Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
Happy reading...
.
.
.
Rania menarik napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah Sonya.
"Sonya, kamu tunggu di mobil saja. Aku tidak akan lama." Ucapnya dengan suara tenang, meski hatinya bergejolak hebat.
Sonya tampak ragu. Matanya menatap Rania seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya ia mengangguk pelan.
"Baik, Bu." ucapnya sebelum berjalan pergi meninggalkan lobi.
Rania lalu beralih menatap Jordi. Tatapannya dingin, tanpa sedikit pun senyuman di wajahnya.
"Ikut aku.." ucapnya singkat.
Jordi mengikuti langkah Rania menuju sebuah ruangan kecil di sisi lobi. Ruangan itu jarang digunakan, sunyi dan cukup tertutup. Begitu pintu tertutup, Rania langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Posturnya tegak, seolah sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak lagi ia hormati.
"Katakan saja sekarang.” ucap Rania dingin. “Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera kembali ke Jakarta."
Jordi menelan ludah. Ia menatap Rania cukup lama sebelum akhirnya membuka suara. "Kamu sudah berubah, Rania." ucapnya pelan. "Kamu bukan Rania yang dulu aku kenal."
Rania mendengus kecil, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Lalu?" tanyanya datar.
Jordi tampak ragu sejenak, namun akhirnya melanjutkan.
"Apa perubahanmu ini semuanya karena aku?" tanyanya. "Karena apa yang dulu terjadi di antara kita?"
Mendengar pertanyaan itu, ekspresi Rania berubah. Ia menatap Jordi dengan pandangan yang tidak lagi bisa disembunyikan, pandangan jijik dan muak.
"Bukankah kamu terlalu percaya diri." ucap Rania dingin. "Jangan pernah berpikir bahwa hidupku berputar hanya di sekitar kamu."
Wajah Jordi memerah. Ia mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar.
"Aku.. aku menyesal, Rania."
Rania mengangkat alisnya. "Menyesal?" ulangnya pelan, tapi terkesan mengejek.
Jordi melangkah mendekat satu langkah.
"Apa kamu tidak bisa memaafkanku?" tanyanya. "Memaafkan aku.. Maafkan kami.. Memaafkan kita semua."
Rania tertawa kecil, namun tawa itu terdengar pahit. "Memaafkan?" ucapnya sambil menggeleng perlahan. "Bagaimana mungkin?"
Ia melangkah sedikit ke depan, menatap Jordi tepat di matanyadengan penuh kebencian.
"Bahkan di antara kalian semua, tidak ada satu pun yang benar-benar berniat untuk meminta maaf." lanjutnya dengan suara bergetar namun tegas. "Kalian semua bertingkah seolah-olah itu tidak pernah terjadi. Seolah- olah perasaanku tidak pernah dihancurkan."
Jordi terdiam.
"Dan sekarang." Rania melanjutkan. "Kamu datang untuk meminta maaf dengan kata-kata yang terdengar tanpa beban, lalu berharap aku memaafkan semuanya begitu saja?" Rania tersenyum miris. "Bukankah itu terdengar lucu?"
Nada suaranya terdengar dingin, namun di balik itu ada luka yang masih menganga. Jordi menundukkan kepalanya, lalu berkata pelan. "Meski begitu.. itu semua sudah menjadi masa lalu, bukan?"
Kalimat itu membuat emosi Rania meledak. Ia menatap Jordi dengan mata yang berkaca-kaca, namun penuh amarah.
"Memang itu masa lalu.." ucapnya tajam. "Tapi apa kamu tahu?" Rania menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan sesak di dadanya. "Luka itu masih ada." lanjutnya lirih namun menusuk. "Bahkan saat aku berusaha menguburnya, saat aku berusaha berpura-pura baik-baik saja, rasa sakit itu tidak pernah bisa benar- benar menghilang."
Suara Rania mulai bergetar. "Setiap kali aku teringat, setiap kali aku harus berdiri sendiri tanpa siapa pun, luka itu kembali terbuka." ucapnya. "Dan sekarang kamu ingin aku menyebut semuanya hanya sebagai masa lalu?"
Ruangan itu kembali sunyi. Jordi tidak mampu berkata apa-apa. Rania mengusap sudut matanya dengan cepat, lalu kembali memasang ekspresi dingin.
"Pembicaraan kita selesai." ucapnya tegas. "Jangan pernah lagi membawa masa lalu itu ke hadapanku."
.
.
.
Rania membuka pintu mobil dengan kasar lalu menutupnya kembali dengan keras. Suara benturan itu membuat Sonya dan Ikhsan yang masih berada di dalam mobil terkejut hingga refleks menoleh bersamaan. Wajah Rania tertunduk, rahangnya mengeras, napasnya terdengar tidak beraturan.
"Keluar." ucap Rania singkat namun tegas. "Aku ingin sendiri."
Sonya terdiam sejenak. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi tatapan Rania yang redup dan penuh luka membuatnya mengurungkan niat itu. Sonya hanya mengangguk pelan, lalu memberi isyarat pada Ikhsan. Keduanya segera keluar dari mobil tanpa berkata apa pun. Sonya menutup pintu dengan hati-hati, lalu berdiri di sisi mobil, menjaga jarak namun tetap memperhatikan atasannya itu.
Begitu sendirian, Rania langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah tanpa sisa. Bahunya bergetar hebat, isakannya terdengar menyesakkan seolah seluruh beban di dadanya tumpah bersamaan. Napasnya tersengal, air mata mengalir deras membasahi telapak tangannya.
Tangis Rania semakin menjadi-jadi saat ingatannya kembali pada perkataan Jordi sebelum dirinya pergi. Permintaan itu terngiang seolah menusuk hatinya yang sudah penuh dengan luka.
"Kalau kamu belum bisa memaafkanku, aku mengerti.." ucap Jordi kala itu. "Tapi setidaknya.. maafkan keluargamu, Rania. Mereka berdua membutuhkanmu sekarang.."
Rania menggeleng kuat, seolah ingin mengusir ingatan itu. Tangannya mengepal, kukunya menancap di kulit.
Jordi memintanya untuk menjenguk Alisa yang sedang sakit, adik yang dulu juga menjadi salah satu sumber lukanya. Jordi juga memintanya untuk memikirkan mamanya, yang kini terlilit utang demi untuk membiayai pengobatan Alisa.
"Apa semuanya harus selalu kembali padaku?" lirih Rania di sela isakan. "Apa aku tidak pernah punya hak untuk hidup tenang?" Rania memejamkan kedua matanya. "Apa jika aku yang berada di posisi Alisa mama akan melakukan hal yang sama?"
Ia membekap mulutnya untuk menahan suara tangis yang semakin keras. Waktu berjalan tanpa terasa. Hampir tiga puluh menit Rania terisak di dalam mobil, tubuhnya lelah, dadanya terasa sesak. Hingga akhirnya, samar-samar ia menyadari bayangan seseorang berdiri di sisi mobil.
Rania menurunkan tangannya perlahan. Ia melihat Sonya berdiri tidak jauh dari sana dengan wajah penuh kekhawatiran. Rania segera menghapus air matanya, meski percuma karena isak itu masih tertinggal di dadanya. Ia menghembuskan napas berulang kali, mencoba menenangkan diri.
"Masuklah." ucap Rania akhirnya dengan suara serak. "Antar aku pulang."
Sonya dan Ikhsan tidak berkata apa-apa. Keduanya segera masuk kembali ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan menuju apartemen, suasana terasa sunyi. Rania memilih menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya kosong meski hatinya tetap terasa berat.
Setelah tiba, Rania langsung turun dan masuk ke apartemen tanpa menunggu siapa pun. Langkahnya cepat namun lemah. Ia berjalan lurus menuju kamar, menutup pintu lalu membaringkan dirinya tengkurap di atas tempat tidur. Tangis yang tadinya sempat reda kembali pecah.
Tubuhnya bergetar, bahunya naik turun. Ia merasa sendirian, ditinggalkan dan terhimpit oleh masa lalu yang terus mengejarnya. Hingga tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang hangat melingkari tubuhnya dari belakang.
Rania terkejut. Napasnya tertahan. Sepasang lengan memeluknya erat, menahan tubuhnya yang gemetar. Ia hendak menoleh, namun suara yang terdengar di dekat telinganya membuatnya terdiam.
"Jangan menangis seperti ini." ucap suara itu rendah dan dalam. "Aku di sini."
Rania merasa dadanya kembali terasa sesak, namun kali ini bukan hanya karena lukanya yang kembali terbuka. Ia menggenggam seprai dengan erat, lalu perlahan membalikkan tubuhnya.
"Bapak.." lirihnya nyaris tak terdengar.
Arkana menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menarik Rania ke dalam pelukan yang lebih erat. Rania akhirnya menyerah. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Arkana, membiarkan tangisnya kembali pecah.
“Aku lelah..” ucap Rania terisak. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi..”
Arkana tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi tangannya mengusap punggung Rania perlahan, seolah ingin menenangkan perempuan yang berada di dalam dekapannya itu.
Seolah berkata bahwa semuanya akan baik- baik saja.. Ada aku disini... Dan kamu tidak sendirian..
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...