"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Lorong pondok putri masih terasa lengang, meski jam belajar malam sudah usai. Lampu-lampu neon di koridor berkelip lemah, sesekali memunculkan bayangan samar di dinding kayu yang usang. Dari balik jendela, suara jangkrik bersahut-sahutan, menjadi satu-satunya nyanyian malam yang terdengar alami di tengah bisikan-bisikan fitnah yang mulai menjerat satu nama, Dilara.
Santri-santri berjalan dengan langkah ringan, tapi telinga mereka penuh desas-desus. Ada yang berpura-pura tidak peduli, ada yang dengan sengaja mempercepat langkah agar bisa bergabung dalam lingkaran bisik-bisik yang tersebar di banyak sudut pondok. Nama “Dilara” malam itu terasa lebih berat daripada kitab kuning yang mereka pelajari setiap hari.
Dilara masih bersimpuh di atas sajadahnya. Tubuhnya yang mungil tampak ringkih, seakan bisa patah hanya karena beban kata-kata yang menumpuk di dadanya. Air matanya tak kunjung berhenti, meski ia sudah menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Ya Allah… ampuni aku,” suaranya hampir tak terdengar, hanya gumaman di sela-sela isak. “Jika kehadiranku membawa celaka, maka ambillah aku dari sini. Aku tidak sanggup lagi menanggung semua tuduhan ini.”
Suara itu bergetar, menembus dinginnya malam.
Namun, ia tidak tahu bahwa dari balik pintu mushala, sepasang mata tengah mengawasinya. Ning Lydia berdiri tegak, dengan kerudung tipis yang membalut kepalanya, wajahnya kaku seperti batu. Matanya menyala-nyala, penuh bara kebencian.
“Bagus,” bisiknya lirih, senyumnya miring. “Semakin kau lemah, semakin mudah aku menjatuhkanmu.”
Lydia tidak masuk. Ia sengaja membiarkan Dilara larut dalam tangis, menikmati pemandangan itu layaknya seorang penonton yang puas menyaksikan musuhnya kalah sebelum peperangan benar-benar dimulai.
Keesokan harinya, pondok seperti kehilangan keseimbangannya. Ustadz-ustadz muda saling berbisik, beberapa santri sengaja menyisihkan diri dari Dilara saat berpapasan di koridor. Tatapan mereka bukan lagi sekadar rasa ingin tahu, melainkan pandangan merendahkan—seolah-olah aib keluarga Dilara sudah menjadi hukum pasti.
“Katanya pamannya pedagang bangkrut, ya?” bisik seorang santri di perpustakaan.
“Bukan cuma itu, aku dengar pamannya sering berhutang ke lintah darat,” jawab yang lain, nadanya dibuat rendah, tapi penuh semangat menyebarkan kabar.
“Na’udzubillah, pantas saja Kyai marah. Mana mungkin anak pondok sebesar ini dinikahkan dengan darah semacam itu.”
Kalimat itu menancap seperti pisau di telinga Dilara. Ia sedang duduk di pojok perpustakaan, pura-pura membaca kitab Fathul Qarib, tapi telinganya jelas menangkap setiap kata. Tangannya gemetar, huruf-huruf arab di kitab seolah menari kabur, tak bisa ia baca lagi.
Salsa yang duduk di sebelahnya meraih tangannya pelan. “Sudahlah, jangan hiraukan mereka.”
Tapi Dilara hanya menunduk, bibirnya bergetar. “Bagaimana bisa aku tidak peduli, Salsa? Mereka semua membicarakan keluargaku seolah aku membawa aib besar ke pondok ini.”
Di ndalem, Ustadz Yusuf tampak tenang, duduk bersila dengan segelas teh panas. Lydia duduk di sampingnya, wajahnya tampak lebih segar setelah mendengar kabar yang menyebar semakin liar.
“Ayah,” katanya sambil tersenyum puas, “lihatlah, kabar itu sudah sampai ke telinga hampir semua santri. Mereka mulai menjauh dari Dilara. Tidak ada yang mau dekat dengan anak pedagang kecil sepertinya.”
Ustadz Yusuf mengangguk pelan. “Begitulah manusia, Nak. Sekali kabar dilemparkan, ia tumbuh dengan sendirinya. Kita hanya perlu mengarahkan sedikit, maka ia akan menjadi badai yang tak bisa dihentikan.”
Lydia menggenggam cangkirnya erat-erat, senyum puas tak bisa disembunyikan. “Tapi ini belum cukup. Aku ingin dia sendiri yang menyerah. Aku ingin dia yang keluar dari pondok dengan kehinaan. Itu baru adil.”
“Bersabarlah, Lydia,” sahut Yusuf. “Fitnah yang matang tidak hanya menjatuhkan, tapi menghancurkan akar. Biarkan kabar itu menggerogoti hatinya sedikit demi sedikit. Sampai saatnya tiba, ia sendiri yang akan memohon untuk pergi.”
Namun, tidak semua orang terpengaruh. Di serambi mushala, Ustadz Rahman duduk bersama beberapa ustadz muda yang resah. Wajahnya serius, janggut putihnya bergoyang setiap kali ia menggeleng.
“Kalian tidak sadar? Fitnah ini terlalu cepat menyebar. Seakan ada yang sengaja meniupkan api di baliknya,” ujarnya tegas.
“Tapi, Ustadz…” salah seorang santri senior memberanikan diri. “Bukankah memang benar pamannya hanya pedagang kecil? Apa itu tidak memalukan bagi pondok sebesar ini?”
Rahman menatapnya tajam. “Memalukan? Dari mana kalian belajar ukuran kemuliaan ditentukan oleh harta dan darah? Bukankah kita selalu diajarkan, kemuliaan hanya ada pada taqwa? Rasulullah pun bukan dari keluarga bangsawan Quraisy yang kaya raya, tapi akhlaknya yang menjulang tinggi.”
Ruangan mendadak hening. Para ustadz muda menunduk, merasa tertampar.
“Kalau kalian ikut menyebarkan fitnah ini,” lanjut ustadz Rahman, “kalian sama saja menjadi pembunuh bagi seorang santri yang tak berdaya. Ingat, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.”
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam, tapi apakah cukup kuat untuk menghentikan arus fitnah yang sudah telanjur deras?
Malam kembali turun. Mushala kecil menjadi saksi bisu tangisan Dilara yang tak kunjung kering. Ia merasa semakin terpojok.
“Ya Allah… kalau aku tetap di sini, aku hanya akan membawa malu bagi Gus Zizan. Aku tidak ingin menjadi alasan pondok ini pecah. Aku tidak ingin nama Kyai Zainal semakin hancur karena diriku.”
Tangisnya pecah. Tubuhnya terkulai di atas sajadah, seperti daun kering yang diterpa badai.
Salsa masuk pelan, duduk di sampingnya. “Lara, dengarkan aku. Kau tidak bersalah. Kau tidak perlu pergi. Bertahanlah. Kalau kau pergi sekarang, itu artinya kau membiarkan mereka menang.”
“Tapi, Salsa…” suara Dilara pecah. “Aku tidak sekuat itu. Aku tidak terbiasa menghadapi kebencian sebesar ini.”
Salsa menggenggam tangannya. “Kalau kau menyerah, bagaimana dengan Gus Zizan? Kau pikir dia rela kehilangan segalanya hanya untuk melihatmu menyerah? Tidak, Lara. Dia berjuang karena yakin pada cintanya padamu. Kau harus yakin juga.”
Dilara menatap sahabatnya, tapi air mata masih mengalir deras.
Di kamar Lydia, suara tawa kecil terdengar saat salah seorang santri yang dekat dengannya beberapa hari ini membawa kabar baru.
“Ning, tadi aku dengar beberapa ustadz muda mulai ragu. Mereka bilang, tidak pantas membicarakan keluarga orang lain tanpa bukti kuat.”
Lydia mendengus, wajahnya dingin. “Ragu? Itu hanya soal waktu. Fitnah sudah berjalan, dan sekali api menyala, sulit dipadamkan. Aku hanya perlu satu kabar lagi, sesuatu yang lebih menusuk. Sesuatu yang membuat Dilara sendiri malu untuk menatap dunia.”
Santri itu bertanya hati-hati, “Maksud Ning?”
“Cari siapa pun di kampungnya yang bisa bicara buruk tentangnya. Paman, bibi, tetangga—siapa saja. Bawakan cerita apapun. Tidak peduli benar atau tidak. Yang penting cukup tajam untuk menusuk.”
Santri itu menunduk patuh. “Baik, Ning.”
Senyum dingin Lydia mengembang. “Ini baru permulaan. Dilara akan hancur bukan karena aku mendorongnya, tapi karena seluruh pondok menolaknya.”
Di sisi lain, Ustadz Rahman tidak tinggal diam. Ia mulai mencari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan kabar tentang keluarga Dilara. Jalurnya tercium, mengarah pada Karim, santri senior yang pernah disuruh pergi ke kampung Dilara.
Rahman mencurigai ada tangan yang menggerakkan Karim. Dan ia tahu, hanya ada satu nama yang cukup berkuasa untuk mengatur itu semua: Ustadz Yusuf, ayah Ning Lydia.
“Jika benar ustadz Yusuf yang menebar api ini,” pikir ustadz Rahman dalam hati, “maka dia sudah sangat kelewatan."