Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
suami ku yang misterius
Emelia mengerutkan keningnya, bingung. Setelah kejadian canggung semalam, Duke Gideon malah mengajaknya pergi? Ini pasti bagian dari rencana rahasia Duke untuk membuatnya semakin bingung.
"Baiklah, Gerya. Bantu aku bersiap," putus Emelia, rasa penasarannya kembali muncul mengalahkan rasa malunya. Petualangan baru sepertinya sudah menanti.
Emelia menatap Duke, terkejut dengan proposal tak terduga ini. Rasa malunya menguap, digantikan oleh tekad baru yang membara. Dia, Emelia Grace, gadis desa yang biasa membuat roti, kini dihadapkan pada tanggung jawab besar mengurus tanah kekuasaan seorang Duke.
Duke Gideon menatapnya dengan tatapan tajam, menunggunya menjawab, seolah menantang keraguannya.
Emelia menegakkan punggungnya, menatap lurus ke mata Duke dengan keberanian yang baru ditemukan. "Siap," jawabnya mantap. Lalu, karena gugup dan kebiasaan, dia menambahkan, "Suamiku."
Begitu kata-kata itu keluar, wajah Emelia langsung memerah padam. Dia buru-buru meralat, terbata-bata, "Eh, maksudnya Tuan Duke! Maaf, saya—"
Sebuah seringai kecil—yang kali ini tidak bisa disembunyikan—muncul di bibir Duke Gideon. "Bagus," katanya, mengabaikan ralat panik Emelia dan rona merah di pipi gadis itu. "Kalau begitu, mari kita mulai pelajaran pertamamu, Duchess."
Duke kemudian mulai membuka gulungan peta dan menjelaskan detail tentang pengelolaan wilayah tersebut. Emelia, meskipun masih sedikit malu, segera memfokuskan perhatiannya. Dia mendengarkan dengan saksama, mengajukan pertanyaan cerdas, dan menyerap setiap informasi baru seperti spons.
Malam itu, ketika kereta membawa mereka kembali ke kastil, suasana di dalamnya jauh berbeda. Keheningan canggung telah digantikan oleh diskusi tentang irigasi, panen, dan pajak. Emelia menyadari bahwa Duke Gideon, di balik sikap dingin dan misteriusnya, adalah seorang pria yang adil dan peduli pada rakyatnya.
Di bawah sinar bulan yang masuk melalui jendela kereta, Emelia tersenyum tipis. Perjalanan untuk membongkar rahasia Duke Gideon baru saja dimulai, tetapi sekarang, dia merasa dia bukan hanya menguping dari kegelapan, melainkan berjalan di samping suaminya—eh, maksudnya Tuan Duke—dalam terang bulan.
"Emelia," panggil Duke Gideon saat kereta mereka memasuki gerbang utama kastil yang menjulang tinggi, memecah lamunan Emelia tentang angka panen gandum.
Emelia menoleh padanya. "Ya, Tuan Duke?"
Duke menatapnya dengan tatapan serius. "Bagaimana kalau besok kita ke wilayah itu dan tinggal di sana selama kurun waktu satu bulan?"
Dia mengatakannya dengan tegas, tidak ada keraguan dalam nada suaranya. Bagi Duke, ini adalah keputusan bisnis murni; Emelia harus benar-benar memahami cara kerja wilayah tersebut secara langsung.
Mendengar ajakan untuk tinggal di sana, jiwa berpetualang Emelia terasa berkobar. Satu bulan penuh di luar kastil, belajar hal baru, dan hidup di tengah masyarakat nyata terdengar jauh lebih menarik daripada hidup terkurung dalam kemewahan yang sunyi.
"Ide bagus, Tuan Duke!" jawabnya antusias. Namun, kemudian dia teringat sesuatu yang penting. "Tapi, Tuan, bolehkah saya pergi menjenguk ayah saya sebentar sebelum kita berangkat? Saya ingin berpamitan dengannya dan mengatakan saya baik-baik saja."
Duke Gideon mengangguk singkat, ekspresinya melunak sedikit. "Silakan. Pengawalku juga sering ke sana untuk mengunjungi ayahmu dan memastikan dia mendapat kiriman bahan makanan serta tunjangan bulanan."
Mata Emelia membulat terkejut. "Tuan mengirim pengawal?"
"Tentu saja," jawab Duke, kembali ke sikapnya yang tenang. "Kau adalah Duchess sekarang. Kesejahteraan keluargamu menjadi tanggung jawabku juga."
Emelia merasakan gelombang kehangatan yang tidak terduga di hatinya. Di balik tembok dingin dan kepribadiannya yang kaku, Duke Gideon adalah pria yang penuh perhatian dengan caranya sendiri.
"Terima kasih, Tuan Duke," ucap Emelia tulus, senyumnya merekah indah.
Kereta berhenti total. Emelia turun dengan hati yang ringan. Rahasia Duke mungkin masih banyak, tetapi satu hal yang pasti: dia mulai menyukai petualangan yang ditawarkan oleh pernikahan aneh ini, dan dia tidak sabar untuk memulai babak berikutnya di samping pria misterius itu.