NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:936
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Mata Pisau

Setelah setengah jam perjalanan, mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Roma. Azey turun lebih dulu dan segera merangkul pinggang Taeri begitu gadis itu menginjak trotoar.

Taeri menarik napas panjang, menatap Azey dengan campuran kesal dan pasrah. "Bisakah kamu... tidak merangkulku seenaknya? Ini tempat umum. Tadi di depan kampus juga... sudah menciumku di depan banyak orang. Aku bisa gila kalau terus begini," keluhnya, suaranya bergetar antara frustrasi dan geli.

Azey mencondongkan tubuh, senyumnya tipis namun menggoda. "Diamlah, sayang. Kecuali kamu ingin aku benar-benar menciummu di sini..." Nada bicaranya seperti ancaman lembut yang membuat jantung Taeri berdebar lebih cepat.

Tanpa menunggu jawaban, Azey menarik Taeri masuk ke dalam pusat perbelanjaan. Mereka berjalan begitu dekat hingga aroma parfum Taeri menusuk hidungnya, memancing senyum tipis yang nyaris tak terlihat.

Begitu mereka memasuki bagian elektronik, deretan layar besar dan kilauan ponsel terbaru langsung menarik perhatian. Seorang pegawai wanita menghampiri mereka dengan senyum canggung—lebih tepatnya gugup.

"Tuan, Nona... selamat datang di toko kami," sapanya pelan. "Ada yang bisa saya bantu?"

Azey menatapnya tanpa ekspresi, sedingin es. "Berikan dia ponsel termewah yang ada di sini," ucapnya datar, seperti perintah yang tak bisa diganggu gugat.

Taeri langsung mengerutkan kening, lalu menatap Azey dengan tidak setuju. "Tidak, kenapa kamu yang memilih?" bantahnya. "Aku ingin melihat-lihat sendiri."

Sebelum Azey sempat menjawab, Taeri mendorong dadanya pelan, sedikit kesal. "Minggir," katanya sambil berjalan ke deretan etalase. Jarinya menunjuk sebuah ponsel berwarna perak yang berkilau di bawah lampu. "Bisa ambilkan yang itu?" tanyanya pada pegawai, suaranya kini lebih lembut, namun jelas menunjukkan bahwa ia ingin memegang kendali.

Pegawai itu menelan ludah, melirik sekilas ke arah Azey yang masih menatap tajam, lalu dengan cepat menuruti permintaan Taeri.

Taeri mengambil ponsel itu, menimbangnya di tangan. Permukaan logamnya berkilau di bawah cahaya lampu toko, dingin menyentuh kulitnya. “Lumayan juga, jauh lebih mewah dari ponsel yang biasa kubawa,” gumamnya sambil memiringkan kepala, jemarinya membalik ponsel itu dengan gerakan anggun.

Ia kemudian melirik ke etalase di sebelah kanan. “Aku mau yang ini,” katanya, mengangkat ponsel itu sedikit, seolah sedang menilai. “Tapi untuk softcase-nya... ambil yang warna pink, sepertinya itu bagus. Jangan yang terlalu ramai, seleraku bukan selera anak kecil.”

Pelayan itu mengangguk cepat. “Baik, Nona. Mohon tunggu sebentar.” Ia bergegas menuju rak di belakang, gerakannya sedikit terburu-buru, seolah takut membuat Taeri menunggu.

Sementara itu, Taeri melirik Azey di belakangnya dengan tatapan dingin yang menusuk. “Jangan macam-macam,” ujarnya pelan, suaranya nyaris seperti desisan. "Aku punya uang sendiri, tidak butuh belas kasihanmu."

Azey tertawa sinis, suara rendahnya menguar di antara dengungan pendingin ruangan, terasa seperti ancaman yang tersembunyi. Ia menarik pinggang Taeri mendadak, membuat tubuh gadis itu membentur dadanya dengan keras. Ia kemudian menjilat leher Taeri dengan gerakan lambat dan provokatif, membuat gadis itu meremang jijik.

“Kenapa, sayang?” bisiknya, nada suaranya mengejek dan merendahkan. “Kenapa kamu kesal? Aku cuma mau bayar barangmu, memastikan kamu mendapatkan apa yang 'pantas' kamu dapatkan."

Taeri menoleh, matanya berkilat marah namun juga ada sedikit ketakutan yang berusaha ia sembunyikan. Ia menyikut dada Azey dengan kasar. “Jangan sok peduli padaku!” desisnya. “Dua hari yang lalu kau bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun… setelah memperkosaku, dasar bajingan!”

Kata-katanya menggantung tajam di udara, menciptakan keheningan yang tegang. Nafasnya tertahan. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari genggaman Azey yang terlalu kuat, namun sia-sia. Sendi-sendi jarinya memutih menekan lengan lelaki itu, namun Azey tetap tak bergeming, memeluk pinggangnya semakin erat, seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa.

