Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Langit Jakarta mendung saat Alya melangkah masuk ke rumah sakit. Rey menyusul dari belakang, membawa payung yang belum sempat digunakan.
Dimas terbaring diam. Tubuhnya kurus. Wajahnya pucat. Selang oksigen menempel di hidung. Matanya tertutup, tapi hidup masih ada—terlihat dari napasnya yang pelan dan berat.
Di sisi ranjang, Livia berdiri. Matanya sembap, namun tenang. Ia menyambut Alya dengan anggukan kecil.
Tak ada permusuhan.
Tak ada lagi sikap menilai.
Hanya dua perempuan yang pernah mencintai orang yang sama… kini berdiri sebagai saksi akhir dari perjalanan seorang pria yang dulu jadi pusat luka mereka.
“Dia nggak bisa bicara lagi,” bisik Livia. “Tapi sebelum koma… dia titip satu pesan untuk kamu. Kami rekam, karena dia tahu kamu nggak akan sempat datang waktu itu.”
Livia menyerahkan ponsel. Jemarinya gemetar.
Alya memutar video itu. Wajah Dimas muncul, lebih segar dari sekarang, meski jelas ia sedang sakit. Matanya langsung menatap kamera.
“Alya…
Kalau kamu mendengar ini, artinya aku mungkin nggak sempat ngomong langsung.
Aku minta maaf. Bukan karena aku menikahimu. Tapi karena aku melakukannya untuk meredam ego, bukan untuk mencintaimu sebagaimana kamu pantas dicintai.
Waktu itu… aku ingin dianggap adil. Jadi aku berpikir, menikahi dua perempuan akan membuktikan bahwa aku pria hebat.
Tapi ternyata aku cuma pengecut yang takut memilih.
Kamu layak mendapatkan seseorang yang memilihmu tanpa syarat.
Kamu bukan madu, Alya.
Kamu adalah bunga utuh yang seharusnya tak perlu dibagi.”
Alya menutup video dengan napas tercekat.
Tangisnya tak meledak. Tapi mengalir perlahan, seperti hujan tipis yang tak kunjung reda. Ia berdiri di samping tempat tidur Dimas. Lalu berbisik:
“Terima kasih… sudah menyadarinya sebelum semuanya terlambat. Aku sudah memaafkanmu. Bahkan sebelum kamu sadar kamu salah.”
Livia berjalan keluar ruangan, memberi mereka waktu berdua.
Rey menunggu di koridor. Saat Alya keluar, ia tidak berkata apa-apa. Hanya meraih tangannya dan menggenggam erat.
Beberapa hari kemudian.
Pemakaman Dimas berlangsung sederhana. Tidak ada keramaian. Tapi banyak wajah yang datang—rekan kerja, tetangga, saudara jauh. Alya berdiri di sisi Livia. Mereka tidak bergandengan tangan. Tapi berdiri berdampingan, untuk pertama kalinya tanpa rasa saling bersaing.
Setelah pemakaman, Livia menghampiri Alya.
“Aku mau tinggal di luar negeri. Memulai ulang. Tapi sebelum pergi, aku ingin menyerahkan ini.”
Ia mengeluarkan amplop putih.
“Dimas pernah beli rumah kecil atas namamu. Dia nggak pernah bilang ke siapa pun. Tapi sebelum koma, dia minta aku yang serahkan.”
Alya membuka amplop itu. Sertifikat rumah, lengkap dengan surat keterangan hibah pribadi.
“Ini bukan hadiah,” kata Livia. “Ini mungkin satu-satunya hal nyata yang bisa dia tinggalkan padamu, selain luka.”
Alya menggigit bibir. “Terima kasih. Untuk segalanya.”
Mereka berpelukan. Singkat. Tapi cukup untuk menutup satu bab panjang yang penuh perih.
Malam itu.
Alya dan Rey duduk di balkon rumah Rey.
Mereka minum teh hangat sambil melihat lampu kota.
“Kamu capek?” tanya Rey.
Alya mengangguk. “Capek, tapi plong.”
Rey menghela napas. “Aku dapat tawaran kerja ke London. Setahun. Tim riset internasional. Aku belum jawab.”
Alya menoleh cepat. “Kapan kamu berangkat kalau kamu terima?”
“Minggu depan.”
Sunyi menyelimuti.
Rey menatap mata Alya. “Aku bisa tolak. Aku nggak mau ninggalin kamu.”
Tapi Alya menggeleng pelan. “Rey… aku tidak ingin kamu memilih antara aku atau masa depanmu.”
“Kamu juga masa depanku.”
Alya tersenyum. Lalu berdiri dan meraih tangan Rey.
“Pergilah. Kejar apa yang membuat kamu lebih besar dari hari ini. Dan kalau satu tahun dari sekarang kamu masih merasa aku bagian dari itu… pulanglah.”
Rey memeluk Alya. Lama. Erat.
“Dan kalau saat aku kembali kamu sudah dengan orang lain?”
Alya tersenyum lembut. “Kalau kamu pulang lebih cepat dari luka yang belum sembuh, mungkin aku masih akan sendiri. Tapi kalau kamu kembali dengan jiwa yang penuh… siapa tahu, kamu bukan hanya pulang. Tapi kamu datang… untuk tinggal.”
