Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Di Pojok Bar.
Lampu redup menari di langit-langit ruangan yang dipenuhi dentuman musik dan suara gelas bersentuhan. Namun tidak ada satu pun di antara itu yang mampu menembus keheningan dalam kepala Dewa.
Ia duduk di pojok bar, jauh dari panggung dan keramaian, mengenakan kemeja kerja yang kusut di bagian lengan. Jasnya terlipat sembarangan di kursi sebelah, dasinya tergantung longgar seolah lupa dilepas.
Jari-jari tangannya menggenggam gelas berisi cairan bening yang sejak sepuluh menit lalu tidak berubah tinggi. Ia tidak benar-benar meminumnya. Hanya memutar-mutar es batu yang kini mulai mencair, menghasilkan bunyi kecil yang entah mengganggu atau menenangkan.
Di sela-sela dua jari, sebatang rokok menyala lambat. Asapnya melayang pelan, menari seperti pikirannya yang berantakan.
Ia terlihat seperti seseorang yang sedang kehilangan.
Tapi bukan kehilangan sesuatu yang bisa dicari.
Lebih dari itu—seperti sedang kehilangan arah.
Seperti seseorang yang sedang mencoba kuat, tetapi tak tahu lagi apa gunanya.
Di balik matanya, ada pertanyaan yang tak pernah ia ucapkan.
Ada sebuah kesedihan di sana, Kehilangan dan sebuah harapan yang hancur selamanya, begitu saja.
Dewa meneguk isi gelas itu seketika, kemudian membuka ponselnya. Terlihat di sana ada satu panggilan dari ibunya dan sebuah pesan dari Saka.
Saka Sinting 1
[Dewa, Kau dimana?]
Setelah pesan itu di buka, berderet pesan lainnya langsung muncul di room chat yang sama.
[Aku dan Kai mencarimu, apa kau di rumah?]
[Ketik 1 jika kau berada di rumah]
[Ketik 2 jika kau masih keluyuran di luar rumah tidak tentu arah.]
[Dewa! Aku tau kau sudah membaca pesanku! Segera balas atau aku bom dunia ini.]
[Jangan acuhkan aku seperti kau mengacuhkan istrimu!]
Dewa meletakkan ponselnya ke atas meja, enggan membaca pesan yang terus di kirimkan oleh Saka. Membaca pesan terakhir darinya membuat Dewa semakin tidak karuan.
Seketika dia teringat akan Nadira. Bukan tentang pernikahan mereka, bukan tentang makanan Nadira yang tidak pernah Dewa sentuh. Tapi tentang satu malam, Satu malam yang gelap, basah dan menakutkan.
Seseorang wanita meringkuk menangis diatas kasur, memeluk dirinya sendiri. Saat itu hati Dewa terasa sakit. Sakit karena menyadari bahwa Nadira sangat ketakukan di dalam sana.
Seketika dia teringat, tangannya yang besar tiba tiba saja menarik kepala Nadira ke dadanya. Kemudian memeluk wanita itu semalaman. Tidak ada rasa cinta, tidak ada rasa sayang. Hanya saja. Dewa memahami ketakutan Nadira.
Dewa mengeraskan rahangnya, menatap ke depan sana, sedikit kesal.
Untuk apa semua itu- Gumamnya.
Kemudian Ponsel di atas meja bar itu kembali berbunyi, sebuah notifikasi. Dewa membukanya dan menebak itu pasti pesan konyol lainnya dari Saka. Namun ketika dia lihat pesan itu dari Kai. matanya langsung terbelalak.
Tanpa menunggu, ia bangkit. Membayar diam-diam, lalu pergi.
......................
Aku mendengar napas Hans dari seberang. Tenang, lembut, dan terasa dekat.
Malam semakin larut, dan suara serangga dari luar sana sesekali menyelinap masuk ke telingaku. Tapi yang paling jelas adalah suara Hans—satu-satunya suara yang membuatku merasa… tidak sendirian.
“Apakah kamu masih di balkon?” tanyanya.
Aku mengangguk kecil, meski tahu ia tak bisa melihat. “Iya."
"Bagaimana jika dia tidak pulang? Apakah kamu akan terus menunggu?" Tanya Hans.
Lagi lagi, pertanyaan yang tidak bisa aku jawab dengan pasti. Dari pernikahan ini aku menyadari, bahwa ketidakpastian itu menyakitkan.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu