Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 > Pertukaran Yang Tidak Seimbang
Pesan itu masih terpampang di layar monitor ruang keamanan. KIRIMKAN GADIS ITU! ATAU KAMI YANG AKAN MENJEMPUTNYA!
Raiden Varendra berdiri membeku di depan layar, matanya tak berkedip. Setiap kata terasa seperti pisau yang menekan dadanya. Ini bukan lagi ancaman samar. Ini ultimatum.
“Aktifkan protokol merah,” perintahnya dingin.
Para petugas keamanan bergerak cepat. Pintu baja diperketat. Sistem keamanan diperbarui. Namun Raiden tahu, musuh kali ini tidak hanya menyerang dengan kekuatan, tapi juga dengan kesabaran. Dan mereka tahu apa yang paling berharga baginya.
Serene.
***
Di dalam safe room, Serene merasakan sesuatu yang aneh... seperti udara yang berubah. Jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan jelas. Ia berdiri, melangkah ke pintu, lalu berhenti. Insting seorang ibu.
Ia meletakkan tangan di perutnya, menarik napas dalam. “Ada yang tidak beres,” bisiknya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Raiden masuk dengan wajah yang terlalu tenang. Ketenangan yang justru menakutkan. “Ada apa?” Serene langsung bertanya.
Raiden menatapnya lama sebelum menjawab. “Kau harus bersiap.”
“Bersiap untuk apa?”
“Untuk kemungkinan terburuk.”
Serene menggeleng pelan. “Raiden, jangan bicara seperti itu.”
Raiden mendekat. “Mereka meminta sesuatu.”
Serene menelan ludah. “Aku.”
Raiden terdiam. Dan diamnya adalah jawaban paling kejam. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Serene dengan suara bergetar.
Raiden meraih kedua bahunya. “Aku tidak akan menyerahkanmu.”
“Tapi mereka akan datang,” Serene menatapnya lurus. “Dan jika itu terjadi, bukan hanya aku yang terancam. Anak-anak ini juga.”
Raiden mengeraskan rahangnya. “Aku punya pasukan. Aku punya kekuasaan.”
“Dan mereka punya waktu,” balas Serene lirih. “Orang-orang seperti itu tidak terburu-buru.”
Keheningan menyelimuti mereka. Untuk pertama kalinya, Raiden terlihat… kalah.
***
Sementara itu, di sebuah rumah besar bergaya kolonial di pinggir kota, Aurelia Adrian duduk santai sambil menyeruput teh. Di depannya, beberapa layar menampilkan rekaman CCTV, peta, dan data digital.
“Dia akan goyah,” ucap Aurelia tenang. “Pria seperti Raiden selalu berpikir bisa mengendalikan segalanya.”
“Apakah kita benar-benar akan menyentuh gadis itu?” tanya salah satu anak buahnya ragu.
Aurelia menoleh dengan senyum tipis. “Kita hanya perlu membuatnya percaya bahwa kita bisa.”
Ia berdiri, melangkah mendekati jendela. “Jika Raiden ingin menyelamatkan segalanya… dia harus belajar kehilangan.”
***
Malam semakin larut....
Serene duduk di tepi ranjang, memandangi tas kecil yang sempat ia siapkan untuk pergi. Kini tas itu terasa seperti simbol dari keberaniannya atau mungkin kebodohannya. Raiden berdiri di ambang pintu. “Aku akan memindahkanmu ke lokasi lain,” katanya. “Yang lebih aman.” sambung Raiden.
Serene menggeleng. “Tidak akan ada tempat yang cukup aman jika masalahnya adalah aku.”
Raiden mendekat. “Berhenti menyalahkan dirimu.”
“Aku tidak menyalahkan,” Serene menatapnya lembut namun tegas. “Aku bertanggung jawab.”
Raiden menghela napas. “Apa maksudmu?”
Serene berdiri. “Jika aku pergi… sendiri.”
“Tidak,” Raiden langsung menolak. “Aku tidak akan membiarkanmu.”
