Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Serangan Tak Terduga
Pagi itu, langit Surabaya masih dibalut awan tipis, sementara udara di sekitar Arjuno Grand Hotel terasa lebih sejuk dari biasanya. Lobi hotel masih setengah lengang — hanya beberapa tamu yang duduk menikmati sarapan, dan staf yang lalu-lalang dengan langkah ringan, membawa nampan berisi teh melati dan roti panggang hangat.
Di antara kesibukan pagi itu, seorang wanita berjalan dengan langkah tenang namun mantap. Bukan dalam setelan formal, melainkan gaya yang lebih santai tapi tetap berkelas — kemeja putih bersih dengan dua kancing atas dibiarkan terbuka, dipadukan dengan trousers krem muda yang jatuh rapi di tubuh rampingnya.
Di kakinya, sneakers putih menambah kesan praktis dan ringan, seolah ia siap turun langsung ke lapangan tanpa ragu. Di bahunya tergantung laptop bag kulit berwarna beige, berisi laptop, iPad, dan dompet kerjanya. Sementara rambutnya, digerai bergelombang alami, terayun lembut setiap kali ia melangkah melewati lorong lobi hotel.
Cahaya matahari pagi yang menembus kaca besar lobi jatuh ke wajahnya, menyentuh kulitnya yang pucat bersih dan menonjolkan sorot matanya yang fokus — tenang, tapi jelas punya tujuan.
Ia tidak tampak seperti eksekutif yang datang untuk inspeksi, melainkan seseorang yang betul-betul ingin memahami bagaimana sistem di bawah kendalinya bekerja. Tidak ada rombongan. Tidak ada formalitas.
Hanya Rembulan Adreyna, dengan keheningan elegan yang justru memerintah lebih kuat dari kata-kata.
Ia datang tanpa pemberitahuan, tanpa rombongan, tanpa formalitas. Bagi sebagian orang, itu mungkin tak lazim untuk seorang COO. Tapi bagi Bulan — melihat langsung bagaimana timnya bekerja adalah satu-satunya cara untuk merasa tenang.
Ia melewati area resepsionis yang harum wangi teh melati dan lantainya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Staf di balik meja menegakkan tubuh, tersenyum ramah begitu melihatnya mendekat.
“Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis sopan dengan nada lembut.
Bulan membalas dengan senyum kecil. “Saya Rembulan Adreyna dari Global Teknologi. Mau ke ruang server di basement,” ucapnya tenang, suaranya jernih tapi berwibawa.
Resepsionis sempat mengerjap, lalu cepat-cepat mengetik sesuatu di komputernya. “Oh, baik, Bu Rembulan. Sudah saya konfirmasi. Silakan menuju lift di sebelah kanan, nanti security di bawah akan mengarahkan Anda.”
“Terima kasih,” jawab Bulan singkat, mengangguk sopan sebelum melangkah lagi.
Langkah kakinya terdengar pelan di lantai marmer, sneakers putihnya menimbulkan gema lembut yang seolah berpadu dengan musik instrumental dari lobi. Ia tampak sederhana, tapi kehadirannya cukup untuk membuat beberapa staf hotel menoleh — bukan karena penampilan mencolok, tapi karena ada sesuatu dalam caranya membawa diri: tenang, percaya diri, dan memancarkan aura profesional yang sulit dijelaskan.
Bulan melangkah menuju lift. Begitu pintu menutup, ia menarik napas pelan — rutinitas pagi seperti ini bukan hal baru baginya, tapi entah kenapa hari ini terasa sedikit berbeda. Mungkin karena tempatnya.
Mungkin karena nama hotel ini masih berputar di pikirannya sejak beberapa hari lalu.
Arjuno Grand Hotel.
Nama yang kini… selalu identik dengan satu sosok dalam pikirannya.
*
Suara ding lembut terdengar ketika pintu lift terbuka. Udara di basement terasa jauh lebih dingin, sedikit lembap, dengan aroma khas ruangan mesin: campuran logam, debu halus, dan dinginnya pendingin udara dari sistem server.
Lampu neon berderet di langit-langit, menciptakan cahaya putih pucat di sepanjang lorong sempit.
Beberapa teknisi dari tim Global Teknologi sudah ada di sana, duduk di depan monitor besar dengan wajah fokus penuh. Cahaya layar memantul di mata mereka, sementara suara ketikan dan kipas pendingin memenuhi udara.
