Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SARAPAN PAGI BERSAMA KEVIN
Liora datang dengan wajah panik begitu menerima kabar dari Kevin. Langkah kakinya tergesa memasuki rumah sakit hingga akhirnya sampai di depan ruang rawat inap Kaelith.
Saat pintu terbuka, matanya langsung menangkap putranya yang terbaring lemah dengan perban di kakinya. Air matanya jatuh seketika, lalu ia mendekat dan menggenggam tangan Kaelith erat-erat.
“Kaelith… Mama di sini, Nak…” ucap Liora dengan suara bergetar.
Kaelith membuka matanya perlahan, tatapannya sayu namun tetap menahan sakit. “Mama…” suaranya parau, “aku tidak sangka harus melihat Mama di saat seperti ini.”
Liora mengelus rambut putranya lembut, mencoba menahan tangis. “Jangan bicara banyak dulu, Nak. Fokus sembuh. Mama tidak kuat melihatmu seperti ini.”
Air mata Kaelith menggenang, lalu jatuh perlahan. “Mama… kalau aku tidak bisa kembali ke lapangan… apa Mama masih bangga padaku?”
Liora terisak, mengguncang kepalanya cepat. “Jangan bicara begitu, Kaelith. Kau selalu jadi kebanggaan Mama, apa pun yang terjadi. Bukan lapangan yang menentukan itu… tapi hatimu.”
Kaelith menutup matanya, merasakan genggaman tangan sang ibu yang hangat di tengah rasa sakit dan kekecewaan yang membakar dalam dadanya.
Kevin membuka pintu ruang rawat inap dengan pelan. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi ruangan di mana Kaelith masih terbaring lemah di ranjang. Kevin melangkah masuk, membawa tas yang diyakini milik Kaelith, berisi pakaian dan perlengkapan lain.
“Ini, barang-barangmu, Kaelith. Aku ambilkan dari apartemen,” ucapnya singkat sambil meletakkan tas di kursi dekat ranjang. Kaelith hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap ibunya yang duduk di samping ranjang.
Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Nayara muncul dengan langkah pelan, rambutnya dikuncir dua, kacamata bulat menempel di wajahnya, dan cardigan yang menutupi lengan panjangnya. Di tangannya ada tas lain, berisi perlengkapan tambahan untuk Kaelith.
Begitu matanya menangkap sosok Liora, Nayara langsung terhenti di ambang pintu. Tubuhnya kaku, lalu menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup cepat, merasa kecil di hadapan wanita anggun itu.
Liora menatap Nayara tanpa ekspresi, wajahnya datar dan tak memberi sedikit pun reaksi. Tatapannya begitu dingin sehingga membuat Nayara semakin menunduk dan ragu melangkah maju.
“Permisi, saya hanya… hanya membawakan ini untuk Kaelith,” ucap Nayara lirih, suaranya hampir tersedak oleh ketegangan di ruangan.
Suasana kamar itu pun mendadak hening, setiap gerak dan kata yang tertahan terasa tegang, seolah menunggu sesuatu yang tak pasti.
Melihat keheningan yang menegang di kamar, Kevin cepat membaca situasi. Ia berdiri, lalu melangkah mendekat ke arah Nayara yang masih terpaku di ambang pintu dengan kepala menunduk.
“Nayara, kau belum sarapan kan?” ucap Kevin dengan nada tenang, mencoba mencairkan suasana. “Ayo kita keluar sebentar cari makan. Biarkan Kaelith bersama dengan mama dulu.”
Nayara sempat mengangkat wajahnya sekilas, menatap Kevin ragu. Matanya lalu melirik ke arah Kaelith, seolah meminta izin, namun Kaelith hanya menatapnya dalam diam ekspresi wajahnya sulit ditebak.
Akhirnya Nayara mengangguk pelan. Ia menggenggam erat tali tasnya, lalu mengikuti Kevin keluar dari kamar.
Pintu tertutup kembali, menyisakan Kaelith dan Liora di dalam ruangan, sementara langkah Nayara terdengar semakin menjauh di koridor rumah sakit.
