seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayi harapan
Setelah mendapat kabar dari Reno, Tania yang tengah menyamar di sebuah penginapan sederhana di pinggiran Jakarta segera bergegas. Ia menanggalkan penyamarannya, mengenakan jaket kulit hitam dan helm bertutup. Motornya melesat di antara hujan rintik yang mulai turun.
Telepon dari Reno menggema di kepalanya:
"Aina masuk rumah sakit. Dia sudah tahu tentang Dika. Dia dalam masa persalinan sekarang."
"Apa bayi dan dia selamat?"
"Belum tahu. Aku dalam perjalanan juga."
Tania tiba di rumah sakit. Beberapa pengawal sudah berjaga. Ia langsung disambut oleh perawat.
"Anda dari tim Kapten Merlin?"
Tania mengangguk. "Bagaimana kondisinya?"
"Bayi dan ibu selamat. Tapi kondisinya masih trauma berat. Dia belum bicara sepatah kata pun."
Tania masuk ke ruang rawat. Aina berbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat tapi matanya terbuka. Di sisinya, bayi mungil sedang tidur tenang dalam boks bayi.
Tania mendekat, menggenggam tangan sahabatnya itu. "Kau kuat, Nai. Dika pasti bangga... anakmu sehat, perempuan... dia sudah jadi ayah yang luar biasa."
Air mata mengalir di pipi Aina. Perlahan, ia memeluk bayi itu ke dadanya.
"Aku akan jaga anak ini… untuk Dika…"
Tania yang mendampingi di sisi ranjang tertegun.
"Dikara?"
Aina mengangguk sambil menatap si mungil yang baru saja hadir ke dunia.
"Dari nama Dika... aku ingin dia selalu tahu siapa ayahnya. Seorang pahlawan, pelindung, dan ayah terbaik."
Tania menahan haru, lalu mengelus kepala sahabatnya.
"Kau kuat, Nai. Anak ini akan membawa cahaya. Kita akan lindungi dia. Aku janji."
Di ruang perawatan, hujan mulai turun perlahan. Rintik-rintiknya memantul di kaca jendela, menciptakan irama sedih yang menyatu dengan suasana hati Aina.
Aina memandang bayi mungilnya yang tertidur, lalu menatap Tania dengan mata merah namun penuh tekad. Tangannya yang masih lemah menggenggam erat tangan Tania.
"Temukan pembunuh Dika untukku..." bisiknya dengan suara serak.
"Frenki bukan hanya pengkhianat. Dia kaki tangan Bayangan. Aku yakin itu... aku bisa merasakannya."
Tania menunduk, lalu mengangguk tegas.
"Aku janji, Nai. Atas nama persahabatan kita, dan atas nama Dika… Aku akan menemukan mereka. Bayangan akan jatuh. Frenki akan membayar."
Aina menarik napas dalam. Matanya memancarkan bara dendam yang tak bisa dipadamkan.
"Kau... satu-satunya yang kupercaya sekarang."
Tania mengepalkan tangan, lalu berdiri dengan mantap.
"Mulai malam ini, perburuan Bayangan dimulai. Dan aku tidak akan berhenti sampai semuanya selesai."
Restoran seafood yang dulu selalu ramai oleh canda tawa kini tampak sunyi. Tirai ditutup rapat, papan kecil bertuliskan “Tutup Sementara” menggantung di pintu. Kesedihan masih menyelimuti tempat itu… tempat terakhir Dika tertawa bersama orang-orang yang ia cintai.
Di kediaman Aina, suasana tak jauh berbeda. Walau telah pulang dari rumah sakit, Aina masih lemah. Tapi tangis bayi mungil yang baru lahir, Dikara, menjadi nyala kecil penghibur di tengah duka.
Tok... tok...
Pak Jaka dan Rendi datang. Mereka membawa bingkisan sederhana dan wajah duka.
“Kami turut berduka, Bu Aina,” ucap Pak Jaka, pelan.
Rendi menambahkan, “Tapi kami juga bersyukur… Dikara lahir dengan selamat, tanpa operasi. Alhamdulillah.”
Aina menahan air matanya. Ia menunduk sambil mengelus kepala Dikara yang tertidur dalam dekapan.
“Terima kasih sudah datang,” bisiknya. “Dika… pasti senang tahu kalian masih di sini.”
Pak Jaka memandang sekeliling rumah. “Kalau ibu butuh apa-apa… Resto juga kami yang urus dulu. Nggak usah pikirin kerjaan dulu.”
Aina tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak Jaka… Rendi…”
Rendi mencoba mencairkan suasana. “Kapan-kapan, kalau Dikara udah gede… boleh dong ikut bantu di dapur,” ucapnya sambil melirik bayi mungil itu.
Aina tertawa kecil. “Tunggu dia bisa pegang wajan dulu, ya…”
Di balik senyum itu, ada luka yang belum sembuh. Tapi perlahan, dengan teman-teman seperti mereka, Aina tahu: dia tidak sendiri.
Suasana rumah duka kembali hening saat mobil jenazah tiba di depan kediaman Aina. Jasad Dika, yang telah diotopsi, akhirnya tiba di rumah—disambut isak pelan dan wajah-wajah penuh kehilangan.
Seorang petugas kepolisian mendekat dengan sebuah kotak kecil berisi barang-barang pribadi almarhum.
“Ini perlengkapan almarhum Dika… termasuk kalung yang ditemukan di lokasi,” ucapnya lirih sambil menyerahkan kotak itu kepada Kapten Merlin.
Aina membuka perlahan, tangannya bergetar. Di dalamnya ada dompet lusuh, jam tangan Dika, dan… kalung dari kerang kecil yang pernah diberikan Laila.
Namun…
Kalung itu sudah putus. Tak satu pun kerang yang tersisa. Hanya tali usang yang terurai.
Laila yang sedari tadi diam di sudut ruangan, melangkah mendekat.
“Itu… kalung dari aku, ya?” bisiknya, suaranya lirih.
Aina mengangguk pelan. “Iya, Nak…”
Laila memandangi potongan tali itu. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada tangis yang keluar. Dia hanya duduk di samping ibunya, lalu memandangi adik kecilnya—Dikara—yang tidur nyenyak di pangkuan Aina.
“Ayah pasti melindungi kalung itu sampai akhir…” ucap Laila, tenang. “Meski putus… tapi aku tahu, dia jaga janji.”
Aina menggenggam tangan Laila erat. “Ayahmu… pahlawan sejati.”
Laila mengangguk mantap.
“Suatu saat nanti… aku ingin seperti Ayah. Lindungi orang-orang yang kusayangi. Jadi pahlawan juga.”
Aina menatap putrinya, bangga dan sekaligus khawatir. Tapi di balik kesedihan hari itu, dia tahu… semangat Dika belum benar-benar padam. Ia telah menyala di dalam hati seorang gadis kecil yang bernama Laila.
Langit mendung menggantung di atas pemakaman utama Taman Makam Pahlawan. Barisan polisi dan pejabat berdiri tegak, mengenakan seragam lengkap, memberi penghormatan terakhir pada sosok yang telah gugur dalam tugas.
Di ujung liang lahat, Aina berdiri lemah dengan tangan menggenggam Laila yang tak melepaskan pandangannya dari peti jenazah ayahnya. Di samping mereka, Tania dan Reno berdiri membisu. Sementara itu, Pak Jaka dan Rendi tampak hadir, mengenakan pakaian rapi dan topi hitam.
Seorang petugas memberikan aba-aba.
Tiga… dua… satu…
DOR! DOR! DOR!
Tiga kali tembakan kehormatan ke udara, memecah keheningan.
Letusan peluru ke langit itu menjadi simbol bahwa seorang pahlawan telah berpulang. Dika, sosok sederhana yang selama ini dianggap sekadar tukang ojek dan pemilik resto, ternyata menyimpan keberanian yang tak ternilai. Ia gugur demi negara, demi keluarganya.
Bendera merah putih dilipat rapi, lalu diserahkan kepada Aina oleh seorang perwira muda.
“Atas nama negara dan bangsa, kami ucapkan terima kasih atas jasa dan pengorbanan almarhum… semoga diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa,” ucapnya.
Aina menerima bendera itu dengan tangan gemetar dan mata berkaca. Laila, meski masih kecil, menatap sang ibu dan pelan-pelan memeluknya dari samping.
“Bunda jangan sedih… kita masih punya Dikara, ya,” bisiknya lembut.
Aina mengangguk. “Dan kamu… kamu juga.”
Di sisi lain, Tania memandang pusara Dika dengan tatapan tegas. Dalam hatinya, ia berikrar…
"Aku akan temukan si Bayangan, Dika. Demi kamu… dan keluarga yang kau tinggalkan."