Begitu Bulan masuk, beberapa orang langsung menoleh.
“Selamat pagi, Bu Rembulan!” sapa salah satu tekhnisi dari Global Tekhnologi dengan semangat.
“Pagi,” jawab Bulan sambil tersenyum tipis. “Gimana, udah sinkron semua datanya?”
“Masih proses validasi, Bu,” jawab seorang teknisi itu. “Koneksi antara server utama hotel dan cloud Global udah stabil. Tapi ada sedikit delay di data reservasi real-time.”
Bulan mendekat, memeriksa grafik yang tertera di layar monitor utama. Tangannya refleks menunjuk ke satu bagian. “Di sini. Kalau bandwidth server lokalnya gak di-limit manual, sistem auto-backup-nya bisa crash kalau traffic melonjak.”
Beberapa staf dari pihak hotel mengangguk cepat, langsung menyesuaikan setting-nya. Ia lalu mencondongkan tubuh sedikit, matanya memantau dengan saksama setiap bar yang bergerak di grafik.
“Pindahin queue-nya ke port sekunder dulu. Nanti kalau udah stabil, baru merge ke port utama.”
“Siap, Bu!”
Semuanya bergerak cepat, teratur, tapi tetap dengan rasa hormat pada sosok yang berdiri di tengah ruangan itu — wanita muda yang bisa membaca sistem server seakurat membaca ekspresi manusia.
Dua jam kemudian, Bulan mulai bernafas lega karena separuh data sudah terkoneksi ke bagian server utama hotel.
“Bu, ini laporan progress-nya,” ujar seorang staf IT dari pihak hotel, memberikan tablet.
Bulan menerimanya sambil tersenyum. “Terima kasih. Nanti saya kirimkan juga update ke Manager IT Arjuno, biar sinkron.”
Ia membaca cepat, lalu menulis beberapa catatan di tablet-nya sendiri. Matanya memantulkan cahaya layar, dan di wajahnya tergambar fokus yang luar biasa tenang — tipe fokus yang tak bisa dibuat-buat.
Sesekali, rambut depannya yang terlepas tersapu angin dari pendingin ruangan. Cahaya putih di ruangan itu menyorot kulitnya yang pucat bersih, membuatnya terlihat kontras dengan kabel hitam dan dinding logam di sekitarnya. Sosoknya seolah jadi pusat gravitasi kecil di tengah dunia dingin penuh mesin itu.
Satu jam berlalu lagi tanpa ia sadari. Ketika sistem server akhirnya stabil, Bulan berdiri pelan, merapikan kemejanya dan menatap layar terakhir sebelum menutup file. “Bagus. Kita udah hampir selesai untuk fase awal. Pastikan backup harian otomatis tetap aktif sampai tiga hari ke depan, ya.”
“Iya, Bu!” jawab semua hampir bersamaan.
Bulan tersenyum lembut. “Kalian kerja bagus. Jangan lupa istirahat dan makan siang nanti.”
Ia berjalan menuju pintu keluar ruang server, langkahnya ringan tapi pasti. Dan begitu sampai di ujung lorong, ia berhenti sejenak — menatap ruangan itu sekali lagi, lalu tersenyum kecil,
seolah puas melihat semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan.
Namun tanpa ia sadari, di lantai atas hotel — tepat di ruangan kerja Bhumi Jayendra, seseorang tengah menerima laporan guest access dari sistem keamanan internal hotel.
Nama tamu: Rembulan Adreyna.
Tujuan: Basement Server Room.
Dan pria itu, yang baru saja menandatangani kontrak besar tiga hari lalu, menatap layar komputernya dengan ekspresi samar — antara terkejut, penasaran, dan entah kenapa…
senang.
“Rembulan Adreyna... ternyata dia ada disini?” ucapnya pelan, dengan senyum yang mulai muncul tanpa disadari.
**
Suara beep pelan dari salah satu komputer memecah keheningan ruangan server yang dingin itu.
Awalnya hanya satu. Lalu dua. Kemudian… beruntun.
“Bu Rembulan,” panggil salah satu teknisi dengan nada cemas. “Ada sesuatu yang aneh.”
Bulan yang baru saja hendak melangkah ke arah pintu berhenti.
Alisnya mengernyit halus. “Aneh gimana?”
Teknisi muda itu menunjuk ke layar laptop di hadapannya. “Ini, Bu. Ada satu akun asing yang masuk ke dalam jaringan Arjuno Group. Tapi bukan dari sistem kita, dan bukan dari pihak internal Arjuno juga.”
