Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Harum duduk resah menatap layar televisi. Meskipun pandangannya tertuju pada layar, namun hati dan pikirannya sama sekali tidak menyimak acara komedi yang tengah digemari masyarakat tersebut.
Boro-boro mau tertawa, yang ada malah gundah gulana.
Berkali-kali gadis berwajah ayu itu melempar pandang pada penunjuk waktu yang tergantung pada dinding di atas televisi.
Sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit, namun seseorang yang ditunggunya belum juga pulang.
Biasanya Hangga pulang saat Harum tengah salat Magrib atau selesai salat Magrib. Paling terlambat adalah ba’da isya sekitar pukul delapan malam.
Harum meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa, tepat di samping ia duduk. Memandangi ponsel, ia
berpikir untuk menghubungi sang suami, tetapi tidak memiliki nomornya. Mau meminta nomor Hangga pada sang mertua, sama saja membuka borok pernikahannya.
Pasti mertuanya itu akan bertanya, mengapa bisa seorang istri tidak mengetahui nomor ponsel suaminya?
Ia akan menjawab apa nanti.
Sedangkan Harum meyakini harapan sang mertua pada pernikahannya teramat besar.
Lalu, bagaimana harapan Harum atas pernikahannya?
Entah.
Yang jelas ia akan berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan hati Hangga.
Bukankah banyak kisah pernikahan karena perjodohan yang berujung bahagia seperti kisah novel online yang sering dibacanya. Semoga kisah pernikahannya pun akan seperti itu endingnya. Begitu harapan Harum dalam hati.
Harum bangun dari duduknya saat lamat-lamat terdengar deru mobil. Menyambar jilbab instan yang tersampir di badan sofa, Harum lekas mengayun langkahnya menuju pintu depan.
Rasa sakit akibat keseleo tadi siang sudah membaik, tinggal sedikit saja sakitnya. Pulang dari warung tadi, Harum lekas mengompres kaki yang keseleo dengan es. Kemudian sore harinya, Bu RT yang baik hati itu mengantarnya ke tukang urut langganannya.
Kata Bu RT, sebelum semakin parah, lebih baik segera diurut.
Harum menurut saja. Meskipun ia yakin, dokter pasti tidak menganjurkan langkah tersebut.
Sampai di pintu utama, Harum menyibak sedikit gorden. Hatinya merasa lega sekaligus senang tatkala melihat mobil SUV warna putih milik Hangga sampai di depan rumah.
Harum lekas membuka pintu dan berlari kecil menuju pagar carport yang belum terkunci. Hangga yang hendak turun untuk membuka pagar, membatalkan niatnya karena Harum lebih dulu membuka pagar untuknya. Setelah mobil Hangga terparkir sempurna di carport, Harum mengunci pagarnya.
“Kenapa belum tidur?!” tanya Hangga setelah turun dari mobil. Terdengar seperti bukan sebuah pertanyaan, melainkan omelan.
“Nunggu Mas Hangga,” jawab Harum.
Ia lekas meraih punggung tangan sang suami dan menciumnya. Meskipun sepertinya Hangga enggan untuk diperlakukan seperti itu oleh Harum.
“Lain kali tidak usah menunggu saya. Saya bisa buka pagar sendiri!” ketus Hangga yang memakai kemeja biru tanpa dasi dengan lengan kemeja digulung hingga siku.
Tentu saja penampilannya sangat tampan, meskipun aura kelelahan tampak di wajahnya yang selalu menawan di mata Harum.
“Biar saya bawakan tasnya, Mas,” tawar Harum. Ia memilih untuk tidak menanggapi ucapan Hangga sebelumnya.
“Tidak usah. Terima kasih.” Hangga melenggang masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Harum.
Ada sedikit rasa kecewa menyelinap di relung hati Harum lantaran sikap Hangga tidak semanis pagi tadi.
Harum menarik napas, mengisi udara pada rongga dada untuk mengurai rasa kecewanya. Setelahnya ia mengekor langkah di belakang suaminya.
“Mas Hangga belum makan ‘kan?” tanya Harum saat Hangga hendak naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Hangga menghentikan langkah dan menoleh ke arah perempuan yang memakai gamis rumahan motif bunga tulip warna ungu dan jilbab warna senada. “Saya sudah makan,” sahutnya.
