Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flash Back
Malam itu hujan belum lama reda. Sentuhan dinginnya masih setia mendekap anak manusia yang beraktivitas di luar ruangan. Namun, semua itu tidak menggoyahkan semangat Carla.
Usai merampungkan pekerjaan yang memaksanya lembur sampai jam sembilan, dia keluar hotel sambil merapatkan blazer abu-abu yang ia kenakan hari itu. Taksi yang dipesan sudah menunggu di depan. Dengan sedikit berlari Carla menghampiri taksi tersebut, tanpa beban dan tanpa kegundahan.
Walaupun Esson tidak bisa menjemput dan mengantarnya pulang, tetapi sedikit pun Carla tidak mengeluh. Dia bukan tipe wanita manja yang segala sesuatunya harus melibatkan sang kekasih. Selagi bisa dilakukan sendiri, kenapa harus menyulitkan Esson? Sudah banyak yang diberikan lelaki itu untuknya, jadi untuk apa masih mempermasalahkan sesuatu yang sepele.
"Semoga urusan Esson berjalan lancar, tidak ada kendala atau masalah yang menyulitkannya."
Alih-alih mengeluh, malam itu Carla justru mendoakan yang terbaik untuk Esson. Senyum di bibirnya sampai terkulum tipis saat memikirkan calon suaminya tersebut, lelaki dengan segala kharisma yang menjadi idola banyak kaum hawa.
"Aduh, maaf, Nona. Taksinya mogok, sepertinya ada masalah. Anda tunggu sebentar, saya coba perbaiki dulu."
Awal kesialan Carla dimulai, saat taksi yang ia naiki mogok entah karena sebab apa. Awalnya Carla masih sabar menunggu di dalam, memperhatikan sang sopir yang tampak sibuk mengotak-atik mesin. Namun, kesabaran itu terkikis karena sampai lebih dari lima belas menit usaha sopir tidak membuahkan hasil.
"Bagaimana, Pak? Apanya yang bermasalah?" tanya Carla kala itu.
"Belum ketemu masalahnya di mana, Nona. Bagaimana kalau Anda saya alihkan saja ke teman saya, daripada menunggu lama karena sekarang juga sudah malam."
"Baiklah."
Carla menerima tawaran tersebut. Akan tetapi, kesialan masih saja menjebaknya. Taksi yang katanya akan segera datang, nyatanya sampai hampir setengah jam tak kunjung tiba. Sampai kemudian, justru Vero yang datang dan menawarkan bantuan.
"Ikut mobilku saja, Mbak, nanti kuantar pulang."
Karena sebelumnya sudah kesal dan lelah menunggu, Carla tidak berpikir ulang ketika Vero akan mengantarnya pulang. Selama menjalin hubungan dengan Esson, dia juga mengenal Vero dengan baik. Bahkan, Carla sudah menganggap lelaki itu seperti adiknya sendiri.
Tak ada prasangka buruk sama sekali. Vero hanyalah lelaki remaja yang baru lulus SMA, usianya sepuluh tahun lebih muda dari Carla, jadi apa yang perlu ditakutkan?
Selama ini hubungan mereka juga dekat layaknya keluarga, itu sebabnya Carla tak menaruh curiga. Terlebih lagi rekam jejak Vero juga termasuk baik. Meskipun sering otak-atik mesin motor, tetapi Vero tak pernah bergabung dengan balapan liar atau tawuran antar genk motor. Ia juga tak ada riwayat gonta-ganti pacar meski cukup banyak yang mengidolakan. Vero adalah gambaran cowok green flag dengan rupa yang mendekati sempurna.
Akan tetapi, citra baik Vero lenyap seketika saat Carla sudah memasuki mobil dan duduk berdampingan dengan Vero. Aroma alkohol dan nikotin menguar kuat memenuhi mobil, apalagi saat Vero bicara, makin menyengat saja aroma tersebut.
"Vero, ternyata kamu mabuk ya?"
Carla bertanya sambil menatap waspada, takut jika Vero hilang kendali dan mengemudi dengan asal. Nyawa mereka yang jadi taruhan.
Namun, ditanya demikin Vero malah tertawa. "Cuma minum dikit, Mbak, nggak sampai mabuk. Sekedar ngilangin penat aja. Kesel aku, Mbak, Kak Esson maksain banget. Aku tuh pengin jadi teknisi, bukan pebisnis. Aku nggak mau mati muda karena terlalu banyak mikir."
"Aku paham, tapi harusnya kamu juga jangan mabuk-mabukan, Vero. Kakakmu akan marah kalau kamu malah kayak gini."
Kala itu Carla masih positive thinking, sekadar menganggap Vero putus asa karena terlalu ditekan Esson. Sama sekali tidak curiga bahwa hal tersebut bisa menjadi petaka untuknya. Ya, Vero terlalu kecil bagi Carla untuk melakukan hal-hal 'dewasa'.
"Memang cuma Mbak Carla yang bisa ngerti."
Kesannya Vero bicara asal, tetapi sebenarnya itulah yang ia rasakan. Sejauh ini justru Carla yang mendukung hobi dan cita-citanya, bukan Esson.
"Kamu berjanjilah untuk tidak mabuk-mabukan lagi. Nanti aku akan bantu ngomong sama Esson, aku coba bujuk dia agar mau melunak dan membebaskan keinginanmu. Aku tidak janji ini akan berhasil, tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin."
Mendengar simpati dari Carla, Vero tersenyum. Dia tahu Carla tidak bohong, selama ini Vero sudah kerap melihat buktinya. Carla mencoba membujuk Esson agar mau menurunkan egonya barang sedikit. Namun, dasarnya Esson keras kepala, sedikit pun tidak mengindahkan nasihat Carla. Tetap saja menekan Vero agar mau terjun ke dunia bisnis.
"Vero, sekarang tepikan mobilnya. Biar aku saja yang mengemudi. Dari tadi kamu ngawur loh, lama-lama kita bisa kecelakaan," ujar Carla setelah beberap menit ikut dalam mobil Vero.
Hati yang semula tenang berkali-kali bergetar karena cara Vero melajukan mobilnya sangat ugal-ugalan. Selain kecepatannya yang mendekati maksimal, Vero juga kerap kali memakan jalan hingga hampir serempetan dengan pengendara lain. Carla masih takut mati, makanya berniat mengambil alih kemudi.
Tak lama setelah Carla memberikan perintah, Vero benar-benar menepikan mobilnya. Lantas, ia tersenyum saat menatap paras Carla yang malam itu teramat cantik di matanya.
"Mbak Carla cantik. Sayang banget harus dapat suami egois kayak Kak Esson."
"Kamu ngomong apa sih, Vero? Jangan macam-macam ya!"
Sampai di sini, Carla mulai gusar Pasalnya, tatapan Vero jauh berbeda dari biasanya. Bukan tatapan remaja polos lagi, melainkan serupa tatapan orang dewasa yang sedang menahan has-rat. Tak ada lagi kehangatan keluarga di mata Vero, yang tampak justru tatapan seorang lelaki yang sedang menginginkan wanitanya.
"Kenapa nggak nikah sama aku aja, Mbak? Aku bisa mencintaimu melebihi Kak Esson, Mbak. Aku juga bisa romantis kok. Mbak Carla pasti lebih bahagia kalau nikah sama aku."
Omongan Vero mulai melantur, dan Carla baru tersadar jika kini dia berada di ujung maut. Sebelum semuanya makin mengerikan, Carla berniat keluar dari mobil. Namun sialnya, pintu masih terkunci dan Carla tidak bisa membukanya.
"Mau ke mana, Mbak, sini aja sama aku. Katanya Mbak Carla sayang sama aku."
Vero kembali merayu, sembari tangannya mulai berani menyentuh Carla. Lengan, kaki, bahkan pipi wanita itu menjadi sasaran sentuhan tangan Vero, yang kala itu dalam pengaruh minuman keras.
"Jangan macam-macam, Vero! Aku ini kakakmu!"
"Kakak apa sih, kakakku itu Kak Esson, kalau Mbak Carla itu calon istriku. Ayolah, Mbak, sini temani aku!"
Vero mulai tertawa-tawa layaknya orang gila. Sementara Carla ketakutan setengah mati dan berusaha keluar dari mobil. Namun, tenaganya kalah kuat dengan Vero. Sekali tarik, tubuh Carla justru ambruk di pangkuan Vero. Lantas setelah lelaki itu mengunci gerakannya, perlawanan Carla makin terbatas.
Di tengah situasi yang menegangkan, Carla berjuang mati-matian meraih ponselnya. Mencoba menghubungi Esson berulang kali. Namun sayang, Esson yang kala itu sedang sibuk membahas kerja sama, tidak menyadari bahwa sang kekasih meneleponnya berkali-kali.
Sebenarnya, Carla masih tak menyerah. Setelah gagal menghubungi Esson, dia masih sempat menghubungi Tessa. Namun, sebelum panggilan direspon, Vero lebih dulu merampas ponselnya dan mematikannya dengan kasar.
Posisi Carla makin terimpit, peluang untuk lepas sangat sedikit. Dan sangat kebetulan, hujan yang tadi sudah reda tiba-tiba turun dengan derasnya. Seolah-olah alam ikut mendukung niat bejat Vero malam itu.
"Vero, kumohon ... lepaskan aku."
Air mata Carla makin berderai, seiring sentuhan Vero yang makin berani. Carla tak bisa lagi melawan karena tubuhnya telah dikunci oleh tangan Vero. Meski tidak sekekar Esson, tetapi tenaga lelaki itu sangat kuat. Carla tak ada apa-apanya dibandingkan dia.
Lantas dalam beberapa detik setelahnya, Carla tak bisa lagi memohon belas kasih atau sekadar mengeluarkan isak tangis. Bibirnya telah dibungkam kasar oleh bibir Vero yang masih menguarkan aroma nikotin dan alkohol.
Di tengah malam yang paling kelam, Carla harus merelakan kesuciannya direnggut paksa oleh Vero. Sesuatu yang sangat berharga dan dijaga sekian lama untuk Esson seorang, malah hilang dengan cara yang mengenaskan.
Setelah segalanya usai, Vero sedikit lemas karena itu adalah pengalaman pertama baginya. Terlebih dia sangat menggebu dan berperan sebagai pria dominan.
Melihat sedikit peluang, Carla bergegas membuka kunci dan keluar dari mobil. Rambut dan pakaian masih berantakan, tetapi Carla terus berlari menerjang hujan, meninggalkan Vero yang masih syok dengan apa yang barusan ia perbuat.
Tanpa mengindahkan rasa sakit di sekujur tubuh, Carla menyusuri malam secepat yang ia bisa. Hati hancur, pikiran kacau, lantas setibanya di rumah Carla hanya menangis sambil mengguyur tubuh dengan air dingin.
Bersambung...
Carla kenapa? beres2 barang?
Penderitaan Carla sungguh sungguh menyakitkan 🥲🥲🤗🤗
Jadi untuk apa memperdalam kisah yng sdh lewat ikhlas kan aja Son , cerita mu dngn Carla sdh selesai 😠😠🤣