Bulan berjalan cepat mendekat, rambutnya yang bergelombang ikut bergeser halus di bahunya. Begitu matanya menangkap deretan kode yang terus bergerak di layar, napasnya menahan. Cahaya layar memantul di matanya — baris demi baris huruf hijau dan merah yang berubah setiap detik.
“Akun tidak dikenal...” gumamnya pelan, jari-jarinya langsung mengambil laptop dari tangan staf itu.
“Dia lagi coba menembus firewall utama dan re-route jalur enkripsi sistem hotel. Sepertinya mereka mau ambil data tamu atau—” Bulan tak melanjutkan. Pikirannya sudah bergerak lebih cepat dari kata-katanya.
Ia membuka laptopnya sendiri dari tas, menyambungkannya ke jaringan server melalui kabel LAN cadangan di bawah meja. Layar gelap berubah menjadi cahaya biru lembut dengan kode akses internal Global Teknologi. Jari-jari Bulan mulai menari di atas keyboard — cepat, presisi, dan nyaris tanpa suara selain klik-klik ritmis yang berkejaran dengan waktu.
“Trace jalurnya, filter IP, pisahkan port 1801 dan 8080, matikan semua koneksi otomatis di jalur publik,” ucapnya cepat, sementara para staf di sekitar langsung mengikuti arahannya.
“Bu, ini serangan real-time!”
“Aku tahu,” jawab Bulan tanpa menoleh, nada suaranya dingin tapi terkendali.
Di layar laptopnya, peta jaringan Arjuno muncul — titik-titik biru dan merah menyala, garis-garis data berkedip cepat. Satu titik merah di sisi barat layar mulai bergerak liar, berusaha menembus jalur tengah.
“Mereka pakai metode brute force—tidak terlalu canggih, tapi cepat,” gumam Bulan, matanya tak lepas dari layar. Tangannya mengetikkan counter command, memblokir akses melalui port terbuka, lalu menurunkan kecepatan respons sistem untuk memperlambat si penyusup.
“Lapor, Bu!” seru salah satu staf. “Firewall kita sudah mulai turun. Ada kemungkinan sistem log hotel bakal kena corrupt!”
Bulan mengerutkan alis, matanya tajam. “Tidak akan terjadi. Selama aku di sini, gak ada satu pun data Arjuno yang jatuh ke tangan mereka.”
Tangannya bergerak makin cepat. Ia menyalakan mode manual override, mematikan sistem otomatis dan mengambil alih kendali penuh dari konsol utama. Layar di depan berubah — dari hijau menjadi hitam, lalu muncul satu kalimat putih:
[SECURITY PROTOCOL ACTIVATED – MANUAL CONTROL ACCESS GRANTED]
Udara di ruang server terasa makin dingin, tapi keringat mulai muncul di pelipis beberapa teknisi.
Bulan menggigit bibir bawahnya pelan, fokus penuh. Matanya menelusuri setiap celah — lalu menemukan sesuatu.
“Sini,” ujarnya cepat ke teknisi yang tadi memanggilnya. “Lihat jalur dari port 22. Itu bukan jalur biasa. Mereka sembunyikan entry point lewat protokol pengiriman email hotel.”
“Jadi lewat SMTP server?”
“Ya. Cerdik. Tapi bukan berarti gak bisa kuputus.”
Tangannya mengetik serangkaian perintah cepat — begitu cepat hingga suara ketikan terasa seperti bunyi hujan di atas baja.
[COMMAND EXECUTED – CONNECTION INTERRUPTED]
[ATTEMPT FAILED – RETRY IN 0.4 SECONDS]
“Mereka gak nyerah,” bisik salah satu staf.
“Dan aku juga gak akan.”
Bulan menarik napas dalam-dalam, lalu menekan kombinasi tombol terakhir — mengalihkan seluruh inbound connection ke jalur dummy server milik Global Teknologi. Jika serangan itu masih berlanjut, maka hacker itu tak akan pernah tahu bahwa data yang ia ambil hanyalah salinan kosong — sebuah jebakan.
Beberapa detik berlalu. Layar kembali stabil. Lampu merah di sisi server berubah jadi hijau.
Semuanya berhenti. Suasana ruang server hening, hanya tersisa suara kipas pendingin yang berdengung halus di udara.
“Bu…”
Bulan menghela napas, menatap layar yang kini kembali tenang.
