Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haus
Naren menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki perusahaan cabang Alexander bagian keamanan. Tidak besar harapannya akan diterima sebab tahu namanya telah cacat, tetapi ia sangat bersyukur kalau saja takdir berpihak padanya.
Naren merapikan setelan jas hitamnya. Jas yang menjadi syarat interview sesuai undangan yang ia dapatkan lewat email usai mendaftar beberapa hari lalu.
Banyak lalu lalang pria berbadan besar di lobi, staf wanita bisa dihitung jari di dalam gedung besar itu.
Naren kembali menarik napas saat akan membuka pintu ruangan seseorang. Ia lantas memberikan bow pada pria paruh baya yang duduk di balik meja. Auranya cukup membuat Naren gugup. Terlebih pria itu tidak kunjung membuka suara dan hanya meneliti berkas yang dia pegang.
"Naren Aryasatya," gumam Direktur Alexander Group bagian keamanan. Kali ini interviewnya tidak melalui bawahan lagi sebab yang akan di kawal sangat penting. "Apa yang membuatmu tertarik dengan pekerjaan ini?"
"Saya tertarik karena posisi ini sesuai dengan kemampuan dan passion saya, dan saya yakin bisa berkontribusi positif sambil terus berkembang bersama perusahaan. Selain itu saya tertarik sebab perusahaan ini memiliki visi-misi yang sejalan dengan pemikiran saya. Melindungi seseorang dari bahaya di luar sana."
"Berkasmu memenuhi syarat dan saya suka melihat semangatmu, hanya saja ...." Eril, Direktur perusahaan mengambil kertas lain yang dia dapatkan dari pusat. "Nama kamu masuk daftar hitam perusahaan. Kamu menggelapkan dana perusahaan."
"Saya berani bersumpah tidak mengelapkan dana sepeserpun, Pak."
"Apa kamu yakin dengan ucapanmu itu? Bagaimana jika terbukti?"
"Saya siap menerima konsekuensinya Pak."
"Baik interviewnya selesai, kami akan menghubungimu untuk proses selanjutnya."
"Terimakasih."
Naren pun segera undur diri dengan keringat di telapak tangannya.
"Woi Naren!"
Naren menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia mengerutkan kening, berusaha mengenali seseorang yang memanggil namanya. Sudut bibirnya tertarik tahu siapa itu.
"Sudah lama nggak bertemu, kamu makin tinggi saja," celetuk teman sekolahnya yang kini menjadi pengawal di perusahaan Alexander.
"Interview?"
"Iya."
"Aku yakin pasti kamu diterima. Fisik kamu beuh pantas banget menjaga VVIP kita."
Kening Naren mengerut.
"Interview kali ini dibuka khusus Tuan Putri, aku juga tadi ikut interview moga-moga diterima."
"Loh? Karyawan tetap pun ikut?"
"Iyalah, dan diawasi langsung sama direkturnya. Duluan Ren, ada tugas negara dulu nih."
Naren mengangguk dan segera meninggalkan perusahaan itu. Semangatnya semakin menipis memikirkan bersaing dengan orang-orang lama perusahaan, terlebih namanya sudah rusak. Pria itu membuang napas kasar setelah berada di dalam mobil.
"Kenapa Bu?" tanya Naren yang langsung menjawab panggilan ibunya.
"Kamu ini gimana sih Nak, bisa-bisanya nggak jemput Naresa dan Darian di sekolah."
"Nadira ...."
"Istri kamu nggak ada di rumah. Ini anak-anak baru ibu jemput karena dapat telepon dari pihak sekolah. Mana Seren di titip ke tetangga lagi, benar-benar ya istri kamu itu."
Naren lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Helaan napasnya semakin kasar tahu sudah jam setengah satu. Padahal seharusnya anak-anaknya pulang jam 10 an.
"Naren titip anak-anak ya Bu. Naren masih ada pakerjaan yang belum selesai."
"Iya."
Pria itu langsung memutar setir kemudi berlawanan arah dari tujuan sebenarnya. Dia sudah melarang Nadira keluar rumah selama beberapa hari ini dan mengira Nadira akan menjemput anak-anaknya. Tetapi sepertinya sang istri benar-benar tidak menghargainya dengan pergi diam-diam.
Membiarkan Seren sendirian di rumah? Apa yang ada pikiran Nadira sebenarnya?
Naren menghentikan mobilnya di depan gedung sebuah Agensi. Dia melangkahkan kaki panjangnya memasuki agensi yang penghuninya tampak sibuk dengan urusan masing-masing.
"Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya staf perempuan yang terpukau oleh pesona Naren, terlebih pria itu masih memakai setelan formal.
"Saya mencari pak Rafka."
"Pak Rafka ada di ruangannya Pak, mari saya antar."
Naren mengangguk, mengikuti langkah staf perempuan itu hingga sampai di depan ruangan atasannya.
"Terimakasih, kamu bisa pergi. Saya sudah ada janji temu sebelumnya."
"Baik Pak."
Sepeninggalan staf, Naren memutar handel pintu yang kebetulan tidak terkunci. Ia hendak langsung masuk, tetapi urung melihat sesuatu yang sangat menyakiti hatinya.
Naren memejamkan matanya, dadanya bergemuruh hebat menyaksikan hal menjijikkan didalam sana. Di mana Nadira sedang duduk di atas meja, bertukar saliva dengan atasannya sendiri.
Tanpa menegur sedikit pun, Naren menutup pintu kembali dan pergi dari gedung terkutuk tersebut.
Ia memukul setir kemudi untuk menghilangkan amarah dalam dirinya. Hatinya lagi-lagi terluka.
"Teganya kamu menghianatiku Nadira," lirih Naren yang kini menitikkan air matanya.
Delapan tahun? Tidakkah Nadira berpikir berapa lama mereka berjuang? Tidaklah istrinya mengingat momen indah bersama sehingga memilih mendua disaat badai menerjang rumah tangga mereka.
Padahal Naren tidak menuntut banyak, ia hanya ingin istrinya selalu ada untuknya. Mendukung dan memberikan semangat di waktu-waktu terpuruk.
"Apa kah aku terlalu jahat padamu?" batin Naren.
...
"Sayang aku hampir kehabisan napas." Nadira mendorong dada Rafka ketika bibirnya terasa kebas.
"Bibirmu sangat candu Nadira. Bahkan melakukannya berulang kali nggak bisa membuatku puas," lirih Rafkah sembari memainkan jarinya di bibir Nadira yang sedikit membengkak. Tatapannya penuh gairah dan damba pada tubuh Nadira.
"Aku sangat mencintaimu jauh sebelum kamu menjadi milik orang."
"Tetap luangkan waktu untukku dan akan kuhabiskan uangku untukmu."
"Benarkah?" Nadira tersipu, posisi mereka masih sama. Nadira duduk si atas meja dan Rafka berada di antara kaki wanita itu.
Nadira memejamkan matanya ketika tangan Rafkah mulai memainkan rambutnya, ia menahan nafas kala hidung mancung Rafka menyentuh ceruk lehernya.
"Lihat notifkasimu Sayang," bisik Rafka dengan senyuman.
Pria itu menyesap pundak mulus Nadira ketika pemiliknya sibuk mengecek sesuatu. Merasa mendapatkan lampu hijau, Rafka mengendong Nadira menuju sofa dan membaringkannya sangat pelan.
"Rafka aku nggak mau ...."
"Aku nggak akan melakukannya Nadira, hanya seperti ini."
Rafka terus mengerayani tubuh Nadira sepuas yang ia inginkan. Melepas kemeja di tubuhnya dan menindih wanita yang kini telah masuk dalam kendalinya. Menuruti keinginan Nadira untuk tidak melakukan hal lebih? Memangnya Rafka bodoh?
"Katakan Sayang apa yang kamu inginkan, akan ku kabulkan semuanya," bisik Rafka.
"Tubuhmu Rafka, lanjutkan dan lakukan apapun padaku," lirih Nadira dengan napas yang tidak beraturan.
Sudah lama tubuhnya tidak dijamah oleh suaminya. Selama tahu Naren di PHK tidak sedikitpun minat Nadira di sentuh oleh suaminya. Ia seolah mati rasa berada di sekitar Naren bahkan ketika pria itu memintanya.
"Mas Naren sudah tahu hubungan kita," ujar Nadira terbata. Keringat membanjiri tubuhnya padahal suru ruang sangat dingin.
"Saat dia meninggalkanku, kamu akan menikahiku kan?"
"Tentu Nadira, aku menunggu saat itu tiba." Rancau Rafka yang kini berada di atas angin. Dirinya benar-benar dibuat keenakan oleh model barunya.
Sama dengan Nadira, tubuh Rafkah telah dipenuhi oleh keringat. Terlebih ia yang sedang memegang kendali di sofa.
.
.
.
.
.
.
Bagaimana bab ini?
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren