Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
Ia memusatkan pikirannya, mencoba menyentuh kekuatan itu dengan kehendak. Ia merasa seolah ada tirai tipis yang memisahkannya dari pemahaman. Dalam penglihatannya yang tertutup, seberkas cahaya menyala—terang namun asing. Cahaya itu tidak menyambutnya, tidak juga menolaknya. Ia hanya ada di sana, seperti mata yang menatap balik tanpa emosi. Maelon bisa merasakan bahwa kekuatan ini... bukan hanya kekuatan. Ia adalah semacam entitas. Ilahi, atau mungkin lebih tua dari sekadar ilahi. Dan kekuatan itu, meskipun mengalir dalam dirinya, tidak mengakunya sebagai tuan.
Ia mencoba mencari tahu tingkat kekuatannya—dan seperti membuka pintu ke dalam dirinya sendiri, ia menyadari sesuatu: ia berada di tingkat nol. Belum memasuki bahkan retakan pertama dari jalan dua belas Lapsus. Tapi ia juga tahu, entah dari mana datangnya pemahaman itu, bahwa ada syarat. Sesuatu harus ia lakukan, alami, atau penuhi agar bisa melangkah ke tingkatan selanjutnya. Namun tidak ada suara yang menjelaskan, tidak ada teks yang membimbing. Hanya keheningan, dan rasa bahwa ia harus menemukan syarat itu sendiri.
Tak tahu harus memulai dari mana, Maelon berjalan tanpa arah hingga menemukan sebuah ruang sempit di bawah reruntuhan, seperti ruang bawah tanah yang terkubur waktu. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara selain napasnya sendiri dan tetesan air yang jatuh dari besi berkarat. Ia merasa tempat itu... benar. Cocok. Mungkin, kekuatan ini butuh kegelapan untuk dikenali. Mungkin ia harus mendekat ke kematian untuk mengenal hidup kembali.
Ia duduk bersila, meletakkan tombak besinya di samping, dan menutup matanya. Ia memutuskan untuk bertahan di dalam ruang itu selama tiga hari, tanpa makanan, tanpa cahaya, tanpa bergerak—sebagai ritual yang ia ciptakan sendiri. Ia tidak tahu apakah ini akan berhasil. Tapi suara di dalam dirinya, suara dari dalam cahaya itu, menuntunnya ke keheningan yang panjang dan gelap.
Hari pertama, Maelon hanya duduk bersila di tengah ruang bawah tanah yang sempit dan penuh debu itu, dindingnya dingin dan lembap, lantainya berlumut dan licin, udara di dalam begitu pengap seakan menolak napas dari paru-paru yang mencoba bertahan. Ruangan itu tidak luas, tapi cukup untuk dirinya sendiri dan tombak besi yang tergeletak di samping, tak lebih dari seonggok logam usang yang menjadi saksi bisu dari banyak hal yang tak semestinya dialami seorang anak panti. Cahaya nyaris tak masuk, hanya sedikit rembesan samar dari celah-celah retak di atas, dan bahkan itu perlahan menghilang saat matahari tenggelam, menyisakan kegelapan penuh yang begitu pekat, nyaris berwujud.
Pada awalnya, semuanya masih bisa ditanggung. Ia duduk diam, memejamkan mata, memfokuskan pikirannya pada napasnya sendiri, mencoba menenangkan debaran jantung yang belum sepenuhnya percaya bahwa ini adalah keputusan yang waras. Tapi tak butuh waktu lama sebelum suara-suara kecil mulai muncul—bukan dari luar, tetapi dari dalam: suara bisikan pikiran sendiri, percikan memori yang datang tak diundang, kenangan samar dari panti asuhan, dari wajah Nalaya, dari waktu-waktu ia berdoa tanpa jawaban di bawah patung tua Dewa Blasphemy. Kenangan itu tidak menyerang, tidak memaksa, tapi mengalir lembut seperti racun yang menyusup perlahan. Ia merasakan luka-luka lama yang belum sembuh itu terbuka kembali, bukan oleh kejadian, tapi oleh kesendirian. Itulah yang pertama kali ia sadari: keheningan bisa sangat keras jika kau duduk cukup lama di dalamnya.
Perutnya mulai protes di tengah malam. Rasa lapar datang seperti arus laut yang menyeretnya dalam gelombang menggeliat dan perih. Ia menggigit bibir, menggenggam erat pakaiannya yang mulai basah oleh keringat dingin. Kekuatan Aetheron yang mengalir di tubuhnya terasa begitu jauh, seakan hanya ilusi yang ia percayai karena putus asa. Tidak ada pancaran kekuatan, tidak ada cahaya. Hanya tubuh manusia yang lemah dan kesepian di bawah reruntuhan dunia yang telah lama mati.
Sesekali ia membuka mata, tapi tak ada bedanya dengan tertutup. Kegelapan begitu total hingga tak ada batas antara bola matanya dan ruangan itu sendiri. Ia tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu, karena dalam tempat seperti ini, waktu bukanlah sesuatu yang bisa dihitung. Detik terasa seperti menit, menit terasa seperti jam. Ia bahkan mulai merasa bahwa mungkin ia telah tertidur, padahal ia yakin belum. Ia mulai meragukan kenyataan. Suara tetesan air di sudut ruang berubah seperti denyut jantung makhluk lain. Ia menoleh, tapi tentu saja tak ada apa-apa.
Namun, dalam hening dan gelap yang terus berputar, Maelon perlahan mulai mengenal sesuatu yang lain. Bukan kekuatan dalam arti biasa, bukan energi yang meledak atau cahaya yang menyembur. Tapi sesuatu yang jauh lebih halus: ia mulai merasakan kehadiran dari dalam dirinya sendiri. Seperti sesuatu yang menunggu, diam, tidak mau terburu-buru. Ia tidak tahu apakah itu adalah Aetheron atau hanya bayangannya sendiri yang mulai menggila karena kesepian, tapi ia tahu satu hal—di dalam dirinya, ada sesuatu yang tidak akan muncul jika ia terus berlari.
Sesuatu itu menuntut ia duduk, diam, dan mendengar lebih dalam. Hari pertama pun berakhir tidak dengan kesimpulan, tapi dengan kesadaran: bahwa untuk memulai memahami kekuatan ini, ia harus lebih dulu belajar menerima dirinya sendiri dalam keadaan paling sunyi, paling gelap, dan paling jujur.
Hari Kedua
Pagi tidak datang. Tidak ada cahaya, tidak ada angin baru, tidak ada suara burung atau tanda-tanda kehidupan. Hanya dingin yang semakin menusuk, dan napas yang mulai terasa asing di paru-paru Maelon. Hari kedua dimulai seperti mimpi buruk yang melanjutkan dirinya tanpa jeda. Tidak ada jeda antara tidur dan bangun; semua menyatu dalam gulita yang menyesakkan.
Maelon mulai berbicara pada dirinya sendiri. Pelan, nyaris berbisik. Ia tidak tahu apakah itu cara untuk tetap sadar atau hanya awal dari kegilaan. Kata-kata itu sederhana—pertanyaan tentang siapa dirinya, mengapa ia masih hidup, dan apa yang sebenarnya sedang ia cari. Ia bicara tentang Nalaya, tentang anak-anak panti yang dijual, tentang Dewa Blasphemy yang tidak pernah menjawab, tentang makhluk berkepala tiga yang memberinya kutukan, atau mungkin... hadiah.
Lapar bukan lagi rasa. Ia telah menjadi bagian dari tubuhnya. Seperti tulang, seperti darah. Maelon berhenti menggigil karena tubuhnya sudah terlalu letih untuk menggigil. Ia tidak tahu apakah ini adalah kelelahan, atau permulaan kematian.
...Namun di tengah keremukan itu, Maelon mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam dirinya—sebuah denyut kecil, nyaris tidak terasa, seperti langkah pertama dari sesuatu yang hendak bangun. Denyut itu tidak datang dari otot atau darah, melainkan dari tempat yang lebih dalam, lebih sunyi—ruang batin yang selama ini tertutup rapat, asing bahkan bagi dirinya sendiri.
Ia mencoba berfokus. Duduk tegak. Menyelaraskan napas dengan ritme yang aneh itu. Ia tidak tahu bagaimana caranya “mengaktifkan” Aetheron, namun mulai memahami satu hal: kehendak semesta ini tidak tunduk pada paksaan. Ia tak bisa menggapainya dengan niat kekerasan atau jerit keinginan. Yang diminta darinya adalah pelepasan, penyesuaian. Ia harus menjadi kosong agar bisa diisi, menjadi hening agar dapat mendengar. Seperti mendengarkan doa terbalik—bukan agar didengar oleh dewa, melainkan agar dirinya sendiri mampu mendengar apa yang dibisikkan oleh sesuatu yang lebih tua dari dirinya, lebih tua dari dunia.
Dan suara-suara itu mulai datang lagi. Lebih jelas, lebih tajam. Bisikan-bisikan yang tidak berasal dari luar, tapi bukan pula miliknya. Kata-kata asing, suara berlapis-lapis yang berbicara tentang “energi murni”, “pemusatan diri”, “batas antara dunia”, dan “nilai dari satu jiwa.” Ia merasa tubuhnya menjadi kosong, dan dalam kehampaan itulah—entitas yang ia cari perlahan mulai menempatinya, seperti kabut menyusup ke dalam gua yang telah lama terkunci.