“Mereka udah pergi.” Ia menatap laptopnya lama, mencoba menenangkan degup jantungnya sendiri yang masih cepat.
Namun di balik ketenangan itu, pikirannya langsung menyimpulkan sesuatu —
‘ini bukan serangan acak. Ada seseorang di luar sana yang tahu bagaimana sistem Arjuno bekerja.’
Bulan menyalakan ponselnya, menekan kontak Liora. Begitu suara sahabatnya terdengar di seberang, nada suaranya langsung berubah serius.
“Li, lo di kantor?”
“Masih. Kenapa, Bul?”
“Datang ke Arjuno Grand Hotel sekarang. Ada serangan cyber ke sistem Arjuno. Hacker-nya hampir tembus ke inti database.”
“What?! Sekarang juga gue jalan. Lo sendirian?”
“Iya. Dan tolong bawa backup tim dua orang. Kita gak bisa biarin ini kebuka.”
“Gila, Bul. Lo oke? Lo di mana sekarang?”
“Basement, ruang server. Gue fine. Cuma… cepat ya.”
Begitu panggilan berakhir, Bulan menatap layar laptopnya lagi. Mata indahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi sorot tajam dan sedikit amarah. Ia mengetik satu baris kode lagi untuk menutup akses eksternal sepenuhnya — lalu berdiri, melipat lengan, menatap barisan server di hadapannya.
“Kalau lo pikir bisa main di sistem ini, lo belum tahu siapa yang lo ganggu,” bisiknya pelan.
**
Sudah dua puluh menit berlalu sejak laporan aktivitas guest access muncul di sistem keamanan internal Arjuno Grand Hotel. Nama itu masih terpampang jelas di layar monitor di meja kerjanya.
Rembulan Adreyna.
Awalnya, Bhumi hanya menatapnya dengan senyum kecil di sudut bibir — alasannya sederhana: penasaran. Tapi semakin lama layar itu tetap menampilkan status active, tanpa tanda keluar, perasaan di dadanya perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Ia meletakkan pena di atas dokumen, menyandarkan tubuh ke kursi, dan menatap jendela kaca yang memantulkan langit Surabaya yang mulai pucat oleh cahaya pagi.
‘Rembulan masih diruangan server ternyata’
Ia masih berpikir untuk turun sekadar “mengecek situasi.”
Hanya alasan ringan — padahal bagian dalam dirinya tahu, ia bukan ingin memeriksa sistem…
ia hanya ingin memastikan kalau perempuan itu baik-baik saja.
Bhumi baru saja berdiri dari kursinya ketika suara pintu terbuka cepat.
“Pak Bhumi!”
Suara Arsen terdengar terburu-buru, nadanya panik. Wajahnya sedikit pucat, tablet di tangannya masih menyala dengan deretan data merah.
Bhumi langsung menoleh. “Ada apa?”
“Server utama hotel diserang, Pak,” ujar Arsen cepat, napasnya sedikit terengah. “Ada aktivitas peretasan aktif yang mencoba menerobos firewall sistem data Arjuno. Tapi—”
ia menelan ludah, menatap layar tablet lalu kembali ke Bhumi, “Bu Rembulan dan tim Global Teknologi sudah di ruang server sekarang. Mereka yang sedang menahan serangannya.”
Untuk sepersekian detik, dunia Bhumi terasa berhenti.
“Siapa yang di bawah?”
“Ada Ibu Rembulan dan tim serta ada beberapa staf IT kita disana, pak Mario manager IT kita juga lagi on the way ke basement.”
Bhumi menatap Arsen dalam, ekspresi wajahnya menegang tapi matanya berkilat tajam. Tanpa sepatah kata, ia meraih jasnya dari sandaran kursi. “Siapkan akses lift ke basement sekarang.”
Arsen menatap bingung. “Pak, sistem keamanan basement lagi dikunci sementara—”
“Override pakai izin saya.”
Nada suara Bhumi berubah dingin, tapi cepat. Tegas. Nada yang membuat siapa pun di bawah komandonya tahu: itu bukan permintaan.
Arsen langsung mengangguk dan menekan perintah cepat di tabletnya. Begitu izin terbuka, Bhumi sudah berjalan cepat keluar dari ruang kerjanya.
**
Udara di ruang server terasa semakin berat. Suara kipas mesin yang berdengung berpadu dengan ketikan cepat di atas keyboard, seolah ruangan itu memiliki iramanya sendiri — ritme kepanikan yang ditahan oleh ketenangan satu sosok di tengahnya.
Rembulan Adreyna berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta digital jaringan Arjuno Group.
Beberapa titik hijau berkedip stabil — pertanda sistem aman. Tapi di sudut kanan layar, sebuah tanda merah baru tiba-tiba menyala.
“Bu, ada aktivitas aneh lagi di port 8089!” teriak salah satu teknisi dari tim Global.
Bulan langsung menoleh cepat. Raut wajahnya yang tadinya tenang kini berubah serius.
“Gak mungkin... baru aja kita kunci semua jalur eksternal.”
Ia melangkah cepat, rambutnya terayun mengikuti gerakan tubuhnya. Laptopnya sudah terbuka di meja depan — sistemnya standby dengan firewall monitor aktif. Dalam satu gerakan refleks, ia duduk, jarinya langsung menari di atas keyboard.
“Trace ulang IP log terakhir, dan blokir jalur cadangan!” serunya cepat. Beberapa staf langsung bereaksi.
Satu orang menggeser kursi, yang lain memindai file log baru. Suasana ruang server berubah jadi medan perang — tanpa suara ledakan, hanya bunyi tombol yang berpacu dengan waktu.
“Bu, pattern serangannya beda dari yang tadi!” lapor salah satu staf Arjuno.
“Mereka pakai tunneling protocol, nyamar lewat koneksi internal Wi-Fi hotel!”
Bulan mengernyit. “Berarti mereka udah tahu pola defense kita.”
Ia mengetik cepat, wajahnya serius, cahaya layar memantul di matanya yang fokus penuh.
“Matikan koneksi Wi-Fi untuk internal staf di area lantai dua sampai enam.
Prioritaskan bandwidth buat server core, biar gak overload.”
“Baik, Bu!”
Sementara semua bergerak, Bulan menoleh ke staf Global di sebelahnya.
“Tolong hubungi Bu Liora sekarang. Tanya udah sampai mana.”
“Baik, Bu!” teknisi itu langsung mengambil ponselnya dan menekan nomor.
Tak lama kemudian, ia menoleh lagi dengan nada cemas.
“Bu, Bu Liora bilang masih di jalan. Lima belas menit lagi sampai.”
Bulan mendengus pelan. “Kita gak punya waktu lima belas menit.” Tangannya mengetik lebih cepat lagi, jari-jarinya seperti kabur di atas keyboard.
Beberapa detik kemudian, layar menampilkan warning baru:
[INTRUSION DETECTED – MULTIPLE ENTRY POINTS FOUND]
“Dua titik serangan!”
“Yang satu dari luar negeri, satu lagi dari IP domestik, Bu!”
Bulan berdiri tegak, matanya menyapu layar besar di depan. “Pisahkan! Fokus hadang yang lokal dulu. Yang luar negeri kemungkinan cuma pengalihan.”
Dalam hitungan detik, ia menurunkan kecepatan data di jalur sekunder, lalu mengaktifkan counter-attack program buatan internal Global Teknologi.
Layar laptopnya berubah — baris kode berwarna putih bergerak cepat, seperti cahaya yang saling mengejar di ruang gelap.
“Enggak,” gumam Bulan pelan. “Lo gak bakal tembus hari ini.”
Pintu ruang server terbuka cepat. Udara dingin makin masuk, dan langkah kaki terdengar dari arah lorong.
“Bu Rembulan!” suara berat itu membuat beberapa staf menoleh.
Bulan ikut menoleh — dan melihat Pak Mario, Manager IT Arjuno Group, datang dengan napas sedikit memburu, membawa laptop dan headset di tangannya.
“Pak Mario,” sambut Bulan cepat, “kita kena serangan kedua. Arah serangan berubah dari luar negeri ke domestik.”
“Saya udah dapet kabarnya di atas,” jawab Mario sambil membuka laptop dan langsung menyalakan remote command.
“Saya bantu stabilin sistem lokal. Ibu tangani jalur eksternalnya.”
Bulan mengangguk cepat. “Baik. Fokuskan semua backup log ke drive internal. Jangan biarkan koneksi ke cloud aktif dulu.”
“Siap!”
Dua pemimpin IT itu bekerja berdampingan — satu dengan tangan dingin, satu dengan otak sistematis.
