Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Mata Dibalas Mata
Baru saja, Anya lah yang berada di posisi itu. Dulu, dia yang ditampar dan dipermalukan di depan umum. Sekarang, nasib itu berbalik menimpa Natali.
‘Kenapa semuanya bisa jadi begini?’ pikir Natali. Padahal semua rencana sudah sempurna. Tapi kenapa hasil akhirnya malah begini?
Sementara itu, di kamar mandi, Anya sedang membersihkan wajah dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia melihat bajunya yang kini kotor telah ia simpan ke dalam tas. Saat melihat label pada tas itu, matanya membesar tas ini adalah tas edisi terbatas, salah satu merek mewah yang sering ia lihat di majalah.
Ia kembali mematut dirinya di cermin. Tanpa riasan pun, wajahnya tetap tampak cantik dan segar. Setelah memastikan dirinya cukup rapi, ia segera keluar dari kamar mandi.
Begitu kembali ke ruang utama, ia melihat Aiden duduk tenang, dan ayahnya baru saja menampar Natali.
‘Entah apa yang mereka ributkan…’ pikir Anya sambil berusaha tetap tenang. Ia langsung duduk di samping Aiden.
Aiden memperhatikan Anya. Wanita itu bahkan dalam pakaian biasa pun tetap terlihat cantik. Dan setelah mengganti baju, Aiden merasa Anya terlihat sempurna.
Ia memperhatikan rambut Anya yang diikat rapi, meski beberapa helai terlepas dan membingkai wajahnya dengan indah. Dengan lembut, Aiden menyibakkan helai rambut itu ke belakang telinga Anya dan berkata, “Natali bilang kamu yang minta dikenalin ke pria kaya.”
Nada bicara Aiden sangat santai, kontras dengan sikap dinginnya pada Deny dan Natali.
Anya mengerucutkan bibirnya dan melipat tangan, “Kamu percaya sama dia?”
Aiden tersenyum, “Aku cuma percaya sama kamu.”
Natali tak tahan melihat pemandangan itu. Ia berteriak penuh emosi, “Aku nggak bohong! Anya, berhenti pura-pura polos!”
“Kamu rebut tunanganku, bikin aku ditinggal, sekarang kamu balik nuduh aku?” Natali menangis keras, berusaha menyelamatkan citranya. Tapi semua orang tahu, ia sedang berhadapan dengan Aiden. Tidak ada yang akan membelanya.
Deny yang melihat Aiden mulai terganggu oleh Natali pun buru-buru menegur anaknya.
“Diam kamu! Cepat minta maaf ke Anya!”
“APA? Minta maaf ke Anya? Nggak akan!” jerit Natali sambil menangis histeris. Ia tetap keras kepala, bahkan saat posisinya sudah seburuk ini.
Aiden tampak mulai muak dengan tangisan Natali. Ia menoleh ke arah para pelayan yang berdiri kaku di sudut ruangan. Sang manajer juga ada di sana, tapi tak satu pun berani bertindak.
“Kopi yang saya pesan tadi… mana?” tanya Aiden pada salah satu pelayan, dengan nada santai namun dingin seperti es. Ruangan itu langsung terasa mencekam kembali.
"Mana kopi yang saya pesan?" tanya Aiden pada salah satu pelayan di dekatnya. Pelayan itu terkejut dan langsung bergegas mengambilkan kopi untuk Aiden.
Tak butuh waktu lama, pelayan itu kembali dengan secangkir kopi panas. Ia meletakkannya di hadapan Aiden sambil berkata dengan suara gemetar, "Silakan, Tuan." Karena begitu takut pada Aiden, tanpa menunggu tanggapan, pelayan itu langsung lari kembali ke rekan-rekannya.
Tatapan Natali membelalak melihat gelas kopi panas diletakkan di depan Aiden. Ia takut pria itu akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Anya. Kopi yang ia siramkan pada Anya tadi memang sudah dingin karena berada di ruangan ber AC cukup lama. Tapi kopi yang sekarang ada di depan Aiden masih panas mengepul. Jika sampai terkena kulit, bisa menyebabkan luka bakar.
Bukan hanya Natali yang berpikir begitu. Deny pun langsung menarik tangan Natali, menyuruh putrinya itu segera meminta maaf pada Aiden dan Anya. Mungkin dengan meminta maaf, Aiden akan mengurungkan niatnya.
"Aku..." Natali benar-benar berat hati, tapi dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa maksud Aiden memesan kopi. Dia tahu apa yang akan dilakukan pria itu.
Natali langsung berlutut di hadapan Aiden dan Anya sambil memohon, "Maafkan aku! Aku mengaku salah. Tolong, maafkan aku..." Tangis Natali pecah. Tapi bukan karena penyesalan melainkan karena rasa takut.
Melihat Natali berlutut dan mengakui kesalahannya, hati Anya sempat sedikit luluh. Tapi tidak dengan Aiden. Pria itu sama sekali tidak peduli.
Aiden bukan pria lembek hanya karena penglihatannya terganggu. Justru dia dikenal sebagai sosok yang kejam dan tak pandang bulu. Laki-laki atau perempuan, siapa pun yang berniat jahat padanya, pasti akan dibalas lebih kejam.
Aiden mengangkat cangkir kopi, menyesapnya perlahan. Melihat itu, Natali sempat menghela napas lega. Ia pikir Aiden mengurungkan niatnya. Tapi kata-kata Aiden berikutnya membuatnya sadar betapa bodohnya ia.
"Kopi ini terlalu panas," katanya santai. Lalu, ia menyiramkan isi cangkir itu ke arah Natali.
Natali langsung reflek menutup wajah dengan tangannya, tak ingin wajah cantiknya rusak oleh air panas. Tapi tangannya malah terkena siraman paling parah. Suara jeritannya memenuhi ruangan.
"Panas... panas!" Natali menjerit dan jatuh ke lantai, menggeliat kesakitan. Tangan dan wajahnya memerah. Leher dan sebagian tubuhnya pun terkena cipratan panas hingga kulitnya melepuh. Air matanya mengalir deras, riasannya luntur, tapi itu bukan hal penting. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah rasa sakit luar biasa yang membakar kulitnya.
Anya hanya bisa terpaku melihat Natali menjerit kesakitan. Ia tidak menyangka Aiden bisa sekejam itu. Tapi ia tahu Aiden melakukan semua itu untuknya. Kalau saja kopi yang Natali siramkan tadi masih panas, mungkin dia yang akan berada di posisi Natali saat ini.
Meski begitu, Anya tak bisa memungkiri ia mulai sedikit takut pada Aiden.
Sementara itu, Deny buru-buru mengambil botol air dingin di meja terdekat dan menuangkannya ke bagian tubuh Natali yang terkena air panas. Air dingin itu sedikit meredakan nyeri yang dialami Natali.
Sambil terus membantu Natali, Deny menoleh ke Aiden dan memohon, "Aiden, tolong maafkan Natali. Dia masih muda dan belum mengerti apa-apa."
Aiden hanya menatap lurus ke depan dengan sorot mata sedingin es. Seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Ia memandang Deny dan bertanya datar, "Waktu kamu lihat Natali menyiramkan kopi ke Anya, kamu juga setulus ini pedulinya?"
Anya juga putrimu. Tapi saat dia dihina, disiram kopi, bahkan ditampar apa kamu pernah menunjukkan kepedulian yang sama?
Pertanyaan Aiden membuat Deny tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menunduk malu. Karena memang, saat itu ia tak berbuat apa-apa.
Tahu percuma memohon pada Aiden, Deny akhirnya memohon pada Anya, "Anya, tolong maafkan Natali. Biar ayah bawa dia ke rumah sakit."
Melihat ayahnya yang begitu panik, Anya merasa getir. Saat dirinya disiram kopi, ayahnya hanya diam. Tapi saat Natali diperlakukan seperti itu, sang ayah langsung panik luar biasa. Padahal, mereka berdua sama-sama anaknya.
"Anya!" panggil Deny lagi, "Bagaimanapun, Natali itu kakakmu. Apapun yang dia lakukan, dia tetap keluargamu."
Aiden bisa melihat keraguan dalam tatapan Anya. Wanita itu terlalu baik. Hatinya terlalu lembut, sampai ia bisa merasa iba pada orang yang sudah menyakitinya.
"Jangan terlalu lembek. Ingat apa yang mereka lakukan padamu. Ingat apa yang ayahmu lakukan pada ibumu dan dirimu," bisik Aiden pelan.
"Hmm... Aku tahu..." jawab Anya lirih, suaranya sarat dengan kesedihan. Ia menyandarkan kepala di bahu Aiden, seolah lelah sekali.
Saat dirinya disiram, tak ada yang menolong. Saat ayahnya menamparnya, tak ada yang membela. Ia berdiri sendiri, menahan malu, sakit, dan marah sementara semua orang menyerangnya.
"Boleh kita pulang sekarang?" tanyanya lemah.
"Hmm... Ayo pulang." jawab Aiden sambil menggenggam tangan Anya, mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
Ia benar-benar mengabaikan Deny dan Natali. Anya hanya menoleh sekali, melemparkan tatapan sedih terakhir pada ayah dan kakaknya itu.
Natali masih terduduk di lantai, meringis kesakitan sambil memegangi tangannya yang terbakar. Deny sibuk menolongnya.
Orang-orang di sekitar yang tadinya hanya menonton, kini tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Tak ada yang berniat ikut campur. Mereka merasa, Natali memang pantas mendapat balasan seperti itu.
Bahkan di tengah rasa sakit yang ia alami, Natali masih sempat menatap Anya dengan tatapan penuh dendam.