Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Baiklah, Pak. Tapi saya tidak bisa lama.”
Ia masuk. Pintu mobil tertutup perlahan, menyisakan ruang kecil di mana waktu seolah berhenti.
Aroma pengharum mobil bercampur dengan sisa parfum Harsya.
Malam di luar terasa jauh.
Suasana di dalam mobil hening.
Hanya suara mesin yang berdengung pelan,berpadu dengan hembus pendingin udara.
Lampu basement samar menembus kaca, menyapu wajah mereka bergantian — seolah waktu sendiri ikut berputar lambat.
Harsya duduk di kursi pengemudi, menatap ke depan sejenak sebelum akhirnya bersuara.
“Alma,” katanya pelan,
“Kalau kamu tidak di lounge… apa kamu bisa bayangkan, kamu mau jadi apa?.”
Alma menoleh, menatap profil wajah pria itu yang diterangi lampu dari luar.
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi rasanya seperti mengguncang sesuatu di dalam dirinya.
“Saya tidak tahu,” jawabnya lirih.
“Dunia terlalu sempit untuk orang seperti saya.”
Harsya menoleh perlahan, matanya dalam dan tenang.
“Kalau dunia terlalu sempit,” ujarnya, “Ciptakan duniamu sendiri.”lanjutnya.
Alma tersenyum samar, tapi ada getir di sudut bibirnya.
“Itu akan mudah bagi Bapak,” katanya pelan. “Tapi tidak bagi saya.”
Harsya menghela napas.
Ia menatap Alma, kali ini tanpa jarak, suaranya pelan tapi hangat.
“Kalau saya bantu menciptakan duniamu… bagaimana?.”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Tidak ada musik, tidak ada tawa.
Hanya keheningan yang tiba-tiba terasa terlalu dekat.
Alma menunduk, memainkan ujung tas kecil di pangkuannya.
“Dunia sperti apa?, yang Bapak tawarkan?." ucapnya perlahan.
“Dunia yang dimana kamu tidak harus kehilangan harga diri,” jawab Harsya,
"Maaf Pak saya hanya pekerja malam ,bukan penjaja tubuh jika maksud bapak karena saya bekerja di lounge."
Harsya terkejut mendengar ucaoan Alma ada rasa bersalah yang tersirat jelas di raut wajahnya.
"Bukan itu maksud saya Al,kamu salah paham."Ujarnya buru buru meralat.
Alma menatapnya sesaat, matanya mengerjap di bawah cahaya samar.
Ia tahu, setiap kata yang keluar dari bibir pria itu berbahaya — bukan karena niatnya, tapi karena getarannya menyentuh sisi dirinya yang paling ia sembunyikan.
“Bapak tidak tahu apa-apa, tentang saya,” katanya akhirnya, mencoba menjaga jarak.
“Mungkin tidak,selama ini."balas Harsya lembut,
“Untuk itu saya ingin tahu. Itu cukup untuk sekarang.”
Mereka terdiam lagi.
Di luar, angin malam Semarang bertiup pelan.
Suasana terlalu tenang, terlalu intim untuk dua orang yang baru seharusnya saling mengenal sebatas nama.
Alma menarik napas, lalu membuka pintu perlahan.
“Saya harus pulang, Pak.”
Harsya hanya mengangguk, tanpa menahan.
“Tentu,tapi kalau suatu hari kamu berubah pikiran, pintu itu masih dana selalu terbuka."
Alma menatapnya sejenak, lalu menutup pintu.
Mobil itu belum juga bergerak ketika ia berjalan menjauh, dan untuk pertama kalinya, ia merasa langkahnya tidak sepenuhnya yakin.
Pagi itu Semarang diselimuti langit kelabu.
Udara terasa lembab, aroma kopi hitam menguar dari dapur kecil di sudut rumah.
Alma duduk di meja makan, masih mengenakan kaus longgar dan rambut yang digelung seadanya.
Ponselnya tergeletak di atas meja, layar berkedip menandakan pesan baru masuk.
Ia menatapnya ragu.
Nama itu muncul lagi di layar — Harsya Pranowo.
“Saya serius soal pembicaraan kita semalam.
Kalau kamu mempertimbangkan tawaran saya… saya akan sangat senang.”
Alma terdiam lama.
Matanya menatap layar itu tanpa benar-benar membaca.
Jemarinya ingin mengetik sesuatu, tapi pikirannya seperti kabut — terlalu banyak suara yang berbisik di dalam.
Ia memutar gelas di tangannya, membiarkan aroma bourbon bercampur dengan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak tenang.
Sebagian dirinya ingin menjawab — ingin tahu sejauh mana pria itu benar-benar serius.
Namun sisi lain dari dirinya, sisi yang sudah terlalu sering dikecewakan, menahan keras-keras.
“Jangan bodoh, Alma, jangan biarkan kamu terluka untuk kedua kali ." katanya dalam hati.
Asha berlari kecil dari arah kamar, tertawa sambil memeluk kakinya.
Alma tersenyum, menunduk, mencium rambut anaknya.
Hanya sekejap itu saja, tapi cukup untuk membuat hatinya kembali ke tempat yang semestinya.
Ia meletakkan ponselnya menghadap ke bawah tidak dibalas.
Namun sepanjang hari, pesan itu terus menempel di pikirannya seperti bayangan di permukaan air.
Malamnya, ketika ia berdiri di depan cermin, Alma mendapati dirinya memikirkan hal yang sama apa yang akan terjadi jika ia membiarkan pintu itu terbuka — meski sedikit saja?
Malam itu, Grand Amartha kembali dipenuhi cahaya lembut dan denting gelas kristal.
Lagu jazz mengalun pelan, seolah menyembunyikan setiap rahasia yang berputar di dalamnya.
Alma datang seperti biasa — dengan langkah tenang, senyum profesional, dan tatapan yang tak banyak bicara.
Namun malam ini berbeda.
Harsya sudah ada di meja dua, tempat yang sama, seolah menandai sesuatu yang hanya mereka pahami berdua.
Ketika Alma menghampiri, pria itu tersenyum.
“Gimana,” katanya perlahan,
“Apa kamu sudah mempertimbangkan?.”
Alma menarik kursi, duduk dengan tenang. “Pertimbangkan apa, Pak?”
“Ya… tawaran saya,” jawab Harsya, menatapnya serius.
“Tenang Ini bukan transaksional, tapi tulus dari hati saya.”
Alma menatapnya lama, matanya teduh tapi tegas.
“Pak, itu artinya Bapak sedang mengundang saya masuk ke dalam kehidupan Bapak,” ucapnya pelan.
“Sedangkan saya tahu, Bapak bukan laki-laki yang single saya tidak mau menyakiti kaum saya sendiri.”
Harsya diam sejenak, lalu menghela napas.
“Kamu benar saya memang bukan pria single. Saya punya istri, saya punya anak… dan saya mencintai mereka.”
Alma menatap lurus ke arahnya.
“Lalu kenapa Bapak mengundang saya, kalau begitu?.”
Suaranya tetap tenang, tapi ada ketegasan yang tajam di baliknya.
“Sebagai pelarian?.”
Harsya menatap meja, jarinya mengetuk ringan permukaan kayu.
Bibirnya bergerak pelan, tapi suaranya nyaris bergetar.
“Bukan pelarian, Alma. Saya cuma merasa kamu bisa mengisi ruang kosong,yang tidak bisa diisi oleh Istri saya."
Alma tersenyum tipis, tapi senyumnya getir.
“Kalimat itu mungkin terdengar indah, Pak. tapi intinya sama."
Ia menegakkan tubuhnya, menatap langsung ke mata Harsya.
“Dan jujur saya tidak ingin jadi alasan seseorang lupa akan rumahnya.”
Harsya terdiam.
Suara musik dari sudut ruangan seolah mengisi ruang hening di antara mereka.
Tidak ada yang bergerak selama beberapa detik — hanya tatapan dua orang yang sama-sama mengerti, tapi memilih arah berbeda.
Harsya menatapnya dalam-dalam, tapi Alma menunduk, pura-pura sibuk dengan sedotan di gelasnya.
Keheningan sejenak jatuh di antara mereka — bukan canggung, tapi penuh sesuatu yang tidak diucapkan.
Akhirnya Alma berkata pelan,
“Jangan jadikan saya sebagai pelarian atau tempat bersembunyi”
Harsya menatapnya lama sebelum tersenyum kecil.
“Baik, Alma saya janji kamu bukan dua duanya.”
Alma mengangguk tipis, menatap ke arah musik yang mengalun di sudut ruangan.
Namun di balik ketenangan wajahnya, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
Malam itu mereka tetap berbicara — tidak lagi tentang tawaran, tapi tentang hal-hal ringan masa kecil, hujan di Semarang, dan kopi yang terlalu pahit.
Namun di setiap jeda, ada sesuatu yang tumbuh diam-diam — sesuatu yang belum bernama.