NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Bu Rina tersenyum penuh keyakinan saat melihat saldo rekeningnya bertambah seratus juta. Ia merasa langkahnya semakin mantap untuk berinvestasi. Dalam pikirannya, jika investasi kecil saja bisa menghasilkan keuntungan, maka semakin besar modal yang ditanam, semakin besar pula keuntungannya.

"Kalau lima juta saja untungnya sedikit, bagaimana kalau aku investasikan semuanya?" pikirnya penuh antusias.

Tanpa banyak pertimbangan, ia segera menghubungi Bu Mira, temannya yang mengajaknya berinvestasi di bursa saham.

"Halo, Bu Mira! Aku sudah siap. Uang seratus juta ini akan langsung aku investasikan. Aku ingin hasil yang besar dan cepat!" kata Bu Rina dengan suara penuh semangat.

Di seberang telepon, Bu Mira terdengar terkejut. "Seratus juta? Rina, kamu yakin? Biasanya orang mulai dengan nominal lebih kecil dulu untuk melihat hasilnya."

Bu Rina tertawa sinis. "Aku tidak mau buang waktu! Aku ingin untung besar secepatnya!"

Mendengar keyakinan Bu Rina, Bu Mira hanya tersenyum dibalik telepon. "Baiklah, kalau kamu memang yakin. Aku akan membantumu mengurus semuanya. Besok kita akan bertemu dengan orang yang mengelola dana ini."

Bu Rina mengangguk puas. Ia merasa seperti seorang pebisnis ulung yang tahu cara menggandakan uangnya dengan cepat. Tanpa sedikitpun rasa ragu, ia membayangkan dirinya segera hidup mewah dengan keuntungan besar dari investasi ini.

Adrian menghela nafas panjang saat membaca pesan dari Anggun. Ia sedikit ragu, tapi ketika Anggun mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan, ia akhirnya menyetujui untuk bertemu.

"Semoga ini bukan sesuatu yang merepotkan," gumamnya dalam hati.

Tak ingin menimbulkan kecurigaan, Adrian beralasan kepada Anjani bahwa ia ada urusan pekerjaan di luar. Anjani hanya mengangguk tanpa curiga, karena memang sejak awal Adrian selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Sore itu, Adrian tiba di sebuah kafe yang cukup tenang, tempat yang dipilih oleh Anggun. Saat ia masuk, ia melihat Anggun sudah duduk di pojokan, menunggunya dengan wajah serius.

"Terima kasih sudah datang, Adrian," kata Anggun sambil tersenyum tipis.

Adrian duduk di hadapannya, melipat tangan di atas meja. "Jadi, ada apa? Kenapa mendadak ingin bertemu?"

Anggun mengaduk kopinya pelan, seolah ragu untuk memulai pembicaraan. Setelah beberapa detik hening.

"Aku ingin bicara soal Anjani," ucapnya, membuat Adrian sedikit mengernyit.

"Ada apa dengan Anjani?" tanyanya dengan nada sedikit tegang.

Anggun menghela nafas, lalu tersenyum miring. "Kamu benar-benar yakin Anjani adalah istri yang tepat untukmu?"

Adrian semakin bingung. "Maksudmu apa, Anggun?"

Anggun bersandar ke kursinya, menatap Adrian tajam. "Aku cuma ingin memastikan… kalau kamu tidak menyesal sudah memilihnya. Karena dari yang aku dengar, hidupmu sekarang tidak seindah dulu."

Adrian mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tidak suka arah pembicaraan ini. "Aku tidak mengerti apa yang ingin kamu katakan. Kalau kamu cuma ingin menjelekkan Anjani, aku rasa tidak ada gunanya kita bertemu."

Anggun tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukan itu maksudku, Adrian. Aku hanya ingin tahu… jika suatu saat kamu butuh tempat bersandar, apakah kamu masih akan mengingat aku?"

Anggun menatap Adrian dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Adrian,” katanya, menyesap tehnya perlahan, “aku bisa melihat kebingungan di matamu. Kamu bilang mencintai Anjani, tapi kenapa kamu terlihat begitu lelah saat membicarakannya?”

Adrian mengerutkan kening. “Bukan karena Anjani. Aku hanya... tertekan dengan keluargaku. Mereka tidak pernah benar-benar menerima Anjani, dan itu membuat segalanya semakin sulit.”

Anggun menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Adrian dengan tatapan penuh pemahaman palsu. “Kamu terlalu baik, Adrian. Kamu selalu ingin menyenangkan semua orang, bahkan ketika itu menyakiti dirimu sendiri.”

Adrian diam. Kata-kata Anggun menggema di kepalanya.

“Aku tidak ingin ikut campur,” lanjut Anggun dengan nada yang lebih pelan, “tapi dari yang aku lihat, Anjani sudah mulai berubah, bukan? Dia mulai melawan, mulai tidak bisa diatur.”

Adrian langsung menatap Anggun dengan tatapan tajam. “Anjani berubah karena dia lelah diperlakukan tidak adil. Itu bukan salahnya.”

Anggun tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi coba pikirkan, Adrian. Dulu, dia lembut, penurut, selalu mendukungmu. Sekarang? Dia sering adu mulut dengan adik mu, membentak ibumu. Apa itu masih Anjani yang kamu cintai?”

Adrian menggertakkan rahangnya, merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. “Aku mencintai Anjani apapun yang terjadi. Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan masalah keluargaku.”

Anggun menghela napas dramatis. “Aku mengerti, Adrian. Aku hanya tidak ingin kamu semakin tersiksa. Pernikahan itu seharusnya membawa kebahagiaan, bukan malah membuatmu terjebak dalam konflik yang tidak ada habisnya.”

Adrian terdiam. Ia tahu Anggun sedang mencoba menggoyahkan keyakinannya, tetapi di satu sisi, kata-kata itu juga menyentuh ketakutan yang selama ini ia pendam—ketakutan bahwa pernikahannya dengan Anjani memang mungkin tidak akan pernah damai.

“Adrian,” suara Anggun kembali terdengar, kali ini lebih lembut dan menggoda. “Aku selalu ada untukmu. Aku tidak ingin melihatmu tersiksa seperti ini. Kalau kamu butuh seseorang yang bisa mengerti tanpa menuntut apa pun, aku di sini.”

Adrian menatap Anggun, hatinya semakin dilanda kebingungan. Ia tahu bahwa ia harus pergi sebelum kata-kata Anggun semakin menanamkan keraguan dalam dirinya. Tapi di saat yang sama, ia juga sadar bahwa pertemuan ini telah mengganggu keyakinannya lebih dari yang ia sadari.

Dalam perjalanan pulang, Anjani terus berpikir. Jika ia diterima di pekerjaan barunya dengan jabatan tinggi, haruskah ia berterus terang?

Ia takut mertuanya akan memanfaatkannya, menganggap gajinya sebagai milik keluarga. Selama ini, mereka selalu meremehkannya, dan jika tahu ia sukses, pasti tuntutan mereka akan semakin banyak.

Anjani menggenggam plastik belanjaannya erat. Lebih baik merahasiakannya dulu, pikirnya. Ia harus berhati-hati agar kebebasannya tidak dirampas.

Anjani memasuki rumah dengan hati-hati. Keadaan sepi, hanya terdengar suara detak jam di ruang tamu. Ia segera menyembunyikan pakaian yang baru dibelinya ke dalam lemari, tak ingin ada yang tahu.

Perutnya lapar. Ia berjalan ke dapur, berniat memasak makan malam untuk Adrian. Namun, baru saja ia menyalakan kompor, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

“Apa yang kau sembunyikan?”

Anjani tersentak. Dita berdiri di ambang pintu dapur dengan tangan terlipat di dada, tatapannya penuh kecurigaan.

“Apa maksudmu?” Anjani berusaha tetap tenang.

Dita menyeringai. “Jangan pura-pura polos! Aku lihat kamu membawa tas belanja. Dari mana uangnya? Jangan-jangan kamu mulai menghamburkan uang kakakku, ya?”

Anjani menggertakkan giginya. “Aku pakai uangku sendiri. Bukan urusanmu.”

Dita mendengus, lalu berbalik. “Akan kulaporkan ini pada Mama.”

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah lain—lebih berat, lebih berwibawa. Bu Rina muncul dengan ekspresi sinis. “Jadi, kamu diam-diam berfoya-foya, ya? Tidak malu, masih numpang di rumah ini?”

Anjani mengepalkan tangan. “Saya pakai uang saya sendiri, Bu.”

PLAK!

Tamparan mendarat di pipi Anjani. Matanya membelalak, merasakan perih yang menjalar hingga ke hatinya.

“Kamu mulai berani melawan, ya? Mau jadi istri macam apa kalau seperti ini?!” suara Bu Rina menggema di dapur.

Anjani menelan sakitnya, menahan air mata yang menggenang di pelupuk. Dalam hati, ia bersumpah, ini tidak akan berlangsung lama. Akan ada saatnya ia bangkit dan membalas semua perlakuan mereka!

Dita tertawa sinis melihat tamparan itu. Bukannya membela, ia justru semakin menyulut kemarahan ibunya.

“Tuh kan, Ma! Aku sudah bilang, Anjani itu perempuan matre! Dia cuma mau enaknya saja. Sekarang sudah berani melawan pula!”

Bu Rina semakin geram. “Benar juga! Dasar perempuan tak tahu diri!”

Tanpa aba-aba, Bu Rina meraih setumpuk baju kotor di dekat mesin cuci dan melemparkannya ke wajah Anjani.

“Kalau mau tinggal di rumah ini, jangan cuma bisa belanja! Cuci dulu ini semua, biar kamu tahu diri!”

Anjani terhuyung ke belakang, baju kotor itu jatuh berserakan di lantai. Tangannya mengepal, menahan emosi yang membakar dada.

Dita kembali menyahut dengan nada mengejek. “Dasar istri tak berguna! Kak Adrian pasti menyesal menikahimu.”

Anjani mengangkat wajahnya, menatap keduanya dengan sorot mata tajam. Ia tak akan menangis. Tidak kali ini. Dalam hati, ia bersumpah, ini tidak akan dibiarkan terus. Akan ada saatnya mereka menerima pembalasan!

Dengan berat hati, Anjani berjongkok, memunguti baju kotor yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar saat memasukkannya ke dalam mesin cuci, tetapi ia tetap melakukannya tanpa sepatah kata pun.

Dita dan Bu Rina sudah pergi, meninggalkannya sendirian dalam kehinaan. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi ia menahannya.

Setelah menyalakan mesin cuci, ia melangkah ke dapur, melanjutkan memasak makan malam. Pisau di tangannya bergetar saat ia memotong sayuran, dan tanpa bisa ditahan, air matanya jatuh, membasahi pipinya.

Ia menangis dalam diam, menumpahkan luka yang terus mereka torehkan. Namun, jauh di dalam hatinya, perlahan tumbuh tekad yang semakin kuat. Ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan ada saatnya ia bangkit dan membalas semuanya!

Adrian pulang malam setelah bertemu dengan Anggun. Kepalanya masih dipenuhi kata-kata wanita itu, membuatnya semakin bimbang.

Begitu ia masuk ke rumah, Bu Rina dan Dita langsung menyambutnya dengan wajah penuh keluhan.

"Adrian! Kamu harus mengajari istrimu sopan santun!" seru Bu Rina dengan nada penuh amarah.

Dita menambahkan dengan nada manja, "Iya, Kak! Anjani tadi membentak Mama. Dia sudah keterlaluan!"

Adrian mengernyit. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Bu Rina mendesah dramatis. "Aku hanya menegurnya karena boros belanja, tapi dia malah membantah! Tidak hormat sama sekali!"

Dita mengangguk cepat. "Benar! Kak Adrian, kamu harus tegas! Jangan sampai Anjani semakin kurang ajar."

Adrian diam. Di kepalanya, kata-kata Anggun kembali terngiang. "Anjani sudah berubah, bukan? Dulu dia lembut dan selalu menurut. Tapi sekarang? Dia mulai melawan."

Dengan nafas berat, ia akhirnya berkata, "Dimana Anjani sekarang?"

Bu Rina mendengus. "Masih di dapur, pura-pura jadi istri baik setelah melawan!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, Adrian berjalan menuju dapur. Pikirannya kacau, hatinya dipenuhi keraguan. Apakah Anjani benar-benar berubah? Atau semua ini hanya permainan ibunya dan Dita?

Adrian melangkah masuk ke dapur dengan wajah tegang. Begitu melihat Anjani yang tengah sibuk di depan kompor, amarah yang sudah diprovokasi sepanjang malam langsung membuncah.

"Anjani, apa yang kau lakukan tadi?" suaranya tajam, membuat Anjani tersentak dan menoleh.

Tatapan matanya masih merah, jelas habis menangis, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Apa maksudmu?"

Adrian mendekat, nada suaranya semakin dingin. "Jangan pura-pura tidak tahu! Mama bilang kau membentaknya. Kau mulai berani melawan, ya?"

Anjani menatap suaminya dengan tidak percaya. “Aku tidak membentak siapa pun. Aku hanya membela diri.”

PLAK!

Panci yang dipegang Anjani hampir terlepas saat pipinya terasa panas akibat tamparan Adrian. Ia membeku di tempat, jantungnya berdetak kencang.

Adrian sendiri terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan, tetapi amarahnya masih menguasai akal sehatnya. "Jangan pernah bersikap kurang ajar pada keluargaku lagi!"

Air mata Anjani jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menatap Adrian dengan luka yang dalam, bukan karena tamparan, tetapi karena pengkhianatan.

Dulu, pria ini berjanji akan selalu melindunginya. Tetapi sekarang? Adrian justru menjadi orang pertama yang menyakitinya.

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!