Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
”Adrian merasa dunia seakan runtuh saat suara ketukan kasar di pintu menggema di seluruh rumah. Wajahnya yang lelah semakin pucat ketika melihat Dita terdorong ke belakang hingga jatuh saat membuka pintu.
Bu Rina bergegas menghampiri Dita, namun langkahnya terhenti saat melihat Bu Lestari melangkah masuk dengan angkuh, diiringi beberapa bodyguard berbadan tegap.
"Bu Rina, waktu kesabaran saya sudah habis. Kalian harus mengosongkan rumah ini sekarang juga," ujar Bu Lestari dengan nada dingin dan penuh kemenangan.
Adrian berdiri, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya mengepal kuat.
"Bu Lestari, beri kami waktu sedikit lagi. Saya pasti akan membayar hutang itu," ucap Adrian dengan suara bergetar.
Bu Lestari menyeringai sinis.
"Waktu? Sudah berkali-kali kamu meminta waktu, Adrian. Tapi nyatanya, tidak ada satu rupiah pun yang kamu bayarkan!"
Dita yang masih terduduk di lantai mulai menangis, sementara Bu Rina hanya bisa mematung, merasa harga dirinya diinjak-injak.
"Bu... tolong, jangan lakukan ini di depan anak-anak saya," lirih Bu Rina dengan suara memohon.
Bu Lestari melipat tangannya di dada, wajahnya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
"Kalau kalian tidak mau diusir secara paksa, lebih baik kalian pergi sekarang juga."
Adrian merasa marah, tapi ia tak berdaya. Hutang yang menumpuk, ditambah dengan masalah pekerjaan nya. membuatnya terjebak dalam lingkaran masalah yang tak kunjung usai.
Dengan berat hati, ia menundukkan kepala, menahan emosi.
"Ayo, Bu... Dita... kita pergi," ucap Adrian lirih.
Bu Rina menatap rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. Air matanya jatuh, tapi ia tahu tak ada lagi yang bisa dilakukan. Mereka segera berkemas membawa barang yang sekiranya penting .
Mereka berjalan keluar dengan langkah berat, meninggalkan rumah yang kini bukan milik mereka lagi. Hati Adrian terasa hancur.
Bu Lestari tersenyum puas melihat keluarga itu melangkah keluar dengan kepala tertunduk. Baginya, kemenangan ini adalah balasan atas semua kesombongan Bu Rina selama ini.
Bu Rina menangis tersedu di pelukan Dita, sementara para tetangga yang mulai berkerumun hanya bisa berbisik-bisik. Wanita yang dulu dikenal angkuh dan selalu pamer harta kini harus merasakan pahitnya diusir dari rumah sendiri.
"Kasihan... tapi ya begitulah kalau suka merendahkan orang lain," bisik salah satu tetangga di sudut pagar.
Adrian menundukkan kepala, telinganya panas mendengar bisikan-bisikan itu. Ia ingin membela ibunya, tapi rasa malu dan kecewa menahan langkahnya.
Bu Lestari mendekat, menepuk bahu Adrian dengan sinis.
"Ingat ini, Adrian. Hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Sayangnya, kalian sekarang ada di bawah."
Adrian menggertakkan giginya, menahan kemarahan yang membuncah di dadanya. Tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukan keluarganya lebih jauh.
Dengan sisa harga diri yang dimiliki, Adrian meraih koper berisi pakaian seadanya, lalu menggenggam tangan ibunya.
"Ayo, Bu... Dita... kita pergi dari sini."
Bu Rina menghapus air matanya, berusaha tegar meski hatinya hancur.
"Dimana kita akan tidur, Nak... Kita tidak ada rumah lagi..." suaranya lirih hampir tak terdengar..
Adrian mengangguk, menatap rumah yang perlahan menjauh di belakang mereka. Dalam hati, ia bersumpah akan membuktikan bahwa keluarganya bisa kembali berdiri, meskipun dari nol.
Langkah mereka tertatih meninggalkan rumah itu, tanpa tahu ke mana mereka akan pergi. Namun, satu hal yang pasti mereka harus mencari tempat tingal baru.
Dengan berbekal sedikit uang, Adrian akhirnya menemukan kontrakan kecil di pinggiran kota dengan harga lumayan murah. Rumah itu hanya memiliki dua kamar, ruang tamu sederhana, dan dapur kecil. Meskipun jauh dari kata nyaman, kontrakan itu cukup untuk berteduh sementara bagi dirinya, Bu Rina, dan Dita.
Bu Rina duduk di kursi plastik di sudut ruangan dengan wajah masam. Semua ini terjadi bukan karena Anjani, melainkan karena keserakahan Bu Rina sendiri yang salah mengelola investasi. Uang peninggalan almarhum suaminya habis dalam sekejap setelah ia tertipu investasi bodong yang menjanjikan keuntungan besar.
"Kalau saja uang itu tidak lenyap, kita nggak akan hidup begini!" gerutu Bu Rina, seakan menyalahkan nasib.