"Jangan bermain-main, sayang. Kau tahu betul apa yang bisa kulakukan padamu di sini, di depan pelayan ini," ancamnya serius, matanya menatap Taeri dengan tatapan yang dingin dan penuh perhitungan. Taeri tahu Azey bukan orang yang bisa diprovokasi, ia menegangkan diri dalam pelukan menjijikkan yang menyesakkan dada.

Saat pelayan kembali dengan langkah cepat, membawa ponsel dan softcase yang sudah dibungkus rapi, Taeri buru-buru melepaskan diri dari genggaman Azey. Ia meraih paperbag itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Berapa semuanya?” suaranya terdengar lebih keras dari yang ia inginkan, dan ada getar tipis yang tak bisa disembunyikan.

“Tiga ribu euro, Nona,” ucap pelayan itu profesional, namun matanya sekilas melirik ke arah Azey dengan ekspresi menahan takut.

Taeri tersenyum tipis, membuka tasnya dan mengeluarkan kartu kredit dengan gerakan yang sedikit dipaksakan, berusaha menenangkan napasnya yang mulai tidak teratur. Namun, Azey memotong gerakannya.

“Ambil ini,” katanya singkat pada pelayan, lalu menoleh ke Taeri. “Jangan menantangku, sayang. Atau kau akan benar-benar menyesal.” Suaranya dingin seperti es, dan ia mendekatkan wajahnya hingga jarak antara mereka nyaris tak ada, napas mereka hampir bersentuhan. "Atau kau memang sengaja memancingku supaya kita bercinta di depan pelayan bodoh itu, hm?"

Taeri menahan kesal yang membuncah, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. “Terserah kau saja. Lakukan sesukamu. Aku tidak peduli,” sahutnya lemas, bahunya melorot tanda menyerah untuk berdebat dengan Azey.

Pelayan itu menerima kartu Azey, lalu mengembalikan kartu kredit Taeri. Setelah selesai keduanya segera pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu, meninggalkan keramaian toko yang kembali normal setelah momen ketegangan yang mencekam.

Mesin mobil berdengung pelan, mengisi keheningan di dalam mobil. Ruang sempit antara dua tubuh itu terasa semakin padat dan menyesakkan. Azey masih mengusap paha Taeri dengan gerakan provokatif, sambil tetap fokus mengemudi. Taeri menatap kosong ke luar jendela, bibirnya terkatup rapat, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.

“Aku ingin kembali ke apartemenku, jangan langsung pulang,” ucap Taeri datar, suaranya tanpa nada. Ia sudah sangat merindukan apartemennya, tempat yang terasa seperti perlindungan baginya.

“Kenapa ingin pergi ke sana? Kau ingin menjual apartemenmu, sayang?” Azey memutar kepalanya sedikit, menatap Taeri dengan tatapan dingin yang menusuk.

“Apa urusanmu bertanya begitu? Itu apartemenku, mau kujual kek, kubakar kek, terserah akulah,” jawabnya ketus, amarahnya mulai tersulut lagi. Ia mengepal paperbag di pangkuannya sampai kertasnya berkerut, rasanya ingin mencabik-cabik Azey hidup-hidup.

Azey tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Sifat galak Taeri selalu membuatnya candu, seperti racun yang manis. “Aku tidak tertarik dengan apartemen murahanmu, sayang. Aku bisa membelinya lebih dari itu, bahkan termasuk tubuh dan jiwamu.” Ucapannya pelan, namun setiap kata terasa seperti ancaman yang dibungkus dengan janji. Taeri menutup matanya sejenak, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing oleh kata-kata kejam Azey, untuk tidak membiarkan pria itu melihat kerapuhannya.

Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di depan apartemen. Tanpa menunggu, Taeri langsung keluar, langkahnya tergesa seolah dikejar sesuatu. Dari jendela mobil yang terbuka, Azey berteriak, "Hati-hati, sayang! Jangan terburu-buru begitu."

Taeri tidak menoleh. Dia menekan tombol lift, lalu menghilang di balik pintu kaca. Azey menatap kepergiannya sambil menghela napas. "Gadis itu benar-benar sulit ditebak," gumamnya, antara kagum dan jengkel.

Sesampainya di apartemen, Taeri langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Seprai dingin menyambut tubuhnya, tapi pikirannya masih kacau. "Gara-gara pria itu, aku harus meninggalkan tempat ternyaman," gerutunya sambil menendang bantal. Menatap langit-langit, ia menggerutu, "Dasar Azey... semoga besok dia ketabrak mobil atau dimakan binatang buas."

