NovelToon NovelToon
Jejak Luka Sang Mafia

Jejak Luka Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Cinta Paksa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Sonata 85

Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satu Hari Sebelum Neraka

Malam belum sepenuhnya larut ketika Vanesa tiba di rumah milik Papinya. Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang bercampur dengan hawa dingin menusuk. Ia menyeret koper dengan tangan gemetar, berharap bisa beristirahat sejenak dan menemukan pelukan hangat dari pria yang dulu memanggilnya "putri kecilnya".

Namun, ketenangan itu tak pernah ada.

Begitu membuka pintu, yang ia temui adalah kekacauan. Vas bunga pecah berserakan, kursi terjungkal, dan lampu gantung bergoyang liar seolah menjadi saksi bisu kehancuran. Suara bentakan tajam menggema memecah keheningan malam.

"Bayar utangmu, atau kepala ini akan kami tebas!"

Vanesa tersentak. Matanya menangkap seorang preman bertubuh kekar, bertato di lengan, mengacungkan sebilah parang ke arah pria tua yang berdiri sempoyongan di tengah ruang tamu. Vanesa berlari, menerobos serpihan kaca, tak peduli lututnya tergores.

"Papi! Siapa mereka?!"

Pria tua itu hanya menggumamkan nama tak jelas, napasnya bau alkohol, tubuhnya gemetar. Ia mabuk berat.

"Ayahmu kalah berjudi," sahut seorang preman bertato di leher. "Sekarang, bayar atau nyawanya melayang."

Vanesa memejamkan mata, menahan gejolak kecewa. Entah sudah ke berapa kali ia menemukan ayahnya terpuruk dalam kubangan sama. "Jangan sentuh Papiku! Aku akan bayar semua utangnya! Tolong lepaskan dia!"

Tawa keras meledak dari para preman. "Kau mau bayar pakai apa, nona manis? Tubuhmu? Jawab, dengan apa kamu akan membayarnya. Kami sudah mengacak-acak rumah ini tidak ada apapun di sini selain bau busuk,” ucap lelaki itu sembari mengibaskan tangannya dari bau yang menyengat dari muntahan papinya.

Vanesa menegakkan dagu, walau tangannya gemetar. "Aku punya usaha kecil. Aku bisa cari cara. Jangan sakiti dia."

Namun, sebelum pembicaraan berlanjut, ayah Vanesa—dengan sisa tenaganya—mendorong preman yang hampir menyentuh putrinya. Aksi heroik yang bertahan hanya beberapa detik. Walau dia mabuk, namun kasih sayang dan perlindungannya sebagai seorang ayah, masih ia tunjukkan.

Pak!

Satu pukulan keras menghantam pelipisnya. Pria tua itu ambruk, darah merembes dari kepalanya. Vanesa menjerit, memeluk tubuh lemah itu sambil menangis. "Papi... bangun..."

"Kalau kau lapor polisi," ujar salah satu preman sambil mengangkat dagu, "Laporkan langsung ke bos kami."

Tiba-tiba suara sepatu menyentak lantai terdengar dari arah pintu. Zein, adik Vanesa, baru pulang dari kampus. Tatapannya membelalak melihat kekacauan.

“Kak Vanesa, ada apa?”

"ZEIN, LARI!" pekik Vanesa.

Terlambat.

Dua preman segera menangkap Zein. Pemuda itu meronta, tapi sia-sia.

"Lepaskan adikku! Jangan seret dia dalam urusan ini!" Vanesa menjerit, matanya liar mencari jalan keluar.

"Sayang sekali, utangnya terlalu besar. Kami butuh jaminan."

Tanpa aba-aba, Vanesa dibekap dari belakang. Mulutnya dilakban, mata ditutup. Dunia berubah gelap seketika. Tubuhnya diangkat, didorong masuk ke dalam mobil van. Tangannya terikat. Jantungnya berdetak liar. Tak ada jalan keluar. Tak ada yang akan mendengar.

*

Mobil berhenti setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit. Vanesa dibawa masuk ke dalam sebuah ruko tua. Tempat itu dingin . Ia diseret ke ruangan yang gelap dengan cahaya temaram dari celah jendela. Saat lakban dilepas dan penutup mata diturunkan, ia melihat siluet seorang pria berdiri membelakanginya.

"Aku akan bayar utang Papiku... Tolong lepaskan aku, Pak," katanya lirih.

Pria itu tak menjawab. Hanya hening. Lalu suaranya muncul. Dalam. Dingin. Tajam.

"Dengan apa kau membayarnya?"

Vanesa menelan ludah. "Beri aku waktu... Aku akan usahakan."

Siluet itu berjalan perlahan, lalu berhenti di bawah cahaya. Namun wajahnya tetap tersembunyi. Nama yang disebut hanya satu:

"Panggil aku Valentino."

Nama itu asing, tapi aura di sekitarnya tidak. Ada kekuatan tak terlihat, seperti badai yang sedang diam tapi siap menghancurkan. Ia bukan sekadar rentenir. Ia seperti pemegang hidup dan mati seseorang.

"Satu hari. Jika dalam waktu itu kau gagal melunasi, maka nyawa ayah dan adikmu menjadi taruhannya."

