Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Perbaikan Pipa Air
Bu Anisa tidur bersama di kamar Nek Raisyah. Tengah malam, guru itu terbangun karena mendengar suara ketukan pintu.
Bu Anisa duduk dan melihat Nek Raisyah tertidur, dia pun bangkit dan membuka pintu, menoleh kiri dan kanan, tak menemukan siapapun di lorong kamar itu.
"Hm, apa aku salah dengar ya?" Bu Anisa bergumam. Setelahnya dia menutup pintu dan berjalan ke dapur hendak ke kamar mandi.
Dia buang air kecil. Entah kenapa perasaannya tak enak, seolah ada yang memperhatikan dirinya sejak tadi. Dia keluar kamar mandi dan berjalan di lorong kamar, hendak kembali masuk ke kamar Nek Raisyah. Namun, matanya tertuju ke kamar depan yang pintunya terbuka. Dia berjalan ke kamar nomor tiga dan menutup pintu kamar itu.
Setelah di tutup, pintu itu terbuka kembali. Bu Anisa kembali menutup pintu kamar itu.
Deg! Sekelebat, dia melihat sosok gadis berlumuran darah berdiri di dalam kamar itu, saat dia menutup pintu. Bu Anisa langsung berbalik ke belakang, arah kamar nomor empat, hendak kembali ke komor Nek Raisyah. Pintu itu kembali terbuka, Bu Anisa tak lagi menghiraukan, dia terus berjalan dan masuk ke dalam kamar Nek Raisyah.
Saat dia hendak naik ke ranjang, dia melihat sosok berlumuran darah itu tengah duduk di posisi tempat tidurnya, menatapnya. Sementara Nek Raisyah tidur memunggungi sosok itu.
"Astaghfirullah!" Bu Anisa terkejut, dia langsung membaca ayat kursi sambil memejamkan mata, membaca ayat-ayat pendek. Kemudian perlahan membuka mata kembali. Sosok itu sudah tak nampak lagi.
"Bismillahirrahmanirrahim." Bu Anisa melangkah ke ranjang. Dia naik dan sudah berada di posisi samping Nek Raisyah, di dekat posisi sosok yang dia lihat tadi.
Sekarang, sosok itu malah berdiri di samping ranjang di dekat Bu Anisa. Dengan tangan gemetar, Bu Anisa berkata. "Jangan ganggu saya, saya tidak mengganggu."
Nek Raisyah menggeliat dan terbangun, melihat ke arah Bu Anisa yang duduk ketakutan.
"Nak Anisa terbangun, apa di gigit nyamuk?" tanya Nek Raisyah dengan suara khas bangun tidur.
Bu Anisa melihat ke samping, sosok tadi sudah tidak ada.
"Tidak Nek. Tadi terbangun karena ingin buang air kecil," sahut Bu Anisa.
"Oh, tidurlah kembali ini masih malam." Nek Raisyah menatap jam di dinding kamarnya.
"Iya, Nek."
Bu Anisa susah tidur, dia tertelentang dan menoleh ke arah Nek Raisyah, beberapa kali bergerak, melihat ke sana kemari, hingga Nek Raisyah pun tidak kembali tertidur.
"Ada apa Nak? Apa tadi kamu melihat sesuatu saat buang air kecil?" tanya Nek Raisyah.
Bu Anisa mengangguk.
"Apa yang kamu lihat?" Nek Raisyah menatap Bu Anisa.
"Wanita dengan badannya berlumuran darah. Tadi aku melihat di kamar nomor tiga Nek, lalu saat aku kembali tadi, dia di ranjang ini," ungkap Bu Anisa.
Nek Raisyah bangkit. Mengambil tongkatnya.
"Nenek mau kemana?" Bu Anisa bertanya ketakutan.
"Ke kamar nomor tiga!"
"Nek." Bu Anisa mengikuti nenek itu.
Saat keluar dari kamar, sang Nenek mengambil kunci dan kayu penghalang. Di depan pintu yang terbuka sang nenek memukul tiang pintu tiga kali, lalu menutup pintu, menguncinya dari luar dan memasang plang kayu. Setelah itu kembali memukul pintu dan komat kamit.
"Ayo kembali ke kamar," ajak Nek Raisyah pada Anisa yang mengekorinya sejak tadi. "Sudah tak apa-apa. Nak Anisa tak perlu takut, sekarang aman, tidak akan ada gangguan lagi," ucap Nek Raisyah.