Kevin membawa Nayara berjalan keluar dari rumah sakit. Udara pagi yang sejuk sedikit menenangkan suasana hati Nayara, meskipun ia masih tampak gelisah.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Kafe itu masih lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang duduk menikmati kopi pagi. Aroma roti panggang dan kopi baru diseduh menyambut keduanya ketika pintu terbuka.
“Duduk di sini saja,” ujar Kevin sambil menarik kursi di sudut dekat jendela. Nayara menurut, meletakkan tasnya di samping kursi lalu duduk pelan.
Seorang pelayan menghampiri, Kevin segera memesan dua cangkir kopi hangat dan beberapa potong roti.
Saat pelayan pergi, Kevin menatap Nayara dengan senyum kecil, mencoba memberi kenyamanan.
“Terima kasih telah membawa Kaelith ke rumah sakit, Nayara,” ucap Kevin setelah menyesap kopi hangatnya.
Nayara menoleh perlahan, sedikit terkejut dengan ucapan itu.
“Setelah semua yang ia lakukan padamu… bagaimana ia begitu posesif, terobsesi, dan terus mengekangmu… tetapi kau masih peduli padanya,” lanjut Kevin, nada suaranya tenang namun jelas menyimpan rasa heran.
Nayara menunduk, jemarinya meremas cardigan yang menutupi lengannya. “Aku tidak bisa membiarkannya terluka seperti itu, Kevin. Apa pun yang sudah terjadi… aku hanya tidak tega melihatnya menderita.”
Kevin terdiam sejenak, menatap gadis itu lekat-lekat. Ada sesuatu dalam diri Nayara yang membuatnya sulit dimengerti ketabahan sekaligus kelembutan yang bertolak belakang dengan sifat Kaelith yang kerap mengekangnya.
Ia akhirnya menghela napas, lalu berkata pelan, “Aku mengerti… kau memang punya hati yang berbeda dari kebanyakan orang.”
“Apakah kau sanggup bersamanya terus, Nayara? Aku tahu bagaimana kau terjebak dengannya selama ini,” ucap Kevin dengan nada serius, matanya menatap lurus pada gadis di depannya.
Nayara tersenyum simpul, meski senyumnya getir. “Aku bahkan tidak tahu, Kevin… Andai aku bisa pergi, aku ingin melakukannya. Tetapi Kaelith tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Suasana di meja itu seketika diliputi keheningan. Kevin menggenggam cangkir kopinya lebih erat, mencoba menahan amarah yang mendidih setiap kali mendengar bagaimana adiknya memperlakukan Nayara.
“Itu… apa itu bekas luka yang Kaelith ciptakan?” tanya Kevin pelan namun tegas, matanya menatap memar di sudut mata Nayara.
Nayara terdiam, jemarinya refleks menyentuh area itu lalu menunduk dalam-dalam. Ia tak sanggup menatap Kevin.
“Jawab aku, Nayara,” desak Kevin, suaranya merendah namun mengandung amarah yang tertahan.
Nayara menghela napas, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”
Kevin menghela napas kasar, matanya jelas menyimpan bara. Sedangkan Nayara berusaha mengusir ketegangan dengan meneguk kopi yang sejak tadi sudah dingin.
Namun pikirannya melayang. Ia ingat sekali lebam di matanya sudah tiga hari, tetapi belum juga sembuh. Rasa nyeri itu masih menusuk setiap kali disentuh. Semua bermula ketika Kaelith mendapati foto dirinya bersama Jayden di ponsel.
Tangannya masih bisa merasakan sakit dari genggaman keras Kaelith malam itu, teror yang sulit ia lupakan.
Nayara merapatkan cardigan ke tubuhnya, seolah ingin menyembunyikan bukan hanya lukanya, tapi juga kenyataan pahit yang terus menghantuinya.
Ponsel Kevin tiba-tiba berdering, memecah suasana tegang di antara mereka. Pria itu segera merogoh saku jaketnya dan mengangkat panggilan tersebut.