Adrian hanya diam, berusaha menahan amarah yang sejak lama dipendam. Ia tahu, ibunya selalu merasa benar dan tak pernah mau mengakui kesalahan. Sementara itu, Dita hanya sibuk dengan ponselnya, seakan tidak peduli dengan keadaan.
"Kita harus mulai dari nol, Bu... Tapi kali ini, aku nggak mau hidup di bawah bayang-bayang Mama lagi. Aku akan berusaha sendiri," ucap Adrian tegas.
Bu Rina melotot, tak percaya mendengar kata-kata anaknya. "Kamu berani melawan ibumu sendiri, Adrian?"
Namun, Adrian hanya menarik napas panjang. Ia sadar, selama ini ia terlalu menurut pada ibunya, hingga membuat rumah tangganya hancur.
Hari demi hari berlalu, Adrian mulai bekerja keras untuk kebutuhan mereka. Sementara Bu Rina terus mengeluh, dan Dita tetap bersikap manja tanpa sedikit pun membantu
Anggun, mantan kekasih Adrian, akhirnya mengetahui keadaan Adrian yang kini jatuh miskin. Tanpa pikir panjang, ia mendatangi kontrakan kecil itu dengan membawa beberapa kantong belanjaan berisi bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Wajahnya tampak lembut, seakan penuh perhatian, tetapi di balik itu ada niat tersembunyi.
"Aku cuma mau membantu, Adrian. Aku tahu kamu sedang kesulitan. Anggap saja ini sebagai bantuan dari colon istri mu," ucap Anggun dengan suara lembut.
Adrian menatap kantong belanjaan itu sejenak, lalu menggeleng pelan. "Terima kasih, Anggun. Tapi aku nggak bisa menerima ini. Aku ingin berusaha sendiri."
Namun, sebelum Anggun sempat menjawab, Bu Rina dengan sigap melangkah maju dan langsung meraih kantong belanjaan dari tangan Anggun. "Kenapa harus ditolak, Adrian? Rezeki jangan ditolak! Anggun cuma mau bantu, kan?" ujar Bu Rina dengan nada tinggi, seolah menantang keputusan Adrian.
Adrian menahan napas, mencoba meredam amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Bu, kita nggak butuh bantuan siapa pun. Aku bisa cari uang sendiri."
Bu Rina melotot, wajahnya memerah. "Kamu pikir harga diri bisa bikin kita kenyang? Lihat keadaan kita sekarang! Kita bukan siapa-siapa lagi! Kalau ada yang mau bantu, kenapa harus ditolak?"
Anggun hanya tersenyum tipis, menatap Adrian dengan tatapan penuh arti. "Aku hanya ingin membantu, Adrian. Lagipula... kita kan sebentar lagi menikah…."
Adrian mengatupkan rahangnya, hatinya bergejolak. Ia tahu maksud tersembunyi di balik kebaikan Anggun. Wanita itu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa pamrih.
"Bu, kembalikan kantong itu. Aku nggak mau bantuan ini.aku masih mampu mencukupi kebutuhan kita Bu." Suaranya terdengar tegas, membuat Bu Rina melotot semakin tajam.
"Kamu ini bodoh atau keras kepala, Adrian? Hidup kita sudah jatuh miskin, dan kamu masih pilih-pilih bantuan? Kalau bukan karena Anjani, kita nggak akan hidup begini!"
Nama Anjani membuat dada Adrian semakin sesak. Ia menatap ibunya dalam-dalam, berusaha menahan semua kekesalan yang menumpuk selama ini. "Kita hidup begini bukan karena Anjani, Bu... tapi karena kesalahan kita sendiri."
Bu Rina terdiam, sementara Anggun mulai merasa tidak nyaman. Ia tahu, perjuangan Adrian baru saja dimulai.
Anggun, yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran kecil itu, tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh perhitungan.
"Adrian... Aku cuma ingin membantu. Kalau kamu keberatan menerima bantuan ini, aku punya tawaran lain."
Mata Anggun beralih ke Bu Rina yang masih memeluk kantong belanjaan. "Kalau Ibu mau, Ibu dan Dita bisa tinggal di salah satu rumah keluarga saya. Rumah itu kosong, jadi nggak akan merepotkan siapa pun."
Wajah Bu Rina langsung berseri-seri. Matanya berbinar mendengar tawaran itu. "Benar, Nak Anggun? Terima kasih banyak... Kamu memang perempuan baik. Coba dulu Adrian dengar nasihat Ibu, kamu pasti sudah jadi menantu di keluarga ini."
Adrian mengepalkan tangan, menahan kesal. "Bu, kita nggak perlu tinggal di rumah orang lain. Aku bisa cari tempat yang layak tanpa bantuan siapa pun."
Anggun masih tersenyum lembut, seolah memahami situasi. "Aku hanya ingin membantu, Adrian. Aku tahu kamu orang yang keras kepala, tapi aku nggak mau lihat kalian hidup susah seperti ini."
Bu Rina buru-buru menyela, "Adrian, jangan keras kepala! Kita terima saja tawaran Anggun. Ini juga demi Dita, kasihan adikmu."
Namun, Adrian menatap tajam ke arah ibunya. "Kalau Ibu mau tinggal di rumah orang lain, silakan. Tapi aku akan bertahan di sini. Aku nggak mau ikut kalian."
Anggun menatap Adrian dalam-dalam, ada kilatan licik di matanya meski senyumnya tetap ramah. "Baiklah, aku nggak akan memaksa. Tawaran ini tetap terbuka kapan saja."
Bu Rina mendesah keras, kecewa dengan keputusan anaknya. Namun, Adrian sudah mengambil keputusan.
Bu Rina terus merayu Adrian sepanjang malam. Ia membujuk dengan berbagai alasan, mulai dari kondisi Dita yang butuh tempat tinggal lebih layak hingga betapa lelahnya mereka tinggal di kontrakan kecil yang pengap.
"Adrian, kasihan adikmu. Dia butuh tempat yang nyaman buat hidup layak. Kamu tega lihat adikmu hidup begini?" ucap Bu Rina dengan nada lirih, seolah bermain perasaan.
Adrian hanya diam, menatap lantai tanpa menjawab. Dalam hatinya, ia tahu keputusan ini sangat berat. Namun, melihat Dita yang hanya duduk termenung dengan wajah lesu, hati kecilnya mulai goyah.
Bu Rina semakin gencar membujuk. "Anggun bukan orang lain, Adrian. Dia cuma mau bantu... Lagipula, rumah itu kosong. Kita nggak ngerepotin siapa-siapa."
Akhirnya, setelah semalaman berpikir, Adrian menyerah. Ia menarik napas panjang sebelum berkata pelan, "Baiklah, Bu. Kita pindah... Tapi hanya sementara, sampai aku bisa beli rumah sendiri."
Wajah Bu Rina langsung berbinar, seolah kemenangan ada di tangannya. "Nah, begitu dong! Terima kasih, Nak! Mama tahu kamu anak yang pengertian."
Keesokan harinya, Anggun datang dengan senyum lebar, seolah sudah menunggu keputusan itu. Ia bahkan sudah menyiapkan mobil untuk mengangkut barang-barang mereka.
Rumah yang ditawarkan Anggun ternyata cukup besar, meski tidak semewah rumah keluarganya. Lokasinya strategis dan nyaman. Namun, di balik kebaikan itu, ada rencana tersembunyi di benak Anggun. Ia tahu, menempatkan Adrian di bawah atap keluarga besarnya adalah langkah awal untuk kembali menguasai hidup pria itu.
Adrian hanya bisa menggenggam erat tekadnya. "Aku akan bertahan... dan tidak akan jatuh untuk kedua kali nya."
*******
Jauh di Italia, Marco duduk di ruang kerjanya, menatap foto-foto lama yang berserakan di meja. Rokok di tangannya sudah hampir habis, namun pikirannya terus berputar. Informasi tentang anaknya yang dibuang di Indonesia membuat luka lama kembali menganga.
Elisabet, istrinya, duduk di sudut ruangan dengan wajah pucat. Wanita itu masih setia mendampinginya meski kesedihan bertahun-tahun seolah membeku di matanya. Namun, Marco tahu ada sesuatu yang disembunyikan istrinya selama ini.
Penyelidik yang diutus Marco mulai menelusuri jejak masa lalu Elisabet saat tinggal di Indonesia. Setelah berminggu-minggu mencari informasi, nama Davit muncul di antara orang-orang yang dekat dengan Elisabet saat itu. Marco menyipitkan mata saat membaca laporan tersebut. Davit adalah pria yang dulu pernah menjadi sahabat dekat Elisabet—lebih dekat daripada yang pernah diceritakan istrinya.
Marco mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah. "Kenapa nama ini tidak pernah kau sebutkan, Elisabet?"
Elisabet tersentak, wajahnya semakin pucat. "Davit hanya teman lama, Marco... Aku bahkan sudah tak pernah mendengar kabarnya lagi."
Namun, Marco tahu ada sesuatu yang tidak beres. Penyelidiknya melaporkan bahwa Davit masih berada di Indonesia dan memiliki hubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam jaringan adopsi ilegal. Nama itu terlalu mencurigakan untuk diabaikan.
"Aku akan mencari tahu semuanya, Elisabet... bahkan jika itu berarti membongkar masa lalumu."
Elisabet menunduk, tangan gemetar menggenggam ujung syal di lehernya. Ada rahasia yang ia sembunyikan.
Marco tahu ia semakin dekat dengan kebenaran, tapi ia juga sadar, semakin dalam ia menyelidiki, semakin banyak luka lama yang akan terbuka.
Rahasia apa yang di sembunyikan mami elisabet?....
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh