi energi.”
“Wah.” Mala terpesona. Baru kali ini ada pria yang juga menyukai buku-buku bacaan Mala.
Lain sekali dengan bram, yang langsung melontarkan ejekan bila melihat Mala berbelanja buku. Padahal, Mala tak membeli dari uang Bram. Suaminya itu juga tak senang membaca buku, paling banter baca komik. Itu juga punya anak-anak, itu saja tidak selesai satu buku. Ugh, Mala jadi keasyikan membandingkan Bram dengan pria yang baru ditemui.
“Kenalkan, saya Mandala,” ucap pria itu ramah. Mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Detik itu juga Mala merasa dunia berputar lambat, seolah semesta mendukung pertemuan ini. Sebuah intuisi membuat Mala terhenyak, bahkan ada rasa tak asing ketika kulit tangan mereka bersentuhan.
“Oh, ya. Bagaimana dengan buku ini?” Pria itu mengambil sebuah buku tentang stoikisme. Mala membacanya dan mengangguk, tapi detik itu hatinya kacau balau. Tak pernah seperti ini.
Hidup Mala setelah pernikahan, berbeda 180 derajat dengan sebelum menikah. Setelah menjadi istri dan mengurus bayi, hampir tak ada waktu lagi bagi Mala menyalurkan hobi membacanya apalagi mendekam lama menyusuri rak-rak Gramedia.
Suatu kesenangan yang pernah Mala lakukan waktu muda. Bram tidak suka baca, apalagi menyukai buku. Impian Mala memiliki satu ruangan penuh buku di rumahnya, lenyap sudah.
Padahal itu salah satu alasan Mala mau menikahinya. Bram menjanjikan rumah penuh cinta yang dibangun mengikuti keinginan Mala. Sayangnya kalimat menjanjikan itu hanyalah salah satu kalimat love bombing yang Bram mainkan. Boro-boro punya ruangan penuh buku, bangun rumah sendiri saja tidak. Seumur menikah masih saja terus mengontrak.
Alasannya macam-macam. Dari mengatakan karena Mala terbiasa tinggal di rumah besar, jadi sebaiknya mengontrak saja. Karena kalau membangun rumah besar, Bram tidak mampu. Walaupun kini Mala tahu, Bram bukannya tidak mampu hanya terlalu banyak wanita yang dia beri uang jajan. Sehingga uang-uang itu melayang tak pernah terwujud menjadi sebuah rumah.
“Ah, ya. Baru kali ini saya melihat anda?” tanya Mala mencoba kembali fokus. Mencoba mengabaikan kesan kagum karena ada pria berbeda dari Bram.
“Toko buku Mawar ini milik saudara lelaki tertua, dan ia baru saja meninggal.”
“Ah, ya benar. Tentu saja saya mengenalnya. Tuan Andy yang baru saja meninggal bulan lalu. Jadi itu kakak anda?”
“Iya, dia mewariskan toko ini agar saya meneruskannya,” ucap Mandala terkekeh.
“Rasanya belum terlambat untuk mengucapkan turut berduka cita,” ucap Mala serius.
Mandala mengucap terima kasih dan menatap serius Mala.
Jauh, jauh sebelum Mala menemukan ia di sini. Di antara rak buku-buku lama yang berjejer rapi. Mandala pernah memergoki wanita dewasa ini menahan tangis. Menyembunyikan wajahnya pada buku yang cepat-cepat ia bayar dan diciumi aroma bukunya. Saat itu Mandala mengira tindakan wanita dewasa itu kekanakan, mengingat penampilannya bukan muda lagi untuk menangis di luar rumah. Namun, kakak lelakinya yang pada saat itu memanggil Mandala untuk membicarakan masalah toko bukunya mengatakan,-
“Wanita itu, rutin datang setahun terakhir ini. Dialah alasanku ingin menyelamatkan toko buku ini. Kuharap kedatanganmu setuju untuk merawat Toko Buku Mawar setelah kematianku.”
Mandala cukup tahu kakak lelakinya menderita sakit dan terlalu lemah untuk bertahan lebih lama. Bisa dibilang, Mandala sangat heran. Bagaiman mungkin manusia yang merasa dirinya akan segera meninggalkan dunia ini, begitu berat mempertimbangkan untuk terus membuka toko bagi pengunjungnya.
Sampai Mandala tahu alasannya. Itu juga yang langsung berusaha mendekati Mala begitu melihat sosok wanita itu di antara rak buku.
Andy, kakak dari Mandala mengatakan bahwa wanita yang menangis dengan menahan suaranya di lembaran buku, bersembunyi di antara rak dan menekuk lutut itu pastilah tak punya tempat untuk menangis di rumahnya. Mungkin juga, emosinya tak pernah keluar ketika masalah itu ada di hadapannya, dan setelah menemukan tempat ternyamannya, wanita itu lemah dan mengeluarkan endapan emosinya.
“Eh, bagaimana cara Tuan Andy wafat?” tanya Mala.
“Berbaring di ranjang, dia orang baik,” ucap Mandala tanpa melihat Mala.
“Aku setuju, dia orang baik. Dia tak pernah mengusirku yang berada lama di tokonya. Aku mendengar kabar kesehatannya memburuk sehingga menutup tokonya. Aku sangat khawatir toko ini tak ada lagi.”
“Mulai sekarang kamu bebas mendatangi toko ini, kapan saja!” ujar mandala yang diiringi tatap heran Mala.
“Ka-kamu?”
“Ah, ya, kurasa bahasa kita tadi itu terlalu resmi. Mari kita bercakap-cakap sebagai teman,” ajak Mandala tersenyum semringah.
Mala mengangguk. Baru kali ini mempunyai teman pria. Baru kali ini ada yang dapat Mala perhatikan dari dekat, selain Bram.
Mala berpacaran dengan Bram ketika usia 18 tahun sedangkan Bram saat itu 21 tahun. Satu per satu hubungan pertemanan Mala dengan lelaki lain mulai tersingkir. Mala terlalu malas berurusan dengan sikap ngambek Bram karena pasti ada saja yang menjadi lahan kecemburuan, tetapi tidak mengakui kalau itu bentuk kecemburuan.