“Dengarkan aku,” Serene memegang lengan Raiden. “Jika mereka menginginkanku, dan aku muncul tanpa perlawanan, mereka tidak akan menyentuh anak-anak ini.”
“Itu asumsi yang bodoh,” suara Raiden meninggi.
“Tidak,” Serene menggeleng. “Itu logika mereka. Aku adalah alat tekan. Jika alatnya menyerah, tekanannya berhenti.”
Raiden memejamkan mata. “Aku tidak akan mempertaruhkan nyawamu.”
Serene tersenyum kecil. “Tapi kau sudah mempertaruhkan hidupku sejak kau ragu memilih.”
Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada ancaman mana pun. Raiden membuka mata. “Jika aku memilihmu sekarang?”
Serene menatapnya lama. “Apakah itu karena cinta… atau karena terdesak?”
Raiden terdiam. Dan sekali lagi, diamnya menjawab segalanya.
***
Pagi menjelang...
Serene bangun dengan keputusan yang sudah bulat. Ia menulis sepucuk surat, tangannya gemetar namun hatinya tenang.
Raiden: Jika kau membaca ini, berarti aku sudah pergi.
Aku tidak ingin menjadi alasan anak-anakku tumbuh dalam ketakutan. Jangan cari aku. Lindungi mereka, itu sudah cukup.
Ia melipat surat itu, meletakkannya di meja kecil. Dengan langkah pelan, Serene keluar dari safe room.
Ia tidak tahu bahwa setiap sudut rumah diawasi. Namun ia bersikeras untuk pergi.
***
Raiden sedang di ruang kontrol ketika alarm berbunyi lebih cepat dari biasanya. “Ada pergerakan tidak sah,” lapor petugas.
Raiden menoleh cepat ke layar. Wajah Serene muncul di monitor. Ia membeku. “Serene?” bisiknya.
Raiden berlari keluar tanpa peduli teriakan staf keamanan. Ketika ia sampai di halaman belakang, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya berhenti mengalir. Serene berdiri di dekat gerbang samping, mengenakan jaket tipis, wajahnya pucat namun tegar. “Berhenti!” teriak Raiden.
Serene menoleh. Tatapan mereka bertemu untuk terakhir kalinya, pagi itu. “Maaf,” ucap Serene pelan, tapi Raiden membacanya dari bibirnya. “Ini satu-satunya cara.”
Raiden berlari, tapi terlambat. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Serene. Pintu terbuka. Dua pria keluar.
Raiden berteriak memanggil namanya, namun suara itu tenggelam oleh deru mesin. Serene melangkah masuk ke dalam mobil. Pintu pun tertutup. Kemudian mobil itu melaju cepat, meninggalkan debu dan keheningan.
Raiden jatuh berlutut. “Siapkan semua tim,” perintahnya dengan suara parau. “Aku ingin mereka sekarang.”
Namun sebelum satu langkah pun bisa diambil, ponsel Raiden bergetar. Pesan masuk. Raiden membuka pesan itu: PERMAINAN DIMULAI. SATU KESALAHAN, DAN KAU AKAN KEHILANGAN MEREKA SEMUA. Raiden mengepalkan ponsel itu hingga kuku-kuku jarinya memutih.
Sementara di dalam mobil yang melaju menjauh, Serene menutup mata. Ia menahan air mata yang akhirnya jatuh. Ia mengusap perutnya perlahan. “Ibu tidak akan menyerah,” bisiknya. “Ibu janji.”
Ia tidak tahu ke mana mereka membawanya. Ia tidak tahu apa yang menantinya. Yang ia tahu hanyalah satu... malam ini, ia telah menyerahkan dirinya…
dan perang sesungguhnya baru saja dimulai.
***
Apa yang akan terjadi pada Serene dan bayi kembarnya yang bahkan belum lahir?
Yuk komen di bawah, jangan lupa like serta follow author biar makin semangat halunya.
Stay tune