Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
"Di mana Skala?"
Aurora terdiam di depan pintu. Matanya menatap datar Evelyn yang menatap isi rumahnya mencari keberadaan Skala.
"Dia tidak ada," jawab Aurora.
Evelyn menatap Aurora dengan malas. "Ke mana dia?"
Aurora mengendikkan bahunya acuh. "Tidak tau."
Bruk
Evelyn masuk dan menabrak bahu Aurora begitu saja.
"Apa kamu tidak diajarkan sopan santun?" Aurora berbalik. Dia tetap diam di sana tanpa mengikuti Evelyn yang berusaha mencari keberadaan Skala.
"Masuk ke rumah orang tanpa permisi, bisa saja aku teriak maling dan semua penjaga akan menangkapmu," lanjut gadis itu. Nada bicaranya santai, namun penuh penekanan dan ancaman yang tidak main-main.
Evelyn yang hendak menaiki tangga pun berbalik menatap Aurora dengan marah. "Kamu sudah mulai berani rupanya," desis perempuan itu.
"Sejak kapan aku takut? Semua orang memiliki keberanian, hanya saja ... mereka tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkannya." Kaki mungil tanpa alas itu melangkah perlahan.
Evelyn mendengus. "Setelah kamu keluar dari mansion keluarga Bramasta, kamu mulai menunjukkan sisi aslimu yang jahat itu ya. Ingat Aurora, kamu hanyalah sampah yang dipungut Skala untuk dijadikan pelampiasan." Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatap remeh Aurora.
Tidak ada perubahan pada ekspresi Aurora saat mendengar ucapan Evelyn.
"Untuk apa Skala memungut sampah sepertiku, Evelyn? Bukankah dia sudah punya kamu?"
Evelyn mengepalkan tangannya. Tentu dia paham apa yang dimaksud Aurora. Secara tidak langsung, gadis itu mengatakan kalau dirinya adalah sampah.
"Kamu benar-benar munafik!" sentak Evelyn.
"Benar."
"Jadi, jangan lagi injakkan kakimu di rumah orang munafik ini," imbuh Aurora.
Para pelayan tidak ada yang ikut campur. Mereka cukup terkejut dengan keberanian Aurora. Pantas saja selama ini dia diam, karena ketika sudah habis kesabaran, kata-kata tidak pantas terlontar begitu saja dari mulut sang nona.
Evelyn menghentakkan kakinya dengan kesal. Ingin sekali dia mencakar wajah sok polos Aurora, namun ia urungkan karena takut Skala marah.
"Sekarang, kamu bisa berani. Tapi nanti, aku pastikan mulutmu itu tidak akan pernah berkata kasar padaku lagi!" Setelah mengatakan itu, Evelyn langsung pergi dari sana.
Aurora diam menatap punggung Evelyn yang semakin menjauh. Dia berdehem singkat untuk menyadarkan diri.
"Ternyata, aku bisa keren juga, ya?"
Sore harinya, Aurora sibuk berkebun. Ternyata di belakang rumah ada sebuah kebun kecil juga. Ada sayur dan juga pohon buah kelengkeng di sana. Sayur-sayuran nya masih tumbuh kecil, sepertinya baru ditanam beberapa hari lalu.
Sembari bersenandung ria, Aurora menyirami tanaman-tanaman itu. Dia menoleh ke arah pohon kelengkeng yang cukup tinggi, buahnya sudah ada, banyak sekali. Sepertinya pohon itu ditanam sebelum rumah ini dijual. Apakah pohon itu sebagai ciri khas rumah ini? Pasalnya rumah yang Skala beli bukanlah rumah bekas orang lain, melainkan benar-benar baru.
"Paman." Aurora memanggil seorang penjaga kebun yang sedang membersihkan rumput di sela tanaman.
"Iya, Nona? Ada yang bisa saya bantu?" Pria berumur 47 tahun itu berdiri sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil.
"Umm..." Aurora menoleh ke arah pohon kelengkeng. "Apakah buah itu sudah bisa dimakan?" tanya Aurora penasaran. Dia adalah tipe orang yang penasaran dan ingin mencobanya langsung, jadi saat melihat buah kelengkeng tersebut, Aurora ingin yang pertama kali mencicipi nya. Biasanya dia beli dipasar, tidak seperti sekarang yang bisa dipetik sendiri.
"Belum, Nona. Mungkin sekitar satu minggu buahnya matang," jawab penjaga kebun itu.
"A-ah, benarkah? Terimakasih penjelasannya," ucap Aurora. Melihat pria itu mengangguk, Aurora kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
"Aurora."
Suara itu membuat Aurora menoleh. Melihat siapa yang datang, buru-buru gadis itu meletakkan alat penyiram tanaman ke atas tanah. Tanpa sadar dia mengusapkan tangannya ke dress yang dia pakai. Seperti anak kecil yang terciduk oleh ayahnya karena sudah bermain kotor-kotoran.
"Skala? Kamu sudah pulang." Dia melangkah mendekati suaminya.
Skala melirik penjaga kebun yang menunduk hormat padanya, lalu kembali fokus pada Aurora. "Apa yang kamu lakukan?"
"Tidak ada, hanya menyiram tanaman sebentar," jawab gadis itu sembari memainkan jemarinya yang sedikit kotor.
Skala mendengus kecil melihat gerak-gerik Aurora yang seperti anak kecil. Pria itu melonggarkan dasinya, lalu berkata, "Buatkan aku jus apel."
Aurora mengangguk cepat. "Akan aku buatkan!"
Skala berbalik menuju kamar untuk membersihkan diri, sedangkan Aurora kebingungan. Badannya kotor karena belum mandi, masa iya membuatkan jus untuk Skala sekarang?
"Skala."
Langkah kaki Skala terhenti di tengah-tengah tangga, dia berbalik menatap Aurora yang berada di bawah. "Hm?"
"Bolehkah aku mandi lebih dahulu, lalu membuatkan kamu jus?"
"Ya."
Aurora tersenyum lebar. Dia berjalan cepat menaiki tangga, menyusul Skala yang sudah lebih dahulu masuk kamar.
"Aku akan pakai kamar mandi di bawah." Aurora hendak mengambil bajunya, tapi langsung terhenti saat mendengar ucapan Skala.
"Tidak perlu. Pakai kamar mandi di sini, aku akan menunggumu." Skala melepaskan kemejanya hingga bertelanjang dada, sedangkan celana panjangnya tetap ia pakai.
Tak menolak, Aurora pun segera masuk kamar mandi dan menyelesaikan mandinya dengan cepat.
Punggung lebar nan kekar nya dia sandarkan di sandaran sofa yang ada di balkon. Skala memejamkan matanya sambil mendongak, jemarinya memijat pelipis yang sedikit berdenyut.
Mencari informasi seseorang bukanlah hal yang sulit untuk Skala, dan dia baru saja mendapatkan informasi tentang Aurora. Yah ... setelah cukup lama dia memastikan ingin mengulik informasi gadis itu, akhirnya hari ini dia mendapatkannya. Sebuah fakta mengejutkan. Dia juga bertemu dengan seseorang hari ini, seseorang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dari keluarganya. Seseorang yang selama ini hanya bisa Skala lihat di sosial media, hari ini dia bisa bertemu secara langsung.
Sebenarnya bisa saja dia memanfaatkan kesempatan untuk mengajak orang tersebut agar bekerja sama dengannya. Namun, Skala tidak ingin mengambil resiko. Jadi, dia memilih diam saja tanpa bertindak apa-apa.
Skala ingat betul betapa tegasnya orang tersebut. Dia bahkan bisa merasakan aura gelapnya. Namun, Skala bukanlah orang yang lebay. Dia tetap tenang, tidak menunjukkan reaksi berlebihan.
"Skala."
Dia membuka mata dan menoleh ke arah Aurora yang sudah memakai dress putih berlengan panjang dengan panjang baju selutut. Gadis itu tampak manis dengan rambut yang digulung hingga memperlihatkan leher jenjangnya.
"Aku sudah selesai," ujar Aurora.
"Hm."
Bukannya beranjak, Skala kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa seraya memejamkan mata.
Aurora tidak bersuara lagi, dia memilih keluar untuk membuatkan jus yang Skala minta. Meskipun dalam hati Aurora agak aneh dengan sikap Skala. Oh, bukankah dia selalu merasa aneh dengan sikap suaminya itu?
"Apa dia sedang ada masalah?" gumam Aurora.
bersambung...
Aurora itu kalem, lugu, polos, sopan, lembut, kaya princess. makanya aku buat dia tetap santai meskipun lagi marah. bukan lemah. kalau Aurora lemah, udh metong dia karena tertekan + depresi akibat keluarganya🙂 makanya aku bilang ada saatnya Aurora kaya bener-bener kuat. ini baru bab 10, masih dibilang awal lah yaa. untuk pengenalan keluarga Aurora juga belum sepenuhnya aku jelaskan, kan? sabarrrrrr
lanjuuuut