Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Hari-hari berikutnya dijalani dalam keheningan yang canggung. Anya menghindari tatapan Migo, sementara Kanaya sama sekali menghindari mereka berdua. Ketiga sahabat itu masih terjebak dalam ketegangan yang tak terucapkan. Kopi pagi yang dulu menjadi ritual rutin mereka, kini terasa hambar dan sunyi.
Suatu sore, Anya memberanikan diri untuk menghubungi Kanaya. "Kanaya, bisakah kita bicara?" tanyanya lewat pesan singkat.
Kanaya membalas dengan singkat, "Besok, di taman kota. Jam 5 sore."
Keesokan harinya, Anya datang tepat waktu. Kanaya sudah duduk di bangku taman, memandang ke arah langit yang mulai jingga. Anya duduk di sampingnya, tak berani memulai pembicaraan.
Akhirnya, Kanaya yang memulai. "Anya," katanya, suaranya masih terdengar datar, "aku masih belum bisa menerima semuanya. Aku merasa dikhianati."
Anya mengangguk mengerti. "Aku tahu, Kanaya. Dan aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku dan Migo sama-sama salah. Kami seharusnya lebih jujur sejak awal."
"Jujuur?" Kanaya tertawa getir. "Kalian berdua menyembunyikan perasaan kalian selama berbulan-bulan! Bagaimana bisa itu disebut jujur?"
"Aku tahu," kata Anya, suaranya bergetar. "Aku juga merasa bersalah. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menyayangi kalian berdua, dan aku tidak ingin kehilangan salah satu dari kalian."
"Tapi kamu sudah memilih," kata Kanaya, suaranya sedikit meninggi. "Kamu memilih Migo."
"Bukan seperti itu," bantah Anya. "Aku belum memutuskan apa pun. Aku masih bingung."
"Bingung?" Kanaya menatap Anya dengan tajam. "Setelah semua ini, kamu masih bingung? Kamu menyakitiku, Anya. Kamu dan Migo."
Anya terdiam. Ia tahu Kanaya benar. Ia telah menyakiti sahabatnya. Dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya.
"Aku butuh waktu," kata Anya, suaranya lirih. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya dengan tenang."
Kanaya mengangguk, lalu berdiri. "Aku juga butuh waktu," katanya. "Aku tidak tahu apakah persahabatan kita bisa diperbaiki lagi."
Anya menatap kepergian Kanaya, perasaannya campur aduk. Ia merasa sangat bersalah. Ia berharap persahabatan mereka masih bisa diselamatkan. Tapi ia juga tahu, itu tidak akan mudah.
Beberapa minggu kemudian, Anya memutuskan untuk bicara dengan Migo. Ia mengajak Migo ke sebuah kafe yang tenang.
"Migo," kata Anya, setelah mereka memesan minuman, "aku sudah memikirkan semuanya."
Migo menatap Anya dengan penuh harap. "Dan?"
Anya menghela napas. "Aku tidak bisa bersamamu, Migo."
Migo tampak terkejut. "Kenapa, Anya? Apa yang salah?"
"Bukan salahmu," kata Anya. "Ini tentang persahabatan kita. Aku tidak ingin kehilangan Kanaya. Aku tidak ingin persahabatan kita hancur karena perasaanku padamu."
Migo mengangguk mengerti. Ia tahu Anya telah membuat keputusan yang sulit. Keputusan yang didasarkan pada persahabatan mereka.
"Aku mengerti," kata Migo, suaranya terdengar sedih. "Aku menyesal telah menyakiti Kanaya."
"Kita harus memperbaiki semuanya," kata Anya. "Kita harus berusaha untuk menjadi sahabat seperti dulu lagi."
Migo tersenyum, walaupun hatinya masih berat. "Aku setuju, Anya. Kita akan berusaha."
Mereka kemudian merencanakan cara untuk memperbaiki hubungan mereka dengan Kanaya. Mereka memutuskan untuk meminta maaf secara tulus dan memberikan Kanaya waktu dan ruang yang ia butuhkan. Jalan menuju penyelesaian masih panjang, tapi mereka bertekad untuk memperbaikinya. Mereka menyadari bahwa persahabatan lebih berharga daripada cinta yang belum tentu berujung bahagia.
Bianca, dengan rambutnya yang selalu terurai rapi dan senyum manis yang mampu menyihir siapa saja, mulai sering terlihat di sekitar Migo. Ia dengan sengaja duduk di dekatnya di perkuliahan, menawarkan bantuan saat Migo terlihat kesulitan mengerjakan tugas, dan bahkan sesekali mengirimkan pesan singkat berisi candaan ringan. Awalnya, Migo hanya menganggapnya sebagai teman biasa, fokusnya masih tertuju pada upaya memperbaiki hubungannya dengan Anya dan Kanaya. Namun, perhatian Bianca yang konsisten dan tulus mulai mengusiknya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Bianca, sesuatu yang membuatnya nyaman dan dihargai.
Suatu hari, setelah menyelesaikan pertemuan panjang dan melelahkan dengan Anya dan Kanaya—pertemuan yang masih dipenuhi ketegangan namun menunjukkan secercah harapan rekonsiliasi—Migo bertemu Bianca di perpustakaan. Bianca menawarkan bantuan untuk mencari buku referensi yang Migo butuhkan. Saat mereka duduk bersama, Bianca menatap Migo dengan mata yang penuh arti.
"Migo," kata Bianca, suaranya lembut, "aku tahu kamu sedang melalui masa-masa sulit."
Migo mengangguk, mencoba untuk tersenyum. "Ya, cukup berat."
"Aku melihatnya," kata Bianca. "Anya dan Kanaya... mereka terlihat sangat kecewa."
Migo terdiam. Ia tak menyangka Bianca memperhatikan hal tersebut.
"Tapi," lanjut Bianca, "aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu. Aku selalu mengagumi kamu, Migo. Kamu orang yang baik, dan kamu pantas mendapatkan kebahagiaan."
Migo menatap Bianca, perasaannya campur aduk. Ia menghargai perhatian Bianca, tapi ia masih merasa bersalah pada Anya dan Kanaya. Ia belum siap untuk membuka hatinya untuk orang lain.
"Bianca," kata Migo, suaranya pelan, "aku menghargai perhatianmu. Tapi aku masih belum bisa memikirkan hal lain selain memperbaiki hubungan dengan Anya dan Kanaya."
Bianca mengangguk mengerti. "Aku mengerti," katanya. "Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan selalu ada untukmu, Migo."
Senyum Bianca tetap manis, namun ada tekad yang tersirat di baliknya. Migo merasakan ada sesuatu yang berbeda dari perhatian Bianca, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Ia menyadari bahwa kehadiran Bianca mungkin akan semakin memperumit situasi yang sudah rumit. Ia harus berhati-hati, karena ia tidak ingin menyakiti siapa pun lagi. Namun, di sisi lain, perhatian Bianca bagaikan sinar matahari yang menembus awan gelap yang menyelimuti hatinya. Ia merasa sedikit lebih tenang dan dihargai. Kehadiran Bianca menjadi sebuah tantangan baru, sebuah kemungkinan baru yang mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia masih harus menyelesaikan masalahnya dengan Anya dan Kanaya terlebih dahulu. Hanya waktu yang akan menentukan bagaimana kisah cintanya akan berlanjut.