NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gue juga kenal

Tawa? Tidak. Jauh dari itu. Yang Angkasa rasakan adalah resonansi, sebuah getaran purba dari luka yang sama, dimainkan dalam kunci yang berbeda. Ia menatap siluet punggung Gilang yang menegang, sebuah benteng pertahanan yang rapuh dari seorang bocah yang dipaksa berperang terlalu dini.

“Nggak,” jawab Angkasa pelan, suaranya serak karena lama tak digunakan.

“Gue nggak ngetawain lo.”

Gilang membalikkan badannya perlahan, gerakannya kaku. Wajahnya basah oleh air mata yang coba ia sembunyikan dengan mengusapnya kasar menggunakan punggung tangan. Matanya merah dan bengkak, menatap Angkasa dengan sorot menantang yang bergetar.

“Terus ngapain lo lihat-lihat? Mau ngasih ceramah? Bilang gue harus kuat? Atau mau bilang gue cengeng?”

Setiap kata adalah duri yang dilontarkan untuk menjaga jarak.

Angkasa menggeleng pelan. Ia tidak beranjak dari ranjangnya, menghormati batas tak terlihat di antara mereka.

“Suara kayak gitu… gue juga kenal.”

Pertanyaan Gilang yang sudah di ujung lidah tertelan kembali. Alisnya berkerut.

“Maksud lo?”

“Suara orang yang berusaha nangis sepelan mungkin biar nggak ada yang dengar,” lanjut Angkasa, matanya menatap lurus ke arah Gilang, tanpa kasihan, hanya pemahaman.

“Gue sering dengar suara itu dulu. Dari diri gue sendiri.”

Dinding pertahanan Gilang retak sedikit. Ia masih menatap Angkasa dengan curiga, tetapi racun dalam suaranya berkurang.

“Sok tahu lo.”

“Mungkin,” Angkasa mengangkat bahu.

“Tapi gue tahu rasanya. Berbaring di tempat asing, dikelilingi bau obat, dan lo sadar nggak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa nolongin lo. Bahkan orang yang paling sayang sama lo sekalipun. Mereka cuma bisa nonton.”

Keheningan kembali mengisi ruangan, tetapi kali ini terasa berbeda. Tidak lagi canggung, melainkan berisi. Gilang tidak membantah. Ia hanya menunduk, menatap selimut putih yang menutupi kakinya yang tak berdaya.

“Penyakit lo apa?” tanya Gilang akhirnya, suaranya lebih lirih, nyaris seperti bisikan.

“Anemia Aplastik,” jawab Angkasa.

“Pabrik darah gue mogok kerja.”

Gilang mendengus pelan, sebuah tawa kecil yang getir.

“Cih. Cuma pabriknya. Seenggaknya mesin utamanya masih jalan. Gue? Mesin utama gue yang rusak. Gagal jantung.”

Mereka bertatapan sejenak. Dua prajurit di medan perang yang sama, masing-masing dengan luka yang berbeda namun sama-sama fatal. Sebuah gencatan senjata tak terucapkan terjadi di antara mereka.

“Jadi… lo juga lagi nunggu?” tanya Gilang.

“Nunggu apa?”

“Entah. Nunggu keajaiban, nunggu donor, atau nunggu dipanggil,” kata Gilang datar, seolah sedang membicarakan jadwal kereta. Keberanian palsu itu kembali, tetapi sekarang Angkasa bisa melihat apa yang ada di baliknya.

“Kayaknya kita semua di sini lagi nunggu,” balas Angkasa, ikut dalam permainan itu. “Lo udah berapa lama main perang-perangan sama tubuh lo sendiri?”

“Dari gue SMP. Udah empat tahun. Lo?”

“Kalau yang ini baru. Tapi gue udah perang seumur hidup.”

Gilang menatapnya, mencoba menerka.

“Perang sama apa?”

Angkasa tersenyum tipis. “Sama hantu.”

Percakapan itu berhenti di sana, tetapi sebuah jembatan telah terbangun. Selama beberapa hari berikutnya, kamar 702 berubah menjadi markas dua tentara yang terluka. Mereka tidak banyak bicara tentang perasaan, tetapi mereka menemukan cara lain untuk berkomunikasi. Mereka bersaing dalam hal-hal kecil yang absurd.

“Lihat nih,” kata Gilang suatu pagi sambil memamerkan memar kebiruan bekas infus di lengannya.

“Koleksi. Udah kayak galaksi Bima Sakti.”

“Itu doang?” sahut Angkasa dari ranjangnya, menunjuk kantong darah yang sedang ditransfusikan ke tubuhnya.

“Gue lagi isi bensin, nih. Darah premium, biar tenaganya jos.”

