NovelToon NovelToon
Suami Pilihan Kakek

Suami Pilihan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Nikahmuda / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alfiyah Mubarokah

"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"



Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.

Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 Pingsan

Tania dan Alika saling memicingkan mata, menatap Nayla dengan pandangan curiga yang tajam. Tatapan mereka seperti sinar laser yang hendak membedah rahasia terdalam Nayla.

“Jangan-jangan itu beneran cincin kawin ya, Nay?” tuduh Tania alisnya terangkat penuh kecurigaan.

Nayla berkedip-kedip cepat, seakan-akan matanya ingin membersihkan tuduhan itu. “Enak aja! Kalian pikir gue apaan, yang nikah di saat masih sekolah begini?” sanggah Nayla dengan nada tinggi, namun wajahnya justru terlihat sedikit panik.

Tania mencondongkan tubuhnya, mendekat ke arah Nayla dengan ekspresi penuh drama.

“Eh siapa tau lo dipaksa emak tiri buat nikah demi uang. Kan sering tuh ceritanya di novel-novel online. Gue baca loh! Iya gak Ka?”

Alika yang dari tadi hanya menonton, langsung mengangguk mantap. “Bener banget. Apalagi kalau keluarganya butuh duit, udah deh pengantin muda dadakan.”

“Hei! Ini dunia nyata, bukan dunia online!” Nayla melotot kesal, meski hatinya justru tertusuk ucapan mereka. “Mama gue gak akan pernah maksa gue nikah!” lanjutnya, namun di dalam hati dia menambahkan, “Kalau Kakek sih iya.”

Tania memonyongkan bibirnya. “Tapi ya Nay, kisah nikah muda demi duit itu nyata loh. Gue nonton di berita, ada cewek seumuran kita nikah sama kakek-kakek tua renta demi warisan. Muka ceweknya aduh kasian banget.”

“Iya gue juga liat. Dia kayak zombie. Matanya kosong, bibirnya pucat,” tambah Alika dengan mimik ngeri.

“Sampe pingsan kan dia?” Tania melanjutkan, matanya membulat dramatis.

“Lah iya! Gimana gak pingsan coba. Disuruh nikah sama kakek-kakek, mau muntah kali dia,” balas Alika, merinding sendiri membayangkan.

Tania tertawa geli. “Gue malah penasaran, deh. Gimana ya malam pertamanya? Jangan-jangan si cewek yang pingsan, kakeknya malah kolaps duluan.”

Ucapan Tania sukses membuat Alika terbahak, memegang perutnya sendiri. Nayla hanya bisa tersenyum kecut, hatinya makin gelisah. Kata-kata mereka menusuk pikirannya. “Apa gue juga termasuk perempuan yang dilaknat malaikat kalau gak ngasih hak Kak Rayyan?” batinnya gelisah. “Tapi Kak Rayyan sendiri sampai sekarang gak pernah minta apa-apa. Jadi gue gak salah kan?”

Tania menepuk paha Alika. “Udah yuk, balik ke kelas. Gue baru inget ada PR Pak Arkah yang belum gue kerjain.”

“PR?” tanya Nayla, seolah baru kembali ke dunia nyata.

“Iya PR Pak Arkah! Aduh jangan-jangan lo juga belum ngerjain?” Tania mendekat, menatap Nayla penuh selidik.

Nayla membelalak. “Gawat gue lupa banget!” gumamnya panik.

Tania langsung menepuk-nepuk bahu Ida. “Alika! Lo udah ngerjain kan?”

“Udah dong,” jawab Alika tenang.

“Wah kita beruntung Nay. Tinggal salin punya Alika!” seru Tania dengan wajah cerah, lalu berdiri cepat-cepat.

Namun, langkah mereka terhenti di lorong saat dua sosok muncul menghadang. Zia dan Nia berdiri di depan mereka dengan senyum tipis penuh misteri.

“Mau ke mana Nayla?” sapa Zia datar, tapi tajam.

Nayla berusaha tetap tenang. “Ke kelas kenapa Zia?”

“Ada yang mau gue omongin sama lo penting,” ucap Zia, menyilangkan tangan di dada.

“Ya udah, ngomong aja di sini cepet. Gue buru-buru,” balas Nayla, setengah malas.

“Ini rahasia. Lo harus ikut gue sebentar,” ujar Zia, kali ini suaranya lebih serius.

Nayla menghela napas, menatap Alika dan Tania sekilas. “Mau ngomong di mana?” tanyanya akhirnya.

Zia menunjuk ke sudut taman belakang, tempat yang cukup sepi dari lalu lalang siswa. “Di sana.”

Tanpa banyak kata, Nayla mengikuti Zia, meninggalkan Tania dan Alika yang hanya bisa saling pandang dengan bingung. Mereka berjalan menuju tempat yang Zia tunjuk, hingga akhirnya berhenti di bawah pohon besar.

“Jadi lo mau ngomong apa?” tanya Nayla, mencoba santai.

Zia menatapnya dalam-dalam, matanya seperti sedang memindai kebohongan. “Lo tadi pagi berangkat sama siapa?”

“Sama bokap gue lah. Emangnya gue mau sama siapa lagi?” jawab Nayla cepat, namun senyum di wajahnya terlihat kaku.

“Jangan bohong Nay. Gue liat lo turun dari mobil Pak Rayyan di halte,” tuding Zia tanpa basa-basi.

Nayla tertawa. “Lo ngelindur Zia. Mungkin elo salah liat. Pagi-pagi kan suka ngantuk tuh,” elaknya, meski wajahnya mulai pias.

Zia melipat tangan di dada, ekspresinya makin serius. “Gue yakin itu lo. Gue gak mungkin salah liat.”

Kriiingggg....

Bel tanda masuk berbunyi, menyelamatkan Nayla dari situasi yang makin pelik. Ia menghela napas panjang. “Udah dulu Zia. Gue harus ke kelas. Entar dihukum Pak Arkah. Dan soal tadi lo pasti salah liat,” ucapnya cepat, lalu bergegas pergi tanpa menoleh.

Alika langsung menghampiri Nayla saat melihatnya kembali. “Udah selesai?”

“Udah. Yuk buru-buru. PR Pak Arkah belum gue salin,” jawab Nayla tergesa-gesa. Mereka berlari kecil menuju kelas.

Sementara itu, Zia masih berdiri di tempat, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Gue yakin, Nayla sembunyikan sesuatu. Gue harus cari buktinya,” gumamnya.

Pak Arkah sudah berada di dalam kelas saat mereka tiba. “Dimas, Indra, kumpulkan tugas yang kemarin saya berikan,” perintah Pak Arkah dengan suara lantang.

Nayla dan Tania saling pandang, lalu tertunduk lesu. Buku PR kosong mereka diserahkan ke Dimas dengan pasrah.

“Alamat mampus kita Nay,” bisik Tania pelan.

Pak Arkah membuka buku mereka dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nayla, Tania maju ke depan,” ucapnya dengan nada tegas.

Mereka maju dengan kepala tertunduk.

“Kenapa kalian belum mengerjakan tugas?” tanya Pak Arkah, sorot matanya tajam menusuk.

“Maaf Pak. Saya lupa,” jawab Nayla lirih.

Pak Arkah menghela napas panjang. “Lupa? Seharian kemarin ngapain kamu, Nayla?”

Nayla terdiam beberapa detik, lalu menjawab, “Saya harus nemenin Tante saya Pak. Dia lagi berkunjung dari luar kota.”

Pak Arkah mendesah, lalu beralih ke Tania. “Kamu kenapa Tania?”

“Saya juga lupa Pak,” jawab Tania dengan wajah penuh penyesalan.

Pak Arkah mengusap wajahnya. “Kalian berdua, keluar. Berdiri di lapangan. Hormat ke bendera sampai pelajaran saya selesai!” perintahnya keras.

Nayla dan Tania menunduk, melangkah keluar kelas dengan lemas. Matahari di luar begitu terik, membakar kulit mereka seolah ikut menghukum.

“Ya ampun Nay. Panasnya sadis banget,” keluh Tania sambil mengipas wajahnya dengan tangan.

“Iya mana gak bawa topi lagi,” balas Nayla, keringatnya mulai menetes.

Mereka berdiri tegap di tengah lapangan, di bawah sengatan mentari yang tak kenal ampun. Waktu seakan berjalan lambat, menit demi menit terasa seperti jam.

Peluh sudah mengalir deras di wajah Nayla. Wajahnya mulai memucat.

“Nay, lo gak papa?” tanya Tania menatap khawatir.

Nayla memaksakan senyum, walau suaranya terdengar lemah. “Gue gak apa-apa.”

Namun, tak sampai lima detik, tubuh Nayla tiba-tiba limbung, ambruk ke depan.

“Nayla!!” teriak Tania panik, cepat-cepat menangkap tubuh sahabatnya agar tak jatuh ke tanah.

Teriakan itu terdengar cukup keras hingga memancing perhatian seseorang yang sedang melintas di lorong tak jauh dari lapangan. Orang itu menoleh, dan matanya membelalak saat melihat Tania berlutut memegang tubuh Nayla yang terkulai lemas. Tanpa pikir panjang, orang itu berlari menuju lapangan.

“Nayla kenapa?!” suara cemas itu familiar di telinga Tania.

“Pak Rayyan?” gumamnya kaget saat pria itu sudah berjongkok di samping mereka.

“Nayla pingsan Pak. Dia kepanasan,” jawab Tania dengan suara gemetar.

Rayyan langsung mengambil alih tubuh Nayla, memangku dan menepuk pipi Nayla dengan cemas. “Nayla! Nay, bangun! Nayla!” panggilnya panik.

Pemandangan itu sontak menjadi pusat perhatian. Murid-murid yang penasaran dengan teriakan Tania tadi berbondong-bondong datang, namun yang mereka lihat membuat mereka terkejut.

Pak Rayyan, guru baru yang selama ini dikenal kalem dan cuek, kini sedang memangku Nayla dengan wajah panik, tak peduli dengan tatapan semua orang. Peluh bercucuran di wajah Rayyan, namun sorot matanya hanya tertuju pada Nayla yang masih terpejam.

Beberapa murid langsung menutup mulutnya, yang lain saling berbisik dengan tatapan penuh keheranan.

“Gila, ini sih udah bukan gosip lagi,” bisik salah satu siswa.

Zia, yang dari tadi memperhatikan dari kejauhan, mengepalkan tangannya. “Gue gak salah liat. Lo pasti sembunyikan sesuatu, Nayla,” desisnya lirih, penuh tekad.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!