"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Sarang Sang Psikopat
Mobil berhenti mendadak di depan gedung apartemen tinggi yang megah—sebuah kontras mencolok dengan mansion Seung Jo yang sepi dan menyeramkan. Junho menggandeng Hayeon, membawanya ke lantai paling atas, ke dalam penthouse yang luas, minimalis, dan... terasa dingin, seperti ruang pamer yang tak pernah dihuni.
Lantai marmer putih yang bersinar, dinding yang seputih salju, dan perabotan netral—semuanya tampak tak bernyawa. Tak ada jejak kehidupan, seolah-olah baru saja ditinggalkan oleh penghuninya.
"Selamat datang di rumah," kata Junho dengan senyum lebar, melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke sofa putih yang bersih.
"Tenang saja, Seung Jo tak akan menemukan kita di sini. Dia terlalu terjebak dalam dunia gelapnya yang penuh rahasia," lanjutnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Hayeon terdiam, berdiri di tengah ruangan yang luas, merasa seperti anak kecil yang tersesat. Tubuhnya bergetar—bukan lagi karena ketakutan akan kematian yang cepat, tetapi karena ketakutan akan siksaan yang tak terduga.
Junho mendekatinya, mengamatinya seperti seorang ilmuwan yang menemukan spesimen langka.
"Awalnya, aku hanya ingin menyakitimu untuk membuat Seung Jo marah. Tapi sekarang..." Dia mengangkat dagu Hayeon dengan ujung jarinya, menatapnya dalam-dalam.
"Sekarang, aku penasaran. Apa yang membuatmu begitu istimewa hingga bisa membuat pria dingin seperti Jin Seung Jo bergetar emosinya?"
Hayeon menunduk, tak mampu menjawab.
"Jawab aku, Sayang," desis Junho, suaranya mendadak kehilangan semua keceriaan, berubah datar dan berbahaya.
"Tidak... tidak ada yang istimewa," jawab Hayeon akhirnya, suaranya serak, seolah tercekik rasa sakit.
"Aku hanya... seorang yang tidak diinginkan."
Junho tertawa, suara tawanya menggema di ruangan kosong itu. "Tidak diinginkan? Oh, Sayang, kau salah besar. Kau sangat diinginkan. Seung Jo menginginkanmu mati. Aku menginginkanmu... hidup, setidaknya untuk sementara."
Dia menarik Hayeon ke sebuah kamar di ujung koridor. Kamar itu juga serba putih dan kosong, hanya ada kasur di lantai dan jendela besar yang terkunci.
"Ini kamarmu," katanya, nada suaranya datar.
"Jangan coba-coba melakukan hal bodoh. Jendela itu tak bisa dibuka, dan pintunya selalu terkunci dari luar." Dia berbalik untuk pergi, tetapi berhenti di ambang pintu.
"Oh, satu hal lagi. Aku benci kesendirian. Jadi, kita akan menghabiskan banyak waktu bersama. Aku ingin mendengar semua ceritamu—tentang orangtuamu, tentang hidupmu, dan tentang... Seung Jo."
Pintu terkunci dengan suara klik yang menakutkan. Hayeon terjatuh di kasur, memeluk lututnya. Ruangan ini, meski bersih dan terang, terasa lebih mengerikan daripada ruang bawah tanah Seung Jo.
Setidaknya di sana, dia tahu apa yang diinginkan Seung Jo: kematian. Di sini, dia tak tahu apa yang diinginkan Junho, dan ketidaktahuan itu lebih menakutkan.
Beberapa jam kemudian, Junho kembali. Dia membawa nampan berisi makanan lezat—kontras tajam dengan roti kering yang diberikan penjaga Seung Jo.
"Makan," perintahnya, duduk di lantai di depannya dengan gaya santai.
Hayeon, yang kelaparan, mulai makan perlahan dengan tangan bergetar.
"Ceritakan padaku tentang ibumu," pinta Junho tiba-tiba, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu yang aneh.
"Apakah dia cantik? Seperti kamu?"
Pertanyaan itu menusuk hati Hayeon. Kenangan indah tentang ibunya tiba-tiba terasa menyakitkan dalam situasi seperti ini. Air matanya menetes ke piring.
"Aku... aku tidak ingin membicarakannya."
Junho menghela napas dramatis. "Sayang, kita harus jujur satu sama lain." Dia meraih pergelangan tangan Hayeon dengan cepat, mencengkeramnya cukup kuat hingga terasa sakit. "Sekarang, ceritakan padaku."
Dan Hayeon, dengan perasaan hancur dan terpojok, mulai bercerita. Suaranya bergetar, sementara Junho mendengarkan dengan penuh perhatian—seperti seorang psikolog yang mendengarkan pasiennya, dengan senyum puas yang terus mengambang di bibirnya.
Ini adalah siksaan baru. Bukan siksaan fisik, tetapi penyiksaan psikologis. Junho sedang menguliti jiwanya lapis demi lapis, menikmati setiap detail rasa sakitnya, setiap kenangan indah yang kini menjadi racun.
Di malam hari, ketika Hayeon terbangun dari mimpi buruk, dia menemukan Junho duduk di sudut kamarnya, hanya menatapnya dalam gelap.
"Aku di sini, Sayang," bisiknya.
"Aku di sini."
Dan dalam kegelapan, dengan psikopat yang mengawasinya setiap saat, Hayeon merasa dirinya perlahan-lahan benar-benar kehilangan akal sehat.
Terjebak dalam permainan Junho—permainan yang bukan untuk membunuhnya, tetapi untuk menghancurkannya sepenuhnya, sebelum akhirnya membuangnya ketika dia sudah tak lucu lagi.