Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Segitiga yang Terasa Manis
Hari terakhir ospek tiba. Suasana sekolah lebih ceria dari sebelumnya—semua peserta terlihat lega karena kegiatan fisik dan tantangan sudah selesai.
Di halaman, para peserta berkumpul untuk sesi foto bersama. Citra berdiri di tengah, rambutnya masih rapi, senyum tipis menghiasi wajahnya. Di sampingnya, Kiara dan Afifah saling menepuk bahu sambil tertawa.
Dion berdiri tidak jauh dari Citra, sedikit condong agar masuk ke frame foto, matanya diam-diam selalu melirik ke arah Citra. Rachel, yang juga ikut berfoto, terlihat menahan napas sambil mengamati interaksi mereka.
“Ayo… senyum semua!” seru panitia. Kamera siap merekam momen terakhir ospek mereka.
Citra menoleh sebentar ke Dion, pipinya memerah tipis. “Hmph… senyum aja, Cit,” bisik Kiara di telinganya sambil menahan tawa.
Dion tersenyum hangat, hampir menyentuh bahu Citra tanpa menimbulkan rasa canggung, hanya memberi rasa nyaman. Citra menahan senyum kecil, hatinya berdebar.
Rachel, yang berdiri di sisi lain, menatap mereka dengan mata sedikit cemburu, tapi juga penasaran. Ia menekan bibirnya, menahan diri agar tidak terlihat terlalu jelas.
“Cheese!” teriak panitia, dan kamera pun menyorot mereka semua.
Semua tertawa, tersenyum, dan berpose—momen terakhir ospek menjadi kenangan yang manis. Walau ada ketegangan kecil antara Rachel, Dion, dan Citra, hari itu terasa hangat.
Citra sadar, Dion selalu memberi perhatian kecil yang membuatnya nyaman, sementara Rachel… entah kenapa, membuat situasi menjadi lebih menegangkan tapi seru.
Setelah foto selesai, mereka saling menepuk bahu, tersenyum, dan berjanji untuk tetap berhubungan. Citra menatap Dion sebentar, hatinya berdebar. Ia tahu, perjalanan mereka belum berakhir—momen kecil seperti ini justru menumbuhkan perasaan yang lebih dalam.
Di sisi lain, Rachel mulai merencanakan langkah selanjutnya, masih cemburu tapi juga penasaran. Konflik romansa antara Dion, Citra, dan Rachel semakin terasa—campuran perhatian, cemburu, dan ketegangan ringan yang membuat cerita tetap seru.
Setelah sesi foto selesai, para peserta ospek mulai bersiap pulang. Citra berjalan santai di halaman sekolah sambil menyesuaikan tasnya. Kiara dan Afifah berjalan di sampingnya, masih saling bercanda.
Di sisi lain, Dion berjalan sedikit di belakang, matanya diam-diam selalu memperhatikan Citra. Ia tersenyum tipis saat melihat gadis itu tertawa kecil bersama teman-temannya.
Rachel berdiri di dekat gerbang sekolah, menatap mereka dari jauh. Matanya menyala cemburu, tapi juga ada kilau tekad.
“Hm… kalo Dion bisa perhatian banget sama dia, gue harus bikin dia sadar siapa yang lebih penting,” gumam Rachel pelan sambil menutup jarinya di genggaman telepon.
Citra menoleh sebentar ke Dion, hatinya berdebar. “Kenapa ya… gue nggak bisa berhenti mikirin dia?” bisik Citra dalam hati sambil menatap ke jalan yang akan mereka lewati pulang.
Dion menyadari tatapan itu, dan meski Rachel terlihat mengawasi dari jauh, ia tetap fokus pada Citra. “Gue bakal jaga dia… tanpa bikin masalah sama Rachel,” gumam Dion dalam hati.
Di perjalanan pulang, Citra duduk di mobil yang diantar Pak Dirman, sementara Dion mengendarai motornya di belakang mobil, memastikan gadis itu aman sampai rumah.
Sesekali mereka saling melirik, tersenyum tipis, dan hatinya berdebar tanpa kata.
Rachel mengikuti dari motor teman-temannya, diam-diam mengamati, sambil merencanakan langkah berikutnya.
“Kalo Dion terlalu perhatian sama Citra… gue harus bikin dia inget sama gue,” pikir Rachel sambil menatap ke arah Dion dan Citra.
Momen pulang itu terasa santai tapi penuh ketegangan ringan—perasaan cemburu Rachel, perhatian Dion, dan rasa penasaran serta ketertarikan Citra.
Garis cinta segitiga itu mulai terbentuk lebih jelas, namun tetap terasa ringan dan manis, seperti permainan hati yang perlahan memanas.