Dimas telah pergi. Tapi kepergiannya membuka jalan bagi Alya untuk benar-benar menyembuhkan diri, bukan sekadar bertahan. Dan kini, ia menatap masa depan bukan dengan rasa takut akan ditinggalkan—tapi dengan keyakinan bahwa ia cukup, dengan atau tanpa siapa pun.
*
Setahun telah berlalu sejak kepergian Dimas dan kepergian Rey ke London.
Jakarta tetap ramai. Tapi bagi Alya, dunia telah berubah.
Ia kini tinggal di rumah kecil peninggalan Dimas, yang telah direnovasi menjadi "Rumah Cahaya" — pusat literasi dan konseling untuk perempuan. Ruang tamunya diubah jadi perpustakaan mini. Halamannya menjadi tempat anak-anak duduk di tikar, mendengar dongeng atau belajar membaca.
Ia bukan aktivis yang lantang di media.
Tapi setiap hari, Alya jadi alasan seorang ibu tak menyerah, seorang anak perempuan berani bermimpi, dan seorang remaja berani mengatakan, “Aku pantas memilih.”
Suatu sore.
Hujan turun lembut di halaman. Alya sedang menyusun buku ketika seorang pria berdiri di pagar.
Naras, pria 34 tahun, pendiam, pengelola penerbitan buku anak-anak. Ia sudah beberapa bulan bekerja sama dengan Alya untuk membuat cerita bergambar tentang perempuan inspiratif di pelosok negeri.
Namun, hari itu tatapan Naras berbeda.
“Alya,” katanya sambil tersenyum, “aku tahu selama ini kita kerja bareng… dan aku nggak pernah bilang apa-apa. Tapi boleh aku jujur hari ini?”
Alya menatapnya. Tenang. Tapi hatinya terhenti sejenak.
“Aku suka kamu. Bukan karena kamu baik, atau hebat, atau cantik—meski semua itu benar. Tapi karena setiap kali aku lihat kamu bicara dengan anak-anak, aku tahu… kamu bukan orang yang sedang mencari pujian. Kamu cuma ingin dunia ini lebih adil. Dan aku ingin jalan di samping orang seperti itu.”
Alya terdiam. Hujan terus turun.
Naras tidak menuntut jawaban. “Kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku tahu kamu pernah luka. Aku nggak mau jadi tambalan. Aku cuma ingin jadi pilihan.”
Malamnya.
Alya duduk sendiri di kamarnya. Ia membuka buku harian kecil yang dulu diberikan Rey sebelum berangkat.
"Kalau kamu merasa terlalu sepi, tulislah. Aku percaya, kata-kata bisa menampung perasaan yang bahkan air mata tak bisa jelaskan."
Tangannya gemetar saat membuka halaman terakhir. Kosong. Tapi ia menulis,
“Seseorang baru mengetuk hatiku. Tapi aku belum bisa membuka pintu. Karena aku masih menunggu suara yang pernah berjanji akan pulang.”
Dan seperti semesta mendengar… telepon berdering.
Nomor luar negeri.
Alya menjawab. Suara di seberang sangat ia kenal.
Rey.
“Hai, Alya. Aku pulang besok. Boleh aku ketemu kamu?”
Keesokan harinya.
Rey berdiri di depan "Rumah Cahaya". Ia tak pakai jas mahal atau sepatu kulit. Hanya kaos abu dan ransel di punggung. Tapi matanya… memancarkan cahaya yang lebih tenang.
Alya membuka pintu. Mereka saling tatap. Lama.
“Selamat datang kembali,” bisiknya.
“Aku janji pulang, kan?” jawab Rey sambil tersenyum.
Mereka duduk di teras. Minum teh jahe. Seperti tak ada jarak satu tahun di antara mereka.
“Aku lihat kamu lebih bersinar dari terakhir kali aku lihat,” kata Rey.
Alya menatap mata Rey. “Dan kamu lebih tenang dari terakhir kali kamu pergi.”
Rey menghela napas.
“Alya… aku nggak datang untuk mengulang yang lama. Aku datang untuk mulai yang baru, kalau kamu masih ingin.”
Alya menggigit bibir. “Rey… ada seseorang yang juga ingin masuk dalam hidupku. Tapi kamu tahu kenapa aku belum membukakan pintu?”
“Karena kamu masih percaya padaku?” tanya Rey perlahan.
“Bukan,” jawab Alya pelan. “Karena aku tahu, jika kamu benar-benar datang bukan hanya untuk tinggal… kamu akan mengetuk, bukan menerobos.”
Rey menunduk. Lalu berkata, “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan berdiri di depan pintu itu. Setiap hari. Sampai kamu merasa siap membuka.”
Seminggu berlalu.
Naras datang ke Rumah Cahaya, membawa draft buku anak-anak yang mereka susun.
Ia melihat Alya sedang berdiskusi dengan Rey dan beberapa ibu muda.
Tak ada cemburu di matanya.
Saat pulang, Naras hanya berkata, “Terima kasih sudah mengizinkanku singgah. Tapi aku rasa kamu tahu siapa yang hatimu pilih. Dan aku cukup bahagia pernah jadi bagian dari prosesmu menemukan itu.”
Cinta yang tulus tak pernah datang untuk merebut. Ia datang untuk menawarkan tempat. Dan Alya—setelah luka, kehilangan, dan pengkhianatan—akhirnya berdiri di persimpangan dengan tenang.
Bukan untuk memilih siapa yang terbaik,
tapi untuk memilih siapa yang ingin ia ajak berjalan bersama, dalam utuhnya dirinya sendiri.