Pria yang wajahnya mulai ditumbuhi berewok tipis itu terdiam sejenak karena teringat pesan yang dikirim Bu Mirna tentang soto. Akan tetapi, ia memilih untuk melanjutkan langkah menuju kamar.
Harum melangkah gontai menuju meja makan. Menarik kursi, lalu menghempaskan bokong di atasnya.
Matanya menatap nanar panci soto di atas kompor. Dadanya mendadak sesak. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk memasak makanan kesukaan Hangga itu.
Soto Surabaya buatan Harum itu belum disantapnya sama sekali. Ia hanya membuatkan dua mangkok soto untuk Bu RT dan Ebah—ART sebelah rumahnya.
Siang tadi, Harum hanya memakan roti. Maka sejak magrib tadi ia sudah sangat kelaparan. Namun, ia memilih untuk menahan rasa lapar demi bisa makan malam bersama sang suami. Mengabaikan cacing di perutnya yang uring-uringan sedari tadi.
“Kamu belum makan?” tanya Hangga yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Harum. Pria itu belum mengganti baju, masih memakai pakaian yang sama saat pulang tadi.
“Kalau belum makan, makan saja. Bisa sakit kalau kamu tidak makan,” ujar Hangga lagi, sebelum Harum menjawab pertanyaannya.
Harum sudah berbunga-bunga mendengar ucapan Hangga yang terakhir. Apakah itu artinya Hangga mengkhawatirkannya? Sepeduli itukah Hangga kepadanya?
“Kalau kamu sakit, ibu pasti akan mengomeli saya,” sambung Hangga.
Bunga-bunga di hati Harum langsung kuncup seketika mendengar kelanjutan ucapan Hangga yang tengah melangkah menuju kulkas. Pria pujaannya itu bukan mengkhawatirkan dirinya, melainkan khawatir diomeli ibunya.
Membuka lemari es, Hangga mengeluarkan botol berisi air putih dingin. Kemudian beranjak menuju meja makan untuk mengambil gelas. Sementara Harum yang sedari tadi memperhatikan Hangga juga berpikir untuk mengambilkan gelas buat Hangga. Sontak hal itu membuat kedua tangan mereka saling bersentuhan, sama-sama hendak mengambil gelas.
Keduanya bergeming selama beberapa saat dengan kedua tangan masih saling bersentuhan. Hangga menatap Harum, begitu pun sebaliknya. Sorot mata keduanya bertemu.
Ada desiran halus yang terasa menjalar ke hati keduanya. Setelah beberapa jenak terhipnotis dengan keadaan tersebut, akhirnya Hangga menarik tangannya. Melepaskan sentuhannya pada tangan lembut Harum.
“Ini gelasnya, Mas.” Harum berdiri, tangannya terulur menyerahkan gelas pada Hangga.
“Taruh di situ!” perintah Hangga
.
Pria itu menunjuk bibir meja di depannya dengan dagu. Harum patuh menuruti perintah Hangga.
Hangga menarik kursi, lalu duduk. Menuangkan air dingin ke dalam gelas, suami Harum itu langsung meneguknya hingga tandas.
Kelihatannya Mas Hangga haus sekali. Seperti habis pulang dari perjalanan jauh. Harum membatin.
“Kamu masak apa?” tanya Hangga usai menandaskan segelas air putih dingin.
“Saya masak soto. Mas mau coba?” lontar Harum dengan binar cerah di matanya.
“Boleh. Saya akan temani kamu makan,” sahut Hangga yang sukses membuat rekah kembali bunga-bunga di hati Harum.
“Pakai nasi, Mas?” tawar Harum.
“Tidak usah, sotonya saja.”
Harum tersenyum semringah. Hatinya senang bukan main. Perjuangannya untuk memasak hari ini rupanya tidak sia-sia. Gadis berwajah ayu itu lekas menyiapkan santapan malam ... yang terlalu malam.
Menghangatkan sebentar kuah soto dalam panci, kemudian menuangkannya pada dua mangkok yang telah diisi pelengkap soto seperti ayam suwir, bihun, kol, tomat dan daun seledri. Terakhir menambah perasan jeruk limau, emping dan menabur bawang goreng.
Aroma soto yang segar begitu membelai hidung. Ditambah perkedel dan paru sapi yang digoreng kering sebagai lauk, semakin menggugah selera. Terutama bagi Harum yang sudah menahan lapar sejak tadi.
Pasangan suami istri itu mulai menyantap hidangan malam yang terlambat. Hangga mengangguk-angguk puas setelah menikmati suapan pertamanya. Dua kali menikmati masakan sang istri, membuat Hangga dapat menyimpulkan bahwa istrinya memang jago memasak.
Jika saja Hangga belum memiliki Nata, pasti sangat mudah jatuh cinta pada gadis berparas teduh tersebut.
“Rum.” Panggilan Hangga memecah udara kebisuan di sekitar mereka. Santapan keduanya sudah tandas lebih dari separuh.
“Ya, Mas?”
“Kalau ibu tanya-tanya tentang bagaimana pernikahan kita, kamu paham ‘kan harus menjawab apa,” ujar Hangga di sela makannya.
Mendengar ucapan Hangga, Harum membatalkan suapan sendok ke mulutnya. Mulut yang terlah terbuka itu tertutup kembali. Satu sendok nasi plus potongan paru itu diletakkan kembali ke atas piring.
“Iya, Mas,” jawabnya menganggukkan kepala.
“Ibu itu sangat suka sama kamu. Dan harapannya sangat besar pada pernikahan kita ini. Berbohonglah demi ibu. Jangan membuat ibu bersedih,” kata Hangga lagi.
“Iya, Mas.” Sebenarnya tanpa dijelaskan, Harum sudah memahami apa yang ada di kepala Hangga.
“Kamu waktu itu tanya, kenapa saya enggak ambil cuti nikah.” Harum mengangguk pelan. Ia ingat pernah menanyakan hal tersebut saat dalam perjalanan menuju Tangerang bersama Hangga, sehari setelah pernikahan mereka.
“Karena saya memang tidak memberitahu teman-teman kantor saya, atasan saya, dan juga semua yang mengenal saya, kalau saya akan menikah. Tidak ada satu pun teman atau rekan kerja yang mengetahui pernikahan ini. Jadi, jika suatu hari kamu bertemu saat saya sedang bersama teman saya, kamu jangan mengaku kalau kamu istri saya ya,” tutur Hangga panjang lebar.
Enteng saja Hangga berbicara. Tanpa menyadari, ada hati yang teriris perih akan ucapannya. Beruntung Harum bukan tipikal perempuan cengeng. Meski hatinya perih bagai diiris sembilu, mata dan riak wajahnya mampu berusaha untuk tenang. “Iya, Mas,” ucapnya menahan getir.
Dengan tetap tenang, Harum melanjutkan suapan demi suapan makanannya. Meskipun ucapan Hangga membuat selera makannya menguap, melebur bersama udara, ia berusaha untuk menghabiskan makanannya.
Mubazir kalau makanannya tidak dihabiskan. Bukankah mubazir itu temannya setan. Kalau ia sudah berteman dengan setan, lalu suami seperti Hangga itu sebaiknya harus diapakan?
Saat Harum masih berusaha menandaskan makanan yang kini terasa sulit ditelan, pria beralis lebat itu berdiri lalu meninggalkan meja makan.
Harum hanya dapat memandangi kepergian Hangga tanpa berani bertanya. Namun, beberapa saat kemudian Hangga kembali ke meja makan dan duduk di tempatnya semula.
“Tangan kamu kenapa luka?” tanya Hangga yang sedari tadi memperhatikan luka di tangan Harum.
“Eh, ini. Enggak kenapa-kenapa,” jawab Harum sembari memandang luka bekas insiden jatuh siang tadi.
Kemudian Hangga merobek kertas pembungkus sesuatu yang dibawanya. Ternyata itu adalah plester luka yang tadi diambilnya dari kotak P3K.
“Kamu tutup lukanya pakai ini,” katanya seraya menyodorkan plester luka.
“Terima kasih,” ucap Harum saat menerima plester dari tangan Hangga.
Harum berusaha menempelkan plester itu pada punggung tangannya yang terluka. Namun, entah mengapa pekerjaan simpel itu tiba-tiba menjadi sangat sulit dilakukan. Entah karena grogi, gugup atau apa, ia pun tidak paham.
“Sini, saya yang pakaikan,” ujar Hangga.
Ia mengambil plester dari tangan Harum, lalu menempelkannya pada punggung tangan Harum yang terluka.
Sikap Hangga membuat Harum tergugu. Ia melirik Hangga dan tangannya yang tengah ditempeli plester bergantian.
Apa sih sesungguhnya mau kamu, hai suamiku? Baru sesaat tadi meredupkan hati, kini kau terangi lagi.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu