NovelToon NovelToon
Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: chery red

Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Obsesi yang Berkobar dan Perangkap Tiara di Gerbang Sekolah

Insiden di kantin menyebar bagai api di sekam. Bisikan dan tatapan penasaran mengikuti Alea ke mana pun ia pergi, namun bukan tatapan iba yang dulu ia terima, melainkan campuran kebingungan, kekaguman, dan sedikit ketakutan. Siapa gadis pendiam yang tiba-tiba menarik perhatian Axel dan bisa menahan amarah Tiara serta pukulan David dan Devan tanpa setetes air mata? Aura Alea yang dingin, kini bercampur dengan sedikit misteri dan ketangguhan, justru membuatnya semakin memikat di mata beberapa orang, dan semakin menakutkan bagi yang lain.

Tiara, di sisi lain, merasakan gejolak amarah yang tak tertahankan, sebuah letupan gunung berapi di dalam dadanya. Penghinaan di gerbang dan di kantin telah melukai harga dirinya yang teramat tinggi, mengoyak citranya sebagai ratu sekolah. Ia tidak hanya cemburu buta, ia marah karena Axel, target obsesinya, terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Alea, seorang gadis yang ia anggap tak lebih dari sampah masyarakat, bahkan tidak pantas bernapas di udara yang sama dengannya. David dan Devan, yang juga menyaksikan sendiri interaksi Axel dengan Alea—terutama saat Axel mencoba mengejar Alea yang pergi—merasakan kebencian mereka pada Alea semakin mengental dan semakin menguasai hati mereka. Axel adalah sosok yang mereka hormati, idola yang tak tersentuh, dan melihat Axel bahkan bersikap ramah pada Alea adalah pengkhianatan yang tak termaafkan, sebuah noda pada kesetiaan mereka.

Tiara segera menyusun rencana. Otaknya berputar cepat, merangkai skenario-skenario jahat. "Kita harus membuat Axel melihat betapa menjijikkannya Alea! Kita harus tunjukkan wajah aslinya!" serunya pada David dan Devan malam itu, matanya menyala-nyala bagai bara api yang membara. Jemarinya mencengkeram erat meja belajar. "Kita akan mempermalukannya di depan seluruh sekolah, dan pastikan Axel tahu siapa dia sebenarnya! Dia itu parasit, sampah, tidak pantas berada di lingkungan kita!" Mereka bertiga sepakat, mengangguk penuh semangat, merangkai trik licik yang lebih kejam dan lebih publik dari sebelumnya, berjanji untuk membuat Alea menyesali setiap detiknya.

Keesokan harinya, Axel tidak menyerah. Rasa penasarannya pada Alea kian membesar, bagai benih yang disiram dan tumbuh tak terkendali. Ia terbiasa dikejar, dan penolakan dingin Alea adalah tantangan yang menarik, sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Ia mencoba mendekati Alea di perpustakaan, menawarinya bantuan dalam tugas fisika yang rumit, bahkan mencoba menemaninya saat jam pelajaran kosong. Namun, Alea tetaplah Alea. Ia selalu menjawab singkat, menolak dengan dingin, dan menghindari kontak mata, membuat Axel frustrasi sekaligus tergelitik. Axel bahkan meminta bantuan ketujuh temannya untuk mencari tahu lebih dalam tentang Alea, memerintahkan mereka untuk menggunakan koneksi mereka. Namun, informasi yang mereka dapatkan tetap samar, seperti ada dinding tak terlihat yang melindungi setiap jejak Alea. Ini semakin membuat Axel yakin ada sesuatu yang istimewa dari Alea, sesuatu yang tersembunyi.

Jam pulang sekolah berdentang, menandai berakhirnya hari yang penuh ketegangan. Gerbang sekolah segera dipenuhi oleh siswa yang bergegas pulang. Axel, seperti pagi sebelumnya, sengaja berdiri di dekat gerbang utama, dengan ketujuh temannya yang berpengaruh di sekitarnya. Kehadiran mereka menciptakan gelombang bisikan dan tatapan penasaran.

Tiara, yang sudah mengintai dari kejauhan, melihat Axel dan tahu ini adalah kesempatannya. Dengan langkah anggun yang dipenuhi percaya diri, ia menghampiri Axel, seolah-olah ia adalah ratu yang sedang menemui penguasa.

"Axel! Kau menungguku, kan?" sapa Tiara manja, tangannya terulur hendak mengait lengan Axel. Sebuah senyum kemenangan tipis tersungging di bibirnya.

Axel, yang sedang sibuk mengamati kerumunan mencari sosok Alea, hanya melirik Tiara sekilas. Matanya kembali datar, dingin, penuh ketidakacuhan yang menusuk. "Tidak," jawabnya singkat, suaranya tajam, dingin dan tanpa emosi. "Aku tidak menunggumu."

Tiara tercekat, tangannya membeku di udara. Wajahnya memerah padam. "Tapi... aku tau kamu sudah lama menungguku. Kita bisa pulang bersama." Ia mencoba lagi, suaranya bergetar menahan malu dan amarah.

Tepat saat itu, Alea terlihat berjalan keluar dari gerbang, tasnya disampirkan di bahu, tatapannya fokus pada ponselnya, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada. Ia tampak tidak menyadari drama yang sedang terjadi di dekatnya.

Melihat Alea, senyum Axel kembali terukir tipis. Ia melangkah melewati Tiara yang masih mematung, mendekati Alea. "Alea, mau pulang bersamaku?" tanyanya, suaranya kembali lembut dan ramah, sebuah kontras yang menusuk hati Tiara.

Alea mendongak, menatap Axel, lalu melirik sekilas ke kerumunan di belakang Axel, termasuk Tiara yang kini menatapnya dengan pandangan membunuh. "Tidak. Aku naik ojek online," jawab Alea datar, lalu menggeser tubuhnya hendak melewati Axel.

"Alea, dengerin aku dulu—" Axel mencoba meraih lengan Alea, namun Alea dengan cepat menghindar.

Tiba-tiba, David dan Devan muncul dari belakang Tiara, wajah mereka penuh amarah. Mereka sudah mendengar semua bisikan tentang kedekatan Axel dan Alea.

"DASAR JALLANGG TIDAK TAHU DIRI!" teriak Tiara, suaranya melengking tinggi, memecah kebisingan gerbang sekolah. Semua mata kini tertuju pada mereka. "Kau itu sangat menjijikkan, tak pantas berada di sekolah ini, apalagi berjalan berdampingan dengan Axel! Kau itu sampah keluarga, pergi! Membuat malu saja!" Air mata palsu mulai mengalir di pipinya, tangannya menunjuk-nunjuk Alea dengan penuh kebencian.

David dan Devan ikut maju, berdiri di samping Tiara. "Kau dengar, Alea?!" bentak David, suaranya menggelegar. "Sepupumu berkata benar! Kau itu tidak pantas berada di sekolah ini! Kau hanya aib keluarga!"

"Kau itu parasit!" Devan menyahut, tatapan jijik terlihat jelas di matanya. "Cuma numpang hidup! Tidak tahu diri!"

Axel, yang masih berdiri di dekat Alea, mengerutkan dahi. Teman-temannya pun saling pandang, raut wajah mereka menunjukkan ketidaknyamanan. Mereka tahu David dan Devan murid sekolah ini juga, tapi menghina Alea di depan umum seperti ini, terutama di depan Axel, sungguh keterlaluan. Beberapa siswa mulai mengeluarkan ponsel, merekam insiden itu.

Alea hanya berdiri, membiarkan rentetan kata-kata hinaan itu menerpanya. Matanya tetap dingin, acuh dengan perkataan yang dilontarkan oleh mereka, seolah tidak ada satu pun kata yang bisa menembus perisai emosinya. Ia menatap Tiara, David, dan Devan dengan tatapan yang nyaris menakutkan, tanpa emosi, tanpa air mata, tanpa rasa sakit. Ia tidak berteriak, tidak membela diri, tidak menangis. Diamnya Alea justru membuat mereka semakin frustrasi, karena mereka tidak mendapatkan reaksi yang mereka inginkan.

"Kau tuli?! Kami bicara padamu, dasar sampah!" teriak Tiara, mendekat, hendak mendorong Alea.

Namun, sebelum Tiara bisa menyentuh Alea, Axel tiba-tiba bergerak. Ia melangkah di antara Tiara dan Alea, menghalangi mereka. Wajahnya, yang biasanya dingin, kini menunjukkan sedikit kemarahan. "Cukup!" suaranya dalam dan berwibawa, membuat Tiara dan David-Devan terdiam kaget. "Jangan pernah menyentuh dan menghina dia."

Alea tidak menunggu. Dalam sekejap, ia menyelinap di samping Axel, melangkah menjauh dari kerumunan, dan menghilang di antara para siswa. Axel mencoba mengejar, namun Alea sudah terlalu jauh. Ia hanya bisa menatap punggung Alea yang menjauh, rasa frustrasi dan kekaguman bercampur aduk di dadanya.

Alea melangkah cepat, napasnya sedikit memburu, namun bukan karena lelah. Ia tidak peduli pada pandangan orang, pada bisikan yang mengikutinya. Pikirannya kosong dari emosi, fokus pada satu tujuan: klinik kecil Dokter Surya. Tempat itu, dan Alexander, adalah satu-satunya pelabuhan aman di tengah badai kehidupannya.

Setibanya di klinik, aroma antiseptik yang khas menyambutnya. Dokter Surya, dengan wajah tenang dan senyum ramah, sudah menunggu. Ia sudah tahu, Alea akan datang. Luka di dahinya, hasil insiden kantin, sudah mulai mengering. Dengan hati-hati, Dokter Surya membersihkan dan memeriksa luka lama Alea di punggung, yang masih belum pulih sepenuhnya, lalu membalutnya dengan perban baru.

"Alexander sudah menunggumu," kata Dokter Surya lembut, mengangguk ke arah paviliun.

Alea masuk ke paviliun. Alexander, yang kini sudah bisa duduk tegak di kursi roda untuk waktu yang lebih lama, menatap Alea dengan mata tajam. Ia melihat goresan di dahi Alea, tanda pertempuran lain yang baru saja gadis itu alami. Namun, ia juga melihat kekuatan baru di matanya, sebuah ketenangan yang menakutkan.

"Duduk, Alea," perintah Alexander, suaranya dalam dan penuh otoritas. Ia menunjuk kursi di hadapannya. "Ceritakan apa yang terjadi di sekolah hari ini."

Alea menceritakan semua yang terjadi: teriakan Tiara di gerbang, hinaan David dan Devan, dan bagaimana Axel mencampuri. Ia menceritakan semuanya tanpa emosi, tanpa keluhan, seperti melaporkan sebuah insiden yang ia saksikan, bukan yang ia alami.

Alexander mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. "Mereka mencoba membuatmu hancur, Alea," katanya, meraih papan tulis kecil dan spidol. "Mereka ingin melihatmu hancur, lemah, dan tak berdaya. Tapi kau harus menggunakan setiap upaya mereka untuk menguatkan dirimu. Setiap hinaan adalah bahan bakar, setiap pukulan adalah pelajaran. Kau tidak bisa lari dari konflik, kau harus menghadapinya dengan cerdas, bukan dengan kekuatan mentah, tapi dengan strategi."

Ia memulai pelajaran baru. "Dunia ini adalah medan perang, Alea. Dan musuhmu tidak hanya memakai tinju atau cambuk. Mereka memakai kata-kata, rumor, uang, dan kekuasaan. Kau harus menguasai semua itu." Alexander menjelaskan tentang sistem hukum, celah-celah di dalamnya, bagaimana hukum bisa dibengkokkan, bagaimana kebenaran bisa diputarbalikkan, dan bagaimana menggunakan bukti sebagai senjata yang mematikan. Ia juga mulai membimbing Alea dalam analisis data dan psikologi massa, bagaimana membaca tren sosial, memprediksi gerakan musuh melalui perilaku, dan mengendalikan narasi.

"Kau harus menjadi arsitek takdirmu sendiri, Alea," Alexander melanjutkan, suaranya tenang namun penuh tekad. "Setiap hinaan yang mereka lontarkan, setiap pukulan yang mereka berikan padamu, adalah pupuk untuk benih balas dendammu. Kau dibentuk untuk menghadapi mereka, untuk menghancurkan mereka, bukan untuk kepentingan orang lain. Kau akan membalaskan rasa sakitmu sendiri, Alea. Rasa sakit yang Richard, Kevin, David, Devan, dan Tiara tanamkan dalam dirimu."

Alexander menatap tajam ke mata Alea. "Dan ingat," lanjutnya, suaranya lebih rendah, penuh penekanan. "Balas dendam bukan hanya tentang membuat mereka menderita. Itu tentang mengambil kembali apa yang menjadi hakmu, mengambil kembali hidupmu. Ini adalah tentang kekuatan, tentang kendali. Jangan biarkan siapa pun mempermainkanmu lagi."

Alea mendengarkan setiap kata Alexander, menyerapnya seperti spons kering. Setiap teori, setiap simulasi pertarungan mental, semua itu mengisi kekosongan yang dulu ia rasakan, menggantikan keputusasaan dengan tujuan. Ia tidak lagi peduli pada Axel, atau pada Tiara dan David-Devan sebagai individu. Mereka hanyalah target, bidak dalam permainan yang lebih besar. Fokusnya kini hanya pada satu hal: menjadi cukup kuat, cukup cerdas, dan cukup kejam untuk membalas semua penderitaan yang mereka timbulkan padanya. Dendam itu kini menjadi inti motivasinya, sebuah api yang membakar di dalam dirinya, memberikan tujuan pada setiap pelatihannya, setiap jam yang ia habiskan untuk belajar, setiap rasa sakit yang ia tahan. Alexander melihat nyala api itu, puas. Ia tahu, Alea kini sepenuhnya siap menjalani hidup nya dan membalas semua rasa sakitnya pada mereka yang menyakitinya.

1
Naruto Uzumaki family
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!