Keduanya saling melengkapi ritme kerja satu sama lain tanpa perlu banyak bicara. Hanya suara klik, dering notifikasi sistem, dan sesekali perintah cepat yang meluncur dari bibir Bulan.
Beberapa menit berlalu, dan suhu ruangan seolah naik karena tegangnya suasana.
“Bu, log internal udah bersih!” teriak salah satu staf.
“Yang eksternal masih coba menembus port cadangan.”
“Pertahankan aja, jangan biarkan mereka lepas.”
Bulan mengetik perintah terakhir. Matanya menatap tajam ke layar besar di depannya yang kini mulai stabil. Grafik merah perlahan memudar, berubah menjadi biru kembali.
Ia menunduk, menatap laptopnya dengan napas berat — bukan karena lelah, tapi karena adrenalin yang masih memuncak. Tangannya berhenti di atas keyboard, sementara ia memandangi monitor yang perlahan berhenti berkedip.
“Untuk sekarang… kita aman.”
Tapi baru saja kata itu terucap, salah satu komputer di ujung ruangan kembali menyala sendiri — layar hitam, lalu muncul teks putih dengan karakter asing.
[HELLO AGAIN.]
Ruangan langsung hening. Beberapa teknisi saling menatap dengan mata membulat.
Bulan menegang. Suara mesin terasa lebih keras di telinganya.
“Gue butuh lo Liora” guman Bulan pelan dengan bercampur khawatir.
**
Lorong menuju lift sunyi, hanya terdengar suara langkah sepatu kulit Bhumi yang berat dan cepat. Lampu-lampu langit-langit menyinari sosoknya yang tegap dengan jas hitam yang kini ia kenakan asal, dasinya longgar, tapi auranya tak berubah — otoritatif, hanya saja kini ada sesuatu di matanya: kekhawatiran yang tak biasa.
Begitu pintu lift terbuka, ia masuk dan menekan tombol paling bawah: B – . Pintu tertutup, dan lift langsung meluncur turun dengan suara lembut namun menusuk sunyi.
Di dalam kabin, Bhumi berdiri dengan tangan di saku, rahangnya menegang. Ia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang dan datar, tapi matanya memantulkan sesuatu yang lain — perpaduan antara khawatir dan amarah, campuran berbahaya yang hanya muncul ketika seseorang yang penting baginya sedang dalam bahaya.
Ia mengingat setiap kata Arsen.
“Bu Rembulan dan tim Global Teknologi sudah di ruang server sekarang. Mereka yang sedang menahan serangannya”
Kata-kata itu menancap dalam, dan entah kenapa, setiap detik perjalanan lift terasa terlalu lama.
‘Kenapa harus dia yang turun sendiri?
Kenapa bukan orang lain?’
‘Dan kenapa—’ ia menutup mata sebentar, menahan napas, ‘—kenapa gue peduli sejauh ini?’
Suara ding lembut terdengar. Pintu lift terbuka ke lorong putih yang dingin.
Bhumi keluar dengan langkah besar, udara di basement langsung menyambutnya — dingin, lembap,
dan dipenuhi suara dengungan mesin server yang konstan.
Di ujung lorong, beberapa staf IT berlari kecil, membawa kabel dan alat cadangan. Salah satunya menoleh, wajahnya langsung kaget melihat siapa yang datang.
“P—Pak Bhumi?!”
“Di mana ruang server utama?” tanya Bhumi cepat, nada suaranya datar tapi tegas.
“Di—di ujung, Pak. Ibu Rembulan dan timnya masih di dalam, pak Mario juga udah didalam pak!”
Bhumi langsung melangkah tanpa ragu. Udara makin dingin, lampu makin redup, dan dari balik kaca pintu kedap suara di depan, ia bisa melihat cahaya layar yang berkedip cepat, bayangan beberapa orang yang bergerak, dan di tengahnya — sosok perempuan dengan rambut bergelombang, fokus penuh di depan laptopnya. Hatinya langsung mengeras tanpa alasan logis.
Satu tangan Bhumi menempel di gagang pintu, dan di momen itu, ia sadar betapa cepat detak jantungnya berlari. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia bukan hanya seorang CEO yang akan menghadapi masalah sistem… tapi seorang pria yang tanpa sadar sedang bergegas karena takut kehilangan kendali — pada perasaan yang baru saja mulai tumbuh.
“Rembulan…” ucapnya pelan,
sebelum akhirnya mendorong pintu ruang server dan melangkah masuk.
**
tbc