Mereka kembali ke kamar. "Sekarang tak usah takut lagi, pejamkan mata. Nenek ada di sampingmu."
Bu Anisa memaksa memejamkan mata hingga dirinya benar-benar tertidur kembali dengan sendirinya.
Pagi ini, Bu Anisa membuat nasi goreng dan lauk terong tambah ikan asin, dibantu oleh Saddam dan Nek Raisyah. Sementara yang lainnya memilih membantu mencongkel buah pinang.
Setelah semuanya siap dan tersaji, mereka semua makan nasi goreng bersama. Sedangkan Nek Raisyah memilih makan nasi putih dengan lauk dan sayur lalapan terung pipit.
"Hari ini kalian libur lagi dari praktek?" Bu Anisa menatap empat muridnya.
"Iya Bu, Pak Johan berkata, kami masuk kembali hari senin saja," sahut Viko.
"Oh, kalau begitu hari ini apa agenda kalian? Ibu akan menemani," ujar Bu Anisa.
"Baik Bu, rencana kami hendak membantu warga bergotong royong memasang pipa air kerumah warga yang belum dapat air dan memperbaiki pipa air di hulu air," jawab Viko.
"Nak Agung jangan pergi ke hulu air dulu, cukup membantu pipa di rumah warga saja ya," pinta Nek Raisyah.
"Baik, Nek," jawab Agung patuh.
Saat melihat Bu Anisa yang cantik, hampir merata laki-laki yang belum menikah meliriknya, tak terkecuali juga Hendra.
Hendra bersalaman dengan Bu Anisa. "Saya Hendra, ketua pemuda di sini Bu," ucapnya.
"Saya Anisa, guru mereka, terimakasih dan mohon bimbingannya Kak Hendra," sahut Bu Anisa.
Selama gotong royong, tampak Hendra cari-cari perhatian. Bang Irul menunjukkan ketidak sukaannya.
"Bu Anisa, Diro dan Agung jangan ikut ke hulu, kalian di rumah Bu Net aja, biar yang lain saja yang ke hulu air," kata Bang Irul menatap tajam Bu Anisa.
"Ah, iya Bu. Ibu di rumah Bu Net aja, bantu-bantu masak buat kami, biar kami bisa cicipi masakan dari tangan wanita cantik," goda Hendra.
"Dasar buaya! hahahaha!" Salah satu ibu di sana menertawakan.
"Heheh, namanya juga lagi pendekatan Bu, usaha, kali aja jodoh," kata Hendra. "Iya Kan Bu guru?" Hendra tersenyum pada Bu Anisa.
Bu Anisa hanya tersenyum kecil menanggapi itu.
Mereka semua pergi ke hulu air. Di perjalanan, Bang Irul mencegat Saddam dan Viko. "Kalian jangan biarkan Hendra mendekati guru kalian!" ucapnya, lalu melanjutkan kembali langkahnya, mengejar yang lain.
"Ada apa dengan Bang Irul Dam? Kenapa dia tampak tak suka ya? Apa jangan-jangan perasaan kita selama ini benar?" Viko berbisik, menatap Saddam.
"Sst! Ayo cepat, nanti saja kita bicarakan!" jawab Saddam.
Anehnya, saat Bang Irul bicara dengan Hendra, kedua orang itu tampak akrab dan bersahabat. Tak ada permusuhan.
"Kurasa Dam, Bang Irul ini munafik dan punya penyakit iri hati deh. Dia kan sudah ada istri dan anak, apa salahnya Bang Hendra yang belum menikah bercanda bukan?" Viko berbisik.
"Sst. Vik, nanti aja bicaranya, ntar kedengaran sama mereka atau yang lain," balas Saddam.
Saat bekerja, Saddam berhenti sejenak. Dia melihat sosok wanita yang waktu itu dia lihat duduk di atas batu besar. Wanita itu menatapnya.
Deg! Saddam menurunkan pandangan, berdo'a dan membaca ayat-ayat. Lalu, kembali bekerja. Namun, sosok itu masih saja duduk diam di atas batu, bahkan sampai pekerjaan perbaikan pipa selesai.
"Ada apa Dam? Kau terlihat tak biasa?" Viko bertanya dan menatap sekitar.
"Tak apa!" Saddam menyahut.
Selama perjalanan, Saddam melihat gadis itu selalu mengikuti bahkan kini berada di sisi Bang Irul dan Hendra yang tengah berjalan bareng.
"Dam!" Wajah Viko menegang, dia memegang erat tangan Saddam —ketakutan.