"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Butuh Sandaran
Jessy tertegun di depan meja rias. Seorang wanita suruhan Madame Giselle tengah mendandaninya agar tampil cantik. Gaun berwarna merah yang se ksi dan menerawang telah membalut tubuhnya.
Seluruh tubuh Jessy sudah dibersihkan ketika dimandikan, juga diberi wewangian. Bahkan rambut-rambut yang dianggap mengganggu telah dihilangkan. Ia seperti wanita persembahan yang akan diberikan kepada orang penting. Segalanya harus sempurna.
Jessy tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan Madame Giselle. Ia memang tidak pernah ada bayangan menjadi seorang wanita penghibur. Namun, ia lebih takut lagi untuk mati. Melihat pisau saja ia sudah merasa ngilu apalagi kalau sampai pisau itu ditusukkan padanya.
Sekarang, ia baru merasakan beratnya hidup sendiri tanpa seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Ia berpikir lebih baik menjadi seperti Fika yang hidupnya berkecukupan dan sangat disayang oleh Leon.
Kemalangan yang Jessy alami di London sangat sempurna. Pulang nanti ke tanah air, ia akan menghadapi kembali realita bahwa dirinya akan dikeluarkan dari kampus karena tidak membayar uang kuliah. Juga melihat kondisi Nino yang semakin memburuk akibat kesulitan dana pengobatan.
"Jessy Sayang, kamu sangat cantik," puji Madame Giselle yang merasa puas melihat penampilan Jessy.
"Kamu tidak perlu tegang, santai saja. Lelaki yang akan tidur denganmu malam ini seorang pengusaha kaya. Kalau kamu bisa menyenangkannya, dia tidak akan segan memberikanmu banyak hadiah, Sayang. Berikan pelayanan terbaikmu malam itu. Menggoda lelaki itu tidak sulit."
Jessy hanya terdiam memendam kesedihan dan rasa takutnya yang semakin menjadi-jadi.
"Nanti, Madame akan mengantarkanmu ke kamarnya. Jika lelaki itu belum ada, tunggulah di atas ranjang. Jangan membuat kesalahan sekecil apapun, mengerti?" tanya Madame.
Jessy mengangguk lemah.
Madame Giselle menuntun Jessy ke kamarnya. Ada banyak pasang mata yang memandang ketika mereka berjalan. Kebanyakan bertanya-tanya siapa wanita baru yang Madame bawa. Sisanya merasa iri karena bukan mereka wanita terpilih untuk menemani orang penting itu malam ini.
"Masuklah!" pinta Madame saat mereka sampai di kamar bernomor 303. "Kamu tidak bisa macam-macam karena mereka berdua akan berjaga di depan," katanya sembari menunjuk ke arah dua anak buahnya.
Jessy perlahan masuk ke dalam kamar. Pintu ruangan ditutup dari luar dan dikunci.
Kamar itu beraroma wangi dan tertata rapi. Jessy tidak melihat siapapun ada di sana. Seperti yang Madame Giselle katakan, ia mendekat ke arah ranjang lalu naik ke atasnya.
Jessy memainkan sendiri jemarinya untuk mengurangi rasa gugup. Ia sudah tidak bisa kabur lagi.
Klek!
Pintu kamar mandi terbuka. Jessy semakin takut bahwa sebentar lagi ia akan menghabiskan malam dengan orang asing yang tidak dikenalnya.
Jessy menunduk, tak berani melihat sosok lelaki yang akan menidurinya. Langkah demi langkah yang terdengar semakin mempercepat debaran jantungnya.
"Oh, kamu sudah datang," sapa lelaki itu.
Jessy seperti mengenal suara lelaki itu. Ia memberanikan diri mengangkat kepala. Betapa terkejutnya saat melihat sosok lelaki itu.
"Bapak Mark," lirihnya tak percaya.
"Jessy?" Mark ikut tertegun melihat wanita yang tengah duduk di ranjang miliknya. Ia berhenti mengusap rambut basahnya dengan handuk saat melihat wanita yang pernah ditolongnya ada di sana.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Mark penasaran. Apalagi melihat dandanan serta pakaian yang Jessy kenakan benar-benar menggoda dirinya sebagai seorang lelaki normal.
Jessy tidak menjawab. Ia justru memeluk Mark yang menghampirinya di ranjang. Tangisnya pecah kala memeluk Mark.
Jessy tak bisa berucap. Ia terlalu takut menghadapi malam ini. Hanya lewat tangisan ia mengungkapkan ketakutannya itu.
Mark memberi waktu pada wanita muda itu untuk menenangkan diri. Ia menepuk-nepuk punggung Jessy sembari mendengarkan isakannya.
"Coba ceritakan, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Mark setelah wanita itu menjadi sedikit lebih tenang.
"Aku diculik pak," ucapnya lirih.
"Apa? Kamu diculik?" tanya Mark kaget.
Jessy mengangguk.
Mark memegangi tangan Jessy yang masih tampak gemetar. "Sudahlah, jangan takut lagi," katanya. Ia benar-benar tidak menyangka jika wanita yang dikirim untuknya adalah Jessy.
"Coba kamu atur napas lagi, tenangkan dirimu. Ada aku di sini, kamu tidak perlu khawatir lagi," kata Mark menenangkan.
Kalau saja wanita yang dipersiapkan untuknya bukan Jessy, mungkin Mark sudah bercinta dengan wanita itu. Ia heran mengapa wanita yang diberikan padanya harus Jessy, jelas sekali kalau dia masih sangat muda. Apalagi Jessy terlihat begitu ketakutan. Tidak mungkin wanita itu datang ke sana atas keinginannya sendiri.
"Siapa yang menculikmu?" tanya Mark.
"Anak buah Madame Giselle. Sekarang mereka ada di depan pintu menunggu," jawab Jessy.
"Kamu terlalu ceroboh sampai bisa diculik padahal sudah besar, Jessy ... Aku sudah mengingatkanmu untuk hati-hati di negara ini," kata Mark.
"Aku sudah hati-hati, Pak. Aku hanya keluar di sekitar hotel, tapi mereka menculik dan membawaku kemari."
Mark menghela napas. Ia kesulitan menahan dirinya sementara wanita di hadapannya butuh ditenangkan.
"Jadi, kamu di suruh masuk ke sini untuk melayaniku?" tanya Mark.
Jessy mengangguk.
"Kalau memang ini bukan kemauanmu, pergilah dari sini. Aku yang akan berbicara dengan Madame Giselle." Mark berbaik hati melepaskan Jessy. Menurutnya, Jessy terlalu muda untuk dirinya.
Jessy menggeleng. "Mereka akan membunuhku kalau tidak melayani Bapak dengan baik." ia masih takut dengan ancaman Madame Giselle. Apalagi mereka sempat mengambil fotonya dengan pakaian yang minim tersebut.
"Tidak, aku jamin kamu akan baik-baik saja. Mereka tidak akan berani menyakitimu, Jessy."
"Madame bilang akan menyebarkan fotoku sampai ke tanah air. Aku takut, Pak." Jessy masih tidak bisa yakin kepada Mark.
"Kalau sampai dia berani melakukannya, aku akan menghancurkan usahanya ini. Sudahlah Jessy, percaya saja padaku. Kamu bisa pergi dengan aman sekarang juga."
Mark ingin Jessy segera keluar dari ruangannya. Ia benar-benar sudah ingin bersenang-senang. Ia takut akan menerkam wanita yang sedang ketakutan di hadapannya.
Jessy terdiam di tempatnya seakan tak mau mendengarkan perkataan Mark.
"Jessy, get out!" perintah Mark. Jessy masih tak mengindahkannya. "Aku menghabiskan banyak uang memang untuk mendapatkan teman wanita malam ini. Kalau kamu masih tetap mau di sini, aku benar-benar akan menidurimu," kata Mark dengan gamblang. Ia tak merasa malu diketahui tujuannya berada di sana. Ia berharap Jessy segera pergi dari hadapannya.
"Jessy ...." panggil Mark lagi.
Wanita itu masih saja terdiam meskipun Mark sudah memberikan ultimatum. Seakan Jessy sedang memikirkan sesuatu secara dalam-dalam.
"Bukankah Bapak sudah berkeluarga?" kata Jessy tiba-tiba.
Mark mengernyitkan dahi. "Ya, aku memang sudah menikah dan memiliki anak," katanya lantang. "Memangnya kenapa?"
"Apa Bapak tidak merasa bersalah dengan keluarga Bapak?" tanya Jessy lagi.
realistis dunk