NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggilan Papa dari Arshen

Apartemen Alverio Lux Residence, sore hari, menjelang petang.

Setelah mandi, rambut Aluna masih setengah basah. Ia mengenakan setelah piyama satin warna pastel. Di hadapannya, Callindra berdiri sambil merapikan tas kecilnya berisi botol susu cadangan dan popok bayi.

Aluna tersenyum hangat, tulus. “Makasih banyak, Ma. Arshen nggak akan seceria ini tanpa Mama.”

Callindra memandang Aluna dengan mata keibuan. Senyumnya terbit, kemudian ia menyentuh lembut kepala Aluna.

“Kamu hebat, Al... meski sibuk syuting, tetap pulang, tetap peluk anakmu. Mama cuma bantu sedikit. Mama pulang dulu, ya.”

Aluna mengangguk dan mengantar Callindra sampai ke depan pintu. Setelah pintu tertutup, ia mendesah pelan.

Ia kembali ke ruang tengah. Duduk di sofa sambil menggendong Arshen yang merengek kecil. Dengan sabar, ia mulai menyusui Arshen.

Aluna berbisik sambil mengelus kepala Arshen. “Arshen sayang Mama, ya?”

Suara Arshen mendesah pelan. Sesekali bibir mungilnya melepaskan puting, membuat Aluna tertawa kecil.

Aluna tersenyum geli. “Laper atau doyan, hmm?”

Tapi Arshen kembali tenang, menyusu dengan damai. Aluna menatap buah hatinya penuh kasih, air matanya nyaris jatuh karena perasaan gemas yang terlalu besar. Ia mencium pelan ubun-ubun bayi itu.

Tiba-tiba, suara input kode pintu terdengar dari pintu utama.

Aluna mendongak cepat. Pandangannya langsung tertuju ke arah pintu yang terbuka. Sosok tinggi bersetelan kantor masuk. Wajahnya dingin, lelah, tanpa senyum.

Aluna berbisik pelan, “Alaric...”

Alaric hanya menoleh sekilas. Tatapannya sekilas jatuh ke arah Arshen—tapi tak ada senyum, tak ada sapaan, bahkan tidak sekadar cium kening seperti biasanya.

Ia melangkah lurus, membuka jas, menggantungnya di sandaran kursi makan, lalu menuju kamar.

Pintu kamar tertutup.

Aluna memandangi pintu itu lama. Ia tidak marah. Tidak kecewa. Tapi... hatinya menghangatkan Arshen lebih erat.

Aluna menunduk, berbisik pelan pada Arshen. “Gak apa-apa, Sayang... Mama masih di sini.”

Arshen menyusu lagi dengan tenang. Di luar sana, dunia sibuk dan keras. Tapi di pelukan Aluna, Arshen tahu ia selalu dicintai.

...***...

Bunyi pintu kamar terbuka terdengar pelan. Alaric keluar dengan rambut masih basah, kini mengenakan kaos hitam polos dan celana santai. Langkahnya tanpa suara, tapi lelah terasa dari posturnya yang sedikit menunduk. Ia menuju dapur.

Tangan Alaric membuka kulkas. Wajahnya datar, tapi sedikit mengernyit saat melihat wadah lauk yang masih dingin. Ia mengangkat salah satu kotak bening berisi ayam kecap, membuka penutupnya, dan meletakkannya di meja. Ia menekan tombol microwave.

Dari ruang tengah, suara kecil mainan dan celoteh bayi terdengar samar. Aluna yang sedang menyusui di sofa menoleh karena mendengar keributan di dapur.

Dengan lembut, ia menyelesaikan sesi menyusui, lalu menurunkan Arshen ke karpet lembut yang sudah dilapisi kasur tipis empuk—memberikan mainan boneka kain kecil.

Aluna pelan, menyentuh kepala Arshen. “Main sebentar ya, Sayang. Mama ke dapur dulu.”

Aluna berjalan ke dapur. Langkahnya pelan, menyentuh lantai dengan hati-hati. Di dapur, Alaric sedang membuka tutup microwave, mengecek lauk panas.

Aluna pelan tapi mantap. “Al... jagain Arshen bentar, ya?”

Alaric melirik ke arahnya, mengangkat satu alis.

Alaric ketus, tak menatap lama. “Nanti nangis. Dia maunya kamu.”

Aluna menarik napas. “Cuma diawasin, kok. Gak usah digendong. Arshen udah bisa duduk, tinggal duduk deket dia, nyalain tivi, buka hape, terserah. Yang penting dia gak sendirian.”

Alaric mendesah. Ia tidak menjawab, tapi wajahnya menunjukkan protes dalam diam.

Aluna melangkah ke arah microwave, mengambil lauk panas. Tangannya gesit mencari piring dan menyiapkan makan malam. Di saat yang sama, Alaric dengan enggan melirik ke arah ruang tengah. Ia akhirnya berjalan ke sana.

Aluna melihat sekilas dari dapur lalu tersenyum samar. “Kalau nangis, panggil aja. Tapi Arshen anak pintar, kok.”