Suara di seberang terdengar panik, membuat wajah Kevin berubah serius seketika. "Apa? Baik, aku segera kembali," ucapnya singkat sebelum menutup telepon.
Nayara menatapnya dengan ragu. "Ada apa, Kevin?" tanyanya pelan.
Kevin berdiri, mengambil napas berat. "Kaelith… dia mencarimu."
Nayara terdiam mendengar ucapan Kevin. Jemarinya meremas ujung cardigan yang ia kenakan, seolah sedang menimbang pilihan yang tak pernah benar-benar ia miliki.
"Aku… aku tidak ingin kembali sekarang, Kevin," bisiknya lirih. "Aku takut."
Kevin menatapnya dalam, lalu menghela napas panjang. "Aku mengerti, Nayara. Tapi jika kau tidak muncul, Kaelith akan semakin kalap. Aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang lebih buruk terjadi padamu."
Gadis itu menunduk, dadanya terasa sesak. Ia tahu Kevin benar. Meski tubuhnya memberontak, pikirannya menolak, dan hatinya menangis, langkahnya selalu tertarik kembali pada lingkaran tak berujung yang Kaelith ciptakan untuknya.
"Ayo," ucap Kevin akhirnya, suaranya pelan namun mantap. "Aku akan bersamamu. Setidaknya… kau tidak akan sendirian menghadapi dia."
Dengan langkah ragu, Nayara hanya mengangguk kecil, mencoba menenangkan dirinya meski ketakutan masih menggerogoti.
Di ruang rawat, Kaelith terlihat gelisah sejak tadi. Begitu pintu terbuka dan terlihat Kevin masuk bersama Nayara, pria itu langsung menegakkan tubuhnya.
"Kau…" suara Kaelith serak namun sarat amarah, sorot matanya langsung menusuk Kevin. "Kenapa kau mengajaknya keluar terlalu lama?"
Nada Kaelith naik, tajam, penuh pengekangan. Nayara hanya tertunduk, tak berani menatap siapapun.
Kevin menahan napas, sementara di sudut ruangan, Liora yang duduk di sofa hanya memperhatikan. Tatapannya dingin, tak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya menyaksikan bagaimana putra bungsunya menegur keras Kevin, anak pertamanya.
Keheningan menekan ruangan, hanya suara Kaelith yang terdengar dominan, memperlihatkan betapa obsesinya pada Nayara membuatnya kehilangan kendali bahkan di hadapan keluarganya sendiri.
“Aku hanya mengajaknya sarapan,” ucap Kevin tenang, memilih duduk menyusul Liora di sofa.
Nada suaranya sengaja ia buat datar, tidak ingin menyulut emosi adiknya lebih jauh. Namun, kalimat sederhana itu justru membuat rahang Kaelith mengeras. Tatapan matanya masih terarah pada Nayara yang terus menunduk dalam diam, seakan tak punya hak bersuara.
Liora menggeser pandangannya, sekilas menatap Kevin lalu kembali menatap Kaelith. Meski tanpa ekspresi, ia bisa merasakan ketegangan yang begitu kental di dalam ruangan itu antara dua putranya yang bertolak belakang sifat, dan seorang gadis yang terperangkap di tengah keduanya.
Kaelith tidak ingin mendengar penjelasan Kevin lebih jauh. Tatapannya segera beralih pada Nayara yang masih menunduk.
“Aku ingin buang air, cepat bawa aku ke toilet,” ucap Kaelith tegas, dingin, namun sarat dengan nada memerintah.
Nayara sontak terlonjak kecil, segera berdiri tanpa berani membantah. Ia menghampiri sisi ranjang, membantu Kaelith dengan hati-hati. Tangannya gemetar saat meraih lengan pria itu, menuntunnya perlahan agar bisa bangkit.
Kevin hanya bisa menghela napas panjang, sementara Liora duduk membisu, matanya mengikuti setiap gerakan putranya. Meski ia tidak bersuara, hatinya terasa berat melihat bagaimana Nayara diperlakukan.