Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Tidak Sepicik Itu
Sedetail itu dia mengingat Yudha, padahal Bima saja lupa dimana letak tahi lalat saudaranya. Bima terdiam seketika, sama sekali dia tidak menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini. Sebelum masuk dia memang berpikir tentang jawaban andai ditanya alasannya pulang terlambat, itupun dia jawab jujur dan sama sekali tidak mengelak.
"Tapi aku suka ... mas tidak terlihat seperti perempuan. Akhirnya nurut juga, jadi harus nunggu aku koma dulu ya baru dikabulin permintaannya."
Sejak tadi jantungnya seakan diuji, kini lega seketika usai mendengar ucapan Lengkara. Wanita itu suka, sama sekali tidak menduga reaksinya akan begini. Demi Tuhan Bima seperti tengah menerima pasokan oksigen yang cukup setelah tadi sesak luar biasa.
Bima hanya menarik sudut bibir, dia menunduk dan mengalihkan pandangan. Bukan hanya karena takut, tapi dia tidak tega menatap manik indah itu. Sementara Lengkara kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Bima. Jika dia tahu kenyataannya, apa mungkin Lengkara akan begini? Rasanya tidak.
Cukup lama dia bertahan di posisi itu, Bima sama sekali tidak menghentikannya. Tidak juga meminta Lengkara menjauh, seperti yang Yudha katakan, jangan pernah membuatnya merasa diabaikan.
"Mas, makan ... aku lapar."
Dia tidak minta dibujuk, padahal beberapa saat lalu Mikhail meminta Bima membujuknya karena wanita itu mogok makan. Entah karena Lengkara sedang jinak atau memang lapar, yang jelas dia tidak mencari perkara malam ini.
"Ssshhh aaww!! Sa-sakit, Kara."
Baru juga dipuji, Bima meringis kala merasakan sakit di lehernya. Terlalu lama berpikir agaknya membuat Lengkara tak sabar hingga menjadikan leher Bima sebagai sasaran. Jangan ditanya bagiamana rasanya, jelas saja sakit.
"Jawab makanya, bengong terus ... Mas mikirin apa? Ibu ya?"
"Yudha ... dan kamu sendiri."
Jawaban itu hanya dia lontarkan dalam benaknya. Saat ini mana mungkin dia ungkapkan, Lengkara baru perlahan membaik dan Yudha memohon agar Bima mempertimbangkan soal waktu.
"Ah aku tahu, pasti mikirin gaji ya? Nanti aku akan bicara sama kak Zean biar gajimu naik tiga kali lipat."
Lebih dari itu bisa Bima dapatkan, tapi yang dia pikirkan lebih runyam dari sekadar uang. Belum sempat menjawab, Lengkara beranjak dan menarik pergelangan tangannya.
"Diajak makan saja susah, Mas ... bagaimana kalau diajak yang lain," gerutu Lengkara memutar bola matanya malas. Wanita itu berlalu lebih dulu, tapi tangannya tetap saja menggenggam pergelangan tangan Bima seerat itu.
Dia yang dipinta membujuk, tapi justru berbalik dibujuk. Bahkan tiba di ruang makan, Bima yang terkejut karena dipaksa duduk dan Lengakara menekan bahunya agar tidak banyak bicara.
"Coba, aku tadi belajar masak sama Mama ... mas pasti suka."
Kemana kemarahannya tadi pagi, kenapa justru berganti dengan kehangatan semacam ini? Sejak tadi Bima dibuat bungkam dengan Lengkara yang menyiapkan makanan di piringnya. Kini, dia semakin dibuat terpaku lagi kala Lengkara membahas perihal usahanya.
Tanpa Bima ketahui, jika sang istri pulang ke rumah orang tuanya tadi pagi bukan semata-mata untuk meluapkan amarah dan emosi. Kemungkinan dia menenangkan diri, dugaannya salah besar yang mengira bahwa Lengkara menggila selama di sini.
"Kenapa ragu? Aku bisa masak, Mas ... atau mau aku suapin?"
Apapun, Lengkara hanya mencoba melakukan tugasnya sebagai istri. Sejak awal niatnya sudah jelas untuk melunakkan hati sang suami yang akhir-akhir ini sedikit berbeda. Pikiran Lengkara tidak sepicik itu, sedikit banyak dia pahami kehidupan pernikahan memang tidak semanis pacaran.
Mungkin ada beberapa hal yang membuat pria itu berubah, terlebih lagi jika sudah berkaitan dengan ibunya. Ya, sebisa mungkin Lengkara masih berpikir positif, mungkin pendapat Ameera ada benarnya, dan perihal semalam Lengkara menganggap semua demi kebaikannya.
"Tidak, Ra ... kamu juga harus makan, dokter bilang kamu tidak boleh telat makan sebenarnya."
"Ya makanya jangan seperti tadi, aku kan badmood!!" Dia mencebik, sebenarnya jika menuruti ego dia ingin sekali membahas hal itu sampai besok pagi, tapi mana mungkin akan terus-terusan begitu.
"Maaf, aku tidak sengaja," jawab Bima seadanya dan itu memang fakta, dia tidak sengaja.
"Dimaafin," ucap Lengkara mengulas senyum, begitu jelas di mata Bima hingga pria itu membalas jua tanpa dia rencanakan.
Usai masalah Lengkara, tiba saatnya Bima menghadapi masalahnya sendiri. Hendak bagaimana dia menolak, dia juga tidak tahu apa Yudha dan dirinya memiliki masalah yang sama. Alergi daging merah, hal itu sebenarnya yang membuat dia ragu untuk mulai menyantap masakan istrinya.
"Perlakukan dia dengan baik."
Bima menatap ke arah Lengkara yang seolah terus menunggu penilaiannya. Tidak ada pilihan lain, Bima menepis ketakutan tentang alergi atau semacamnya. Bukankah kalau sedikit tidak masalah? Ya, begitulah yang dia pikirkan malam ini.
"Gimana? Enak, 'kan?"
"Iya, enak."
Dapat Bima lihat secerah apa senyum Lengkara usai mendengar jawabannya. Bahkan wanita itu seolah baru bisa bernapas lega dan mulai menikmati makan malam bersamanya.
"Bersahabatlah wahai diri, kali ini saja," batin Bima yang mulai melonggarkan dasi lantaran was-was dan mendadak gugup seketika.
.
.
- To Be Continued -