Alaric duduk di karpet impornya, pandangannya mengarah ke layar TV yang ia nyalakan tanpa volume. Di depannya, Arshen duduk sambil menggigit mainan.

Arshen melihat papanya, lalu tersenyum polos tanpa suara.

Dan Alaric—untuk pertama kalinya malam itu—menghela napas sambil menunduk sedikit, menatap anaknya yang kini tidak menangis. Hanya menatap dan bermain.

TV menyala tanpa suara. Di karpet, Arshen duduk dengan mantap, kedua tangan mungilnya memegang mainan berbentuk kelinci kain. Matanya menatap Alaric yang duduk di karpet dengan satu kaki ditekuk.

Alaric memandangi anak itu dari atas layar smartphone. Tangannya tak bergerak, seolah tidak yakin harus melakukan apa.

Arshen tiba-tiba mengoceh, belum jelas kata-katanya, hanya gumaman bayi yang riuh. Tapi senyumnya lebar sekali.

Alaric meletakkan smartphone di sampingnya, menghela napas pelan. Ia bersandar ke sofa, memandangi putranya.

Alaric berkata pelan, nyaris seperti gumaman. “...Kamu... lucu juga kalau diem gitu.”

Arshen merespon dengan gelak tawa kecil. Seolah mengerti. Tangannya menghantam kelinci kain ke karpet dan mengoceh lebih keras.

Alaric mendekat,  sedikit mencibir, tapi lembut. “Waktu itu rewel banget ya? Mau ngalahin suara tivi.”

Arshen tiba-tiba merangkak ke arah Alaric. Gerakannya cepat dan mantap. Ia sampai ke pangkuan Alaric dan mencoba menarik kaos papanya.

Alaric mematung sejenak. Ia menatap tangan mungil itu yang mencengkeram kaosnya, lalu menatap wajah kecil dengan senyum tanpa dosa.

Arshen menggumam pelan. “Ta... ta...”

Bukan 'papa', belum, tapi cukup membuat Alaric seperti tertusuk di dada.

Alaric akhirnya mengangkat balita itu dengan kedua tangan. Kaku. Tapi tidak salah. Ia membaringkan Arshen ke dadanya sendiri. Arshen menempel dan tertawa kecil.

Alaric lembut, lirih, “jangan senyum kayak gitu terus, nanti Papa... bingung.”

Seketika, Aluna muncul dari dapur, membawa dua piring. Tapi ia berhenti saat melihat pemandangan itu: Alaric duduk di karpet, memeluk Arshen yang tertawa di dadanya.

Mata Aluna hangat. Tapi ia tak ingin merusak momen itu.

Aluna berkata pelan, tanpa menyela, “makanannya udah siap.”

Alaric menoleh perlahan. Tatapannya tak sedingin biasanya. Hanya datar, tapi ada sesuatu di baliknya.

Alaric mengelus punggung Arshen. “Dia belum tidur. Kalau aku taruh di ranjang bayi, nangis. Kalau kayak gini... tenang banget.”

Aluna tersenyum. Lalu meletakkan piringnya di meja. Duduk tak jauh dari mereka. “Mungkin... dia cuma pengen ditemenin papanya.”

Alaric menatap Aluna sebentar. Lalu kembali menatap balita di dadanya.

Alaric menggeser tubuh, bersiap menurunkan Arshen. “Aku taruh dulu, biar bisa makan...”

Tapi tangan Aluna menahan pergelangan tangannya. “Enggak usah. Biar aku yang suapin.”

Alaric mengerjap. Ingin menolak. Tapi belum sempat bicara, sesendok nasi dan potongan ayam sudah terarah ke bibirnya. Aluna menatapnya dengan senyum tipis.

Arshen masih di pangkuan Alaric, bermain tenang, tangannya menarik-narik kain baju papanya. Alaric tak jadi bicara. Ia membuka mulut dan menerima suapan itu.

Alaric setelah mengunyah berkata, “kamu bisa masak kaya gini?”

Aluna menyendok lagi. “Enggak. Mama kamu yang jago masak enak.”

Alaric tertawa ringan. “Mama aku juga kaya kamu tau.”

Aluna tampak kaget. “Terus? Sering kirim lauk kesini siapa yang masak dong?”

“Di rumah Mama banyak maid. Mereka pasti yang bikin,” jelas Alaric.

Aluna jadi berpikir memang masuk akal. Callindra mengurus salah satu perusahaan Alverio Group dan sempat menyisakan waktu untuk mengurus Arshen saat Aluna dan Alaric bekerja—tidak ada waktu untuk memasak. Aluna juga belum pernah ke rumah mertuanya karena langsung tinggal di apartemen Alaric.

Aluna menyuapkan lagi. Arshen menggeliat kecil, berguling di pangkuan Alaric. Tapi tak menangis. Masih sibuk sendiri.

“Kamu kelihatan capek banget, hari ini sibuk apa di kantor?”

Alaric menghela napas, lalu meneguk air putih dari gelas yang sudah disiapkan Aluna. “Investor baru rewel. Tumben Virgo salah jadwal, dan ada dua laporan keuangan yang saling bertentangan. Tapi paling bikin capek… ya pulang-pulang harus jadi baby sitter.”

Aluna menahan senyum. Menyuapkan lagi satu sendok. Alaric tetap membuka mulut meski mulutnya sarkas.

Aluna senyum geli. “Kamu gak sadar, kamu nyebut ‘pulang’ sekarang berarti pulang ke rumah ini. Ke tempat aku dan Arshen.”

Alaric menoleh cepat ke arahnya. Menatap Aluna tanpa kata. Beberapa detik, hanya suara tawa kecil Arshen dan TV pelan di latar.

Alaric berkata pelan, tanpa senyum tapi tidak dingin. “Itu... salah, ya?”

Aluna menggeleng, lalu menyuap lagi. “Nggak. Justru aku senang dengarnya.”

Arshen tiba-tiba menyentuh wajah Alaric. Jari-jarinya mungil menyentuh dagu papanya, lalu pipi. Alaric menoleh, lalu menunduk dan mencium lembut ubun-ubun Arshen.

Aluna melihat itu. Suapan berikutnya disertai tatapan lembut. “Makasih udah pulang.”

Alaric menoleh padanya. Lama. “Aku belum bisa jadi suami ideal atau Papa sempurna... tapi… aku selalu pulang ke sini.”

Aluna mengangguk. Ia tidak menjawab, hanya menyuapkan sendok terakhir.

Setelah makan malam, Alaric masih duduk sambil memangku Arshen. Aluna masih mencuci piring, sesekali mencuri pandang ke arah dua pria kesayangannya.

Arshen duduk di pangkuan Alaric. Kedua tangan mungilnya menepuk-nepuk dada papanya sambil tertawa kecil.

Aluna tersenyum, sambil mengelap meja. “Arshen, kamu bikin Papa capek, ya?”

Arshen menatap Aluna, lalu kembali menengadah pada wajah Alaric. Alaric perlahan memegangi kedua sisi badan Arshen, lalu mengangkatnya pelan agar berdiri di atas pahanya.

Alaric menahan Arshen agar seimbang. “Ayo, berdiri. Lihat... kamu bisa berdiri, ‘kan?”

Arshen tertawa kecil. Tubuhnya masih oleng, tapi Alaric menopang erat sisi pinggang balita itu. Arshen merentangkan tangan seperti pesawat, lalu tiba-tiba tangannya melingkar ke leher Alaric.

Pelan... mungil... dan hangat...

Arshen menempelkan wajah kecilnya ke pipi Alaric. Napas kecilnya menyapu kulit Alaric.

Arshen berbisik. “Pa… pa...”

Lembut. Lirih. Tapi jelas. Seperti kata paling sederhana yang menghantam langsung ke hati Alaric.

Alaric terdiam. Tidak bergerak. Hanya memejamkan mata satu detik. Matanya mengerjap, tidak percaya suara itu terdengar begitu dekat di telinganya. Suara yang... mengakui kehadirannya.

Arshen tiba-tiba menoleh ke Aluna. Tangan kecilnya terulur ke arah mamanya.

Arshen lebih berani, manja. “Mama!”

Aluna yang baru saja selesai membereskan meja, terdiam. Senyum terangkat perlahan. Ia cepat-cepat berjalan mendekat, lalu membungkuk memeluk Arshen yang nyaris jatuh dari pangkuan Alaric karena terlalu semangat.

Aluna tertawa, memeluk Arshen. “Iyaaa, Mama di sini! Ya ampun, Sayang... kamu ngomong ‘Papa’, ya, tadi?”

Arshen menoleh ke arah Alaric lagi. Tapi kali ini, ia malah tertawa lalu membenamkan wajah ke dada Aluna—seperti malu sendiri. Tangannya mendorong pelan dada Alaric seolah menghindar karena malu telah memanggilnya ‘Papa’.

Aluna tertawa. Matanya berkaca-kaca tapi hatinya ringan. “Lho, kenapa kabur? Tadi manggil Papa... sekarang sembunyi?”

Arshen hanya tertawa lalu menepuk wajah Aluna. Saat Alaric mendekat lagi, Arshen seperti fans bertemu idolanya. Ia tertawa gugup dan menyembunyikan wajah ke bahu Aluna.

Aluna masih tertawa. “Duh, kayak penggemar yang dipeluk idolanya... langsung kabur, malu-malu.”

Alaric menyandarkan diri ke sandaran sofa, tersenyum kecil tanpa kata.

Untuk pertama kalinya... ‘Papa’ itu bukan sekadar status. Tapi panggilan langsung. Dari mulut kecil itu.

Aluna menatapnya. Hangat. Tanpa mengejek atau menyuruhnya menyembunyikan emosi. Karena kali ini, mereka memang sebuah keluarga.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!