Beberapa hari setelah ospek, suasana sekolah kembali normal. Citra duduk di bangku taman dekat lapangan, menatap langit sore sambil menahan senyum tipis.
Matanya tak lepas dari ponselnya, memikirkan Dion dan perhatian kecilnya belakangan ini.
Di sisi lain, Rachel mendekat dengan langkah pelan tapi sengaja terlihat, berpura-pura sekadar lewat. Saat Dion berjalan menuju kelas, Rachel tersenyum manis.
“Eh… Dion, lo sempet nggak buat tugas OSIS bareng gue nanti?”
Dion menatap Rachel sebentar, tersenyum tipis. “Tentu, Chel… gue bisa bantu. Lo kan temen gue dari kecil,” jawabnya, suaranya lembut tapi tetap menjaga jarak sopan.
Rachel menahan napas kecil, matanya berbinar. “Hm… iya sih… tapi jangan sampe lo terlalu perhatian sama yang lain ya,” goda Rachel sambil menyelipkan tatapan cemburu yang halus.
Citra, yang berada tidak jauh, menelan ludah. Jantungnya berdebar saat menyadari Dion masih peduli pada Rachel, tapi juga… hatinya terasa hangat saat teringat Dion selalu memperhatikannya. Ia mencoba menenangkan diri.
Dion, sadar ada ketegangan kecil itu, tersenyum tipis ke arah Citra tanpa menyinggung Rachel. Ia berjalan pelan ke bangku taman tempat Citra duduk.
“Cit… tadi di kelas lo baik-baik aja kan? Nggak ada masalah?” tanyanya sambil menatap gadis itu dengan perhatian.
Citra menatap Dion, pipinya memerah sedikit. “Iya… gue baik-baik aja, Kak. Makasih ya,” jawabnya, hatinya berdebar.
Rachel melihat interaksi itu dari jauh, lalu menghela napas pelan. “Hm… harus ada strategi lain kalau mau Dion inget sama gue,” gumamnya sambil menatap mereka, matanya menyala penuh tekad.
Sementara itu, Citra tersenyum tipis dalam hati. Ia mulai menyadari perasaannya sendiri—Dion membuatnya nyaman, tapi hatinya juga terasa campur aduk karena kehadiran Rachel.
Garis cinta segitiga itu semakin jelas, penuh ketegangan ringan tapi manis, seperti permainan hati yang perlahan memanas.
Hari itu, sekolah sudah hampir kosong. Citra berdiri di depan gerbang, menunggu motor Raka yang akan menjemputnya. Sesaat kemudian, Raka melaju dengan santai, tersenyum saat melihat Citra.
“Halo, Cit… siap pulang?” sapa Raka ramah sambil menepi.
Citra tersenyum tipis, menyesuaikan tas di pundaknya.
“Siap… makasih ya, Rak. Gue capek juga hari ini,” jawabnya, sedikit tersipu.
Di sisi lain, Dion yang kebetulan baru saja menyelesaikan urusannya di sekolah menatap mereka dari jauh.
Matanya diam-diam memperhatikan Citra, sedikit cemburu tapi tetap tenang. Ia tahu Raka memang teman yang protektif, tapi hatinya tetap ingin memastikan Citra aman.
Saat Citra naik ke motor Raka, ia sedikit menoleh ke arah Dion.
“Eh… Kak Dion… makasih juga ya tadi udah nanya ke gue di kelas,” ucapnya pelan, jantungnya berdebar.
Dion tersenyum tipis, menunduk sebentar. “Santai aja, Cit… gue cuma pengen lo baik-baik aja.”
Rachel, yang tiba-tiba muncul di ujung gang sambil menunggu Dion, menatap Citra dan Raka dengan mata berbinar cemburu.
“Hm… si Citra emang selalu bikin Dion perhatian,” gumam Rachel sambil menahan napas, merencanakan langkah berikutnya.
Di motor, Citra menatap jalan sambil menahan senyum kecil. “Hm… Rasanya punya dua bodyguard sekarang—Dion dan Raka,” bisiknya dalam hati.
Ia merasa aman, tapi juga campur aduk antara rasa senang, malu, dan penasaran tentang perasaan Dion.
“Tenang aja, Cit… gue bakal pastiin lo sampai rumah aman. Nggak ada yang gangguin.” Raka tersenyum ringan, menoleh ke Citra sebentar.
Citra mengangguk, pipinya sedikit memerah. Di jauh sana, Dion tetap menatap mereka dari jauh, hatinya sedikit cemburu tapi juga lega karena tahu Citra aman.
Sementara Rachel… matanya berbinar, sudah mulai menyusun strategi agar bisa menarik perhatian Dion lebih lagi.
*
*
*
*