Mereka saling melempar lelucon-lelucon kelam, masing-masing mencoba membuktikan siapa yang lebih tabah, siapa yang lebih kebal terhadap rasa sakit. Itu adalah kompetisi keberanian yang konyol dan menyedihkan, sebuah topeng yang mereka kenakan bersama untuk menyembunyikan fakta bahwa setiap malam, ketika lampu dimatikan, mereka sama-sama memikirkan hal yang sama, kematian.

Persahabatan mereka ditempa dalam keheningan, dalam anggukan kepala yang saling mengerti saat salah satu dari mereka meringis kesakitan, dan dalam cemoohan yang sebenarnya adalah bentuk dukungan.

“Obat lagi? Rasanya pahit banget, anjir. Kayak kenangan sama mantan,” keluh Gilang saat perawat memberinya deretan pil.

“Telan aja. Anggap aja lagi makan permen rasa penderitaan,” timpal Angkasa, yang sedang berusaha makan bubur rumah sakit yang hambar.

Di tengah benteng kesuraman yang mereka bangun, Lila adalah secercah cahaya matahari. Setiap sore, ia akan datang setelah jam kerjanya selesai, membawa aroma dunia luar yang segar dan wangi makanan rumahan yang kontras dengan bau steril rumah sakit.

“Kakak datang!” serunya suatu sore, mendorong pintu hingga terbuka. Wajahnya tampak lelah seperti biasa, tetapi senyumnya tulus. Di tangannya, ia membawa sebuah rantang susun.

“Sup lagi?” tanya Gilang, tetapi kali ini tanpa nada sinis yang biasa. Ada secercah antisipasi di matanya.

“Bukan dong,” kata Lila sambil meletakkan rantang itu di nakas Gilang.

“Hari ini spesial. Sop buntut.”

Aroma gurih kaldu sapi, pala, dan cengkih yang hangat langsung memenuhi ruangan, mengusir bau disinfektan. Perut Angkasa, yang sudah terbiasa dengan makanan hambar, bergejolak pelan. Ia menelan ludah, berusaha untuk tidak terlihat terlalu menginginkannya.

“Mas Angkasa, makan bareng, ya? Aku masak banyak,” tawar Lila, seolah bisa membaca pikirannya. Ia membuka rantang itu, mengeluarkan sebuah mangkuk untuk Gilang dan satu lagi untuk Angkasa.

“Nggak usah, repot-repot,” tolak Angkasa halus, merasa tidak enak.

“Udah, makan aja, Kak. Kasihan gue lihat lo tiap hari nelan bubur kertas itu,” sela Gilang.

“Anggap aja bayaran karena udah jadi temen ngobrol gue yang nggak ngebosenin," tukas Gilang, sok cuek.

Lila tersenyum lebar mendengar itu.

“Tuh, didengar. Adik saya yang galak ini jarang-jarang muji orang, lho.”

Dengan ragu, Angkasa akhirnya menerima mangkuk yang disodorkan Lila. Uap panas mengepul dari kuah bening yang kaya rempah, di dalamnya ada potongan buntut yang empuk, wortel, dan kentang. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia makan sesuatu yang dimasak dengan niat, dengan cinta.

Sendokan pertama terasa seperti sebuah keajaiban. Rasa gurih yang kaya meledak di mulutnya, menghangatkan tenggorokannya hingga ke perut. Bukan hanya rasa daging dan kaldu, melainkan rasa ‘rumah’. Sebuah rasa yang telah lama hilang, terkubur di bawah delapan belas tahun kenangan panti asuhan dan apartemen sewaan yang dingin.

Tanpa sadar, matanya terpejam sejenak. Ia menikmati momen itu, sebuah kebahagiaan kecil yang terasa begitu besar di tengah lautan keputusasaan.

“Enak?” Suara Lila yang lembut menyadarkannya.

Angkasa membuka mata dan mengangguk, sedikit malu.

“Enak banget. Makasih.”

Lila hanya tersenyum, tetapi tatapannya berbeda. Ia memperhatikan Angkasa dengan saksama, senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh kerutan tipis di antara alisnya. Sesuatu dalam sorot matanya berubah dari keramahan seorang teman menjadi selidik tajam seorang perawat.

Gilang, yang sedang asyik menyeruput kuahnya, tidak menyadari perubahan atmosfer itu. Tapi Angkasa merasakannya. Kehangatan di dadanya tiba-tiba bercampur dengan firasat dingin.

“Mas Angkasa,” panggil Lila, suaranya kini lebih pelan dan serius. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya terpaku pada wajah Angkasa.

“Iya?”

“Bibirmu…” bisik Lila, tatapannya terkunci di sana.

“Kenapa agak biru?”

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!