Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Yang Tersembunyi
Musim tanam sudah bergeser. Padi di sawah mulai meninggi, dan hujan turun lebih sering dari biasanya—pertanda waktu tidak benar-benar diam.
Pagi di Desa Tanjung Sari datang dengan cara yang selalu sama—hening yang jujur.
Kabut tipis masih menggantung rendah ketika Lia terbangun. Ayam jantan belum berkokok penuh, hanya suara serangga dan desir angin yang menyusup lewat celah dinding kayu. Ia duduk perlahan di tepi dipan, menekan dadanya sendiri.
Ada rasa mual yang datang tiba-tiba. Bukan kuat. Tapi cukup untuk membuat Lia terdiam. Ia mengira hanya masuk angin. Semalam mereka makan agak larut, dan tubuhnya memang belakangan sering lelah. Lia bangkit, berjalan ke dapur, meneguk air hangat perlahan. Namun perutnya kembali bergejolak.
Ia menutup mata.
“Kenapa lagi ini…” gumamnya pelan.
Dari luar rumah terdengar langkah kaki. Wijaya baru saja pulang dari menimba air. Kemejanya sedikit basah, rambutnya berantakan oleh angin pagi. “Kamu sudah bangun?” tanyanya.
Lia menoleh, memaksakan senyum. “Iya. Mau masak.”
Wijaya mengangguk, lalu berhenti sejenak, menatap wajah Lia lebih lama dari biasanya. “Kamu pucat.”
“Hanya capek,” jawab Lia cepat.
Wijaya tidak bertanya lagi. Ia belajar satu hal selama tinggal di desa: tidak semua yang lelah ingin ditanyai.
Mereka memasak dalam diam. Bunyi kompor dinyalakan, air mendidih, dan aroma nasi yang mulai matang mengisi ruangan kecil itu. Semua terasa biasa—terlalu biasa—seolah hidup ingin menipu mereka bahwa tidak ada apa-apa yang berubah.
Padahal Lia tahu, tubuhnya tidak sedang bercanda.
Saat Wijaya pergi ke sawah bersama Pak Wiryo, Lia membantu Ibu Surti menjemur padi. Matahari mulai naik, hangatnya menyentuh kulit. Namun Lia kembali berhenti bekerja, menahan pusing yang datang mendadak.
Ibu Surti memperhatikannya. “Lia?”
“Iya, Bu?”
“Kamu kenapa? Dari tadi melamun.”
Lia menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Ibu Surti mendekat, menyentuh punggung tangan Lia.
“Badanmu hangat.”
Kalimat sederhana itu membuat Lia tercekat. Ia menoleh, menatap ibunya—perempuan yang sudah melahirkannya, membesarkannya, dan mengenal tubuh perempuan jauh lebih baik dari dirinya sendiri.
Ibu Surti tidak langsung berkata apa-apa. Hanya memandang Lia lama, seolah menghitung sesuatu di dalam kepala.
“Kapan terakhir kali kamu…,” Ibu Surti berhenti sejenak, memilih kata, “…datang bulan?”
Lia membeku. Ia tahu pertanyaan itu akan datang. Ia hanya tidak menyangka datang sepagi ini.
“Sudah lewat,” jawabnya pelan.
Berapa lama? Lia tidak menyebutkan. Tapi dari tatapan Ibu Surti, ia tahu—ibunya mengerti lebih dari yang Lia ucapkan.
Ibu Surti menghela napas, bukan marah, bukan kaget. Lebih seperti seseorang yang sedang menerima sesuatu yang sudah ia duga.
“Nanti sore ikut Ibu ke bidan,” katanya tenang.
Lia menunduk. “Bu…”
“Kita pastikan dulu,” lanjut Ibu Surti lembut. “Jangan takut sebelum tahu.”
Takut. Kata itu menancap lebih dalam dari dugaan Lia.
Bukan takut pada dirinya sendiri. Tapi pada masa depan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk digenggam.
Di sawah, Wijaya bekerja dengan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Sejak pagi, dadanya terasa berat. Ia beberapa kali menoleh ke arah rumah, seolah ada sesuatu yang tertinggal di sana. Bukan barang. Bukan ingatan. Tapi perasaan.
“Kamu kenapa, Jay?” tanya Pak Wiryo.
Wijaya tersenyum kecil. “Entah. Seperti… ada yang berubah.”
Pak Wiryo tidak menertawakan. Ia hanya mengangguk pelan. “Perubahan memang tidak selalu datang dengan suara.”
Wijaya kembali menunduk, menancapkan cangkul ke tanah. Setiap ayunan terasa lebih berat dari biasanya.
Sore hari, Lia dan Ibu Surti berjalan ke rumah bidan desa.
Langkah Lia pelan. Tangannya dingin meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Sepanjang jalan, beberapa warga menyapa, tersenyum, tak satu pun tahu apa yang sedang bergolak di dalam dirinya.
Di ruang tunggu kecil itu, Lia duduk dengan tangan saling menggenggam. Ibu Surti di sampingnya, diam tapi hadir.
Beberapa menit kemudian, bidan itu keluar dengan wajah netral.
“Lia,” katanya.
Lia berdiri. Dunia terasa sedikit bergoyang. Pemeriksaan berlangsung singkat. Terlalu singkat untuk sesuatu yang bisa mengubah seluruh hidup seseorang.
Ketika bidan tersenyum kecil dan mengangguk, Lia tahu—bahkan sebelum kata itu diucapkan.
“Selamat,” ujar bidan lembut. “Masih sangat awal. Tapi tandanya jelas.” Kata-kata itu seperti suara yang datang dari kejauhan.
Selamat.
Lia keluar ruangan dengan langkah gontai. Duduk kembali di bangku kayu, menatap tangannya sendiri. Tangan yang sama yang setiap hari menanam padi, memasak, membersihkan rumah.
Kini tangan itu menyimpan kehidupan lain.
Ibu Surti memeluknya tanpa kata. Air mata Lia jatuh perlahan. Bukan karena sedih semata. Bukan pula karena bahagia penuh. Ini perasaan di tengah—takut, harap, dan cinta yang datang bersamaan.
.
Sore itu, Lia belum memberi tahu Wijaya. Ia duduk di beranda rumah sambil melipat pakaian kering. Angin desa bertiup pelan, membawa aroma jerami dan tanah basah. Dari kejauhan, suara Wijaya terdengar bercampur tawa Pak Wiryo dan para petani lain yang baru pulang dari sawah.
Pemandangan itu seharusnya membuat Lia merasa utuh.
Namun entah sejak kapan, ia sering kehilangan fokus pada hal-hal kecil. Lipatan bajunya tidak rapi seperti biasa. Tangannya beberapa kali berhenti di udara, seolah pikirannya tertinggal di tempat lain. Ia meneguk air putih yang tersisa di gelas. Tenggorokannya terasa kering meski ia tidak banyak bicara hari itu.
“Capek ya?” suara Ibu Surti terdengar dari balik pintu.
Lia menoleh dan tersenyum kecil. “Sedikit, Bu.”
Ibu Surti duduk di sampingnya, ikut melipat baju. Tidak ada pertanyaan lanjutan, tapi kehadiran itu sendiri terasa menenangkan.
Sejak menikah, Lia menyadari satu hal—hidup tidak benar-benar berubah drastis, tapi ada beban baru yang datang bersama kebahagiaan.
Wijaya pulang dengan langkah santai. Wajahnya lelah, tapi matanya cerah.
“Besok kita tanam di petak sebelah timur,” katanya sambil duduk. “Kalau hujan turun seperti ini terus, panen bisa bagus.”
Lia mengangguk. Ia mencoba membayangkan masa depan sederhana yang Wijaya bicarakan—musim tanam, panen, hari-hari yang berjalan pelan. Gambaran itu hangat, tapi juga membuat dadanya terasa penuh.
Bu Surti tak ingin ikut campur, ia mengerti dengan bagaimana anaknya mengambil keputusan.
.
Malam datang tanpa tanda. Semua lampu dinyalakan, suara jangkrik mulai mengambil alih.
Ia duduk di teras, menatap langit desa yang bersih. Bintang-bintang bertaburan, seolah mengejek kegelisahannya.
Wijaya duduk di sampingnya. “Kamu diam saja sejak sore.”
Lia menelan ludah. “ Mas Jaya…”
“Iya?”
Ia ingin berkata. Ingin sekali. Tapi kata-kata itu terasa terlalu besar untuk malam yang terlalu tenang.
“Ada hal-hal yang berubah,” ucap Lia akhirnya.
Wijaya menoleh. “Aku tahu.”
“Kamu tahu apa?”
“Aku tidak tahu apa itu,” jawab Wijaya jujur. “Tapi aku merasakannya.”
Mereka terdiam. Di antara dua napas itu, sebuah kehidupan baru mulai tumbuh—tanpa tahu bahwa kebahagiaannya hanya akan diberi waktu yang sangat singkat.
Dan jauh di luar desa, roda takdir sudah bergerak menuju arah yang sama sekali berbeda.