Vanesa menggigil. "Baik... Pak... Valentino."

Pria itu menjentikkan jarinya. Para preman masuk, membawa Vanesa keluar. Ia didorong ke dalam van yang sama dan beberapa saat kemudian, tubuhnya di turunkan begitu saja di depan rumahnya. Krito tergeletak tidak berdaya . Vanesa membawanya ke rumah sakit.

*

Pagi mulai merekah saat Vanesa bangkit dari lantai beranda rumah. Ia menangis tanpa suara. Bukan karena takut. Tapi karena lelah. Dunia seperti tak pernah memberi jeda. Setiap kali ia ingin bernapas, masalah baru datang menggantikan.

Ia tahu, ia tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Ada satu orang yang bisa menyelesaikan ini semua. Tapi ia terlalu gengsi. Untuk minta tolong. Rasa sakit pada pria itu membuatnya menjauh selama ini.

Namun hatinya kalah. Semua demi papi dan adiknya.

Siang harinya, sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen mewah di kawasan SCBD. Vanesa turun dengan langkah ragu, tubuhnya masih terasa lemas. Ia menghela napas panjang, lalu menekan bel.

Pintu dibuka. Seorang pria berdiri di baliknya. Tegas. Tatapannya menusuk dan menakutkan, terlihat seperti penjagal  bukan penjaga.

"Ada apa Bu?”

“Aku ingin bertemu Angga.”

“Mbak siapanya?”

“Aku adiknya.”

Laki-laki itu memastikan menelpon ke dalam rumah. Vanesa melangkah masuk. Duduk di ruang tamu yang begitu mewah, tapi terasa dingin. Ia menggenggam jemarinya sendiri.

“Ada apa datang mencariku?”

"Aku tidak datang untuk memohon atau meminta tolong," ucap Vanesa tegas. "Aku hanya ingin kau tahu, jika sesuatu terjadi padaku... tolong selamatkan Zein."

Angga menatap tajam. Matanya menyiratkan amarah. "Jangan bicara seperti itu."

"Kau bilang terakhir kali  jangan  menawarkan apa pun. Jadi aku pun tak akan memberikan apa pun padamu. Bukannya kamu pernah berkata kita tidak ada hubungan darah?”

“Kak Angga, ini bukan tentang aku. Ini tentang Zein.”

Angga menghela napas. "Aku ingin  menikah Vanesa. Aku tidak ingin terlibat dengan siapapun.”

Vanesa menatapnya, mata mereka saling bertaut namun seperti jurang memisahkan antara kakak dan adik. "Semoga bahagia dengan pernikahanmu, tapi bisakah kamu membantu papi di rumah sakit."

"Aku akan bahagia, jika kamu tidak datang padaku lagi untuk menyelesaikan masalah  mereka.”

"Tapi  mereka itu keluargamu Kak. Papi dan adikmu.”

Sunyi.

Angga mendekat. Ia menunduk, jemarinya mengepal.

"Aku sudah muak, menyaksikan perbuatan papi tiap hari, Vanesa. Dia hanya bisa mabuk dan berjudi. Dan kau selalu menolak bantuanku. Tapi kenapa kamu sekarang datang setelah setahun."

"Karena bantuanmu selalu membawa luka. Kamu memaksaku menikah dengan Damian, tapi lihat pria pilihan kakak itu, pria brengsek.”

“Aku tidak bisa, aku tidak ingin merusak pernikahanku karena mengurusi masalah keluargamu.”

“Keluargaku?” Vanesa berdiri. "Terima kasih untuk semuanya, Kak Angga. Aku tidak akan pernah datang lagi."

Tepat saat ia melangkah pergi, Angga berkata dengan suara rendah tapi menusuk.

"Aku sudah katakan padamu Vanesa. Lupakan saja tentang Aku. Tidak ada hubungan apa-apa lagi antara kita, Anggap aku sudah mati.”

Vanesa tak menoleh. Tapi air mata jatuh membasahi pipinya. Ia tidak ada tempat untuk mengadu.

Di dalam ruangan gelap lain, Valentino menatap foto Vanesa sambil tersenyum dingin. “Waktumu tinggal dua belas jam, nona cantik. Mari kita lihat... seberapa kuat kamu  melindungi keluargamu.”

(Bersambung...)

1
Bella syaf
capek, tapi mengaduk perasaanku 😭
Bella syaf
aku sedih terus baca ini ya Allah 😭
Bella syaf
sakitnya sampe ke pembaca Thor 😭
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini
Bella syaf
penuh perhitungan, hitung semua Gavin 🤭
Bella syaf
tapi penghinaan mu kejam Gavin, aku bacanya sakit hati
Bella syaf
vanes kamu ngeselin bgt
Bella syaf
kelam banget 🥲
Bella syaf
Thor, kasian vanesha 🥲
Bella syaf
rahasia apakah?
Bella syaf
sedih ngebayangin jadi vanesha
Bella syaf
ini relate ya sama kehidupan asli, kebanyakan begini lelaki skrg
Bella syaf
awal cerita yang bagus, kasihan Gavin dan vanesha 🥲
Hesty
gavin egois thor... punyaistri 2....
Mamanya Raja
lanjut Thor sepertinya ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!