Tiba-tiba, pantulan Azey di cermin membuatnya terkejut. Pria itu bersandar santai di meja rias, seolah itu tempatnya sendiri. "Kenapa kuliah di Roma?" tanyanya datar. "Korea juga punya universitas bagus. Apa yang kau cari di sini?"

Taeri membalikkan badan, menatapnya langsung. "Aku suka Italia. Aku punya teman di sini," jawabnya kesal, menantang Azey dengan tatapannya. "Lagipula, semua hari yang aku lewati di sini sangat menyenangkan, sebelum aku bertemu denganmu."

Azey tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras. Ia naik ke ranjang, mengukung Taeri. Matanya menatap tajam. "Kalau kau pikir aku merusak hidupmu," suaranya dingin, "aku akan memastikan hidupmu hancur tak bersisa. Sampai kau merasa tidak ada kehidupan yang layak selain bersamaku, sayang." Ia membelai pipi gadis itu.

Taeri menatapnya tanpa berkedip, wajahnya tanpa ekspresi, hanya rasa ingin tahu. "Aku tahu ini lebih dari sekadar kau takut dipenjara setelah aku melihat pembunuhan itu. Ada sesuatu yang mendorongmu melakukan ini, bukan hanya ketakutan rahasiamu terbongkar. Kau bukan tipe yang mudah tertangkap," ucapnya pelan, tanpa sadar mengusap rambut Azey.

"Jadi, kenapa sebenarnya kau tidak melepaskanku?" tanya Taeri, suaranya bergetar. "Apa maumu? Kekuasaan? Keluargaku tidak sekuat itu. Balas dendam? Tapi kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Atau..." ia berhenti sejenak, menilai Azey, "sesuatu yang kau sendiri tidak berani akui. Sesuatu yang kau rindukan dalam hidupmu yang kejam dan sunyi?"

Suasana hening menyelimuti mereka, hanya deru napas dan suara lalu lintas dari luar yang terdengar samar. Tanpa diduga, Azey menekan dagunya ke dada Taeri, lalu mencium bibirnya dengan kasar dan penuh tuntutan. Taeri tak sempat menolak, rasa ingin tahu mengalahkan rasa takut. Ia membalas ciuman itu dengan lembut namun penuh gairah, menelan setiap tetes saliva Azey seolah membuka pintu ke sesuatu yang selama ini terkunci rapat.

Setelah ciuman yang membuat jantung berdebar kencang, Azey melepaskan Taeri perlahan, menatap bibir gadis itu yang sedikit bengkak. Ia tersenyum sinis. "Aku tidak melepaskanmu karena kau adalah Kim Taeri," ucapnya ambigu. "Kau berbeda, sayang." Ia mengusap wajah Taeri, "Kau yang paling bersinar di antara semua wanita di Roma, kau yang paling pantas berdiri di tempat yang kubangun dengan luka dan darah." Pengakuan yang terasa manis sekaligus menghakimi.

Taeri menatapnya sinis sekaligus kaget. "Jadi, sekarang aku adalah objek obsesi seorang pria gila?" ia tertawa kecil. "Hati-hati, Tuan. Suatu hari, aku mungkin akan menjadi kematianmu," ucapnya getir sambil menyingkirkan tangan Azey dari pipinya. "Atau mungkin kau yang membunuhku lebih dulu saat kau menyadari tidak ada lagi yang tersisa di tubuh ini selain ancaman."

Mereka terdiam, mendengar detak jantung masing-masing. Di ruangan yang dipenuhi ancaman, godaan, dan kepedihan, Azey mengangkat dagu Taeri. "Kalau itu terjadi, aku pastikan bukan karena aku ingin. Tapi karena kau membuatku tidak punya pilihan," sahutnya tegas.

Taeri menatap Azey lama, napasnya masih belum stabil. Dalam satu gerakan cepat, ia mendorong tubuh pria itu hingga terbaring di sampingnya. "Aku ingin pulang," katanya. "Aku rindu masakan Orellana." Ia melirik Azey, tersenyum mengejek. "Di mansion itu, satu-satunya yang masih tampak seperti manusia cuma Orellana. Sisanya... robot tanpa perasaan." Ia berhenti sejenak, "Sesuai dengan bosnya yang lebih mirip binatang." Lalu ia bangkit dari ranjang.

Azey bangkit, menatap Taeri dengan ekspresi yang sulit diterka. "Kau bicara seolah dirimu berbeda," ucapnya tenang, namun dengan nada yang menusuk. "Padahal, setiap kali kau mencoba menolak sentuhanku, tubuhmu justru terseret lebih dalam. Kita sama-sama binatang, hanya saja kau terlalu takut untuk mengakuinya."

Pipi Taeri memerah. Keduanya saling bertatapan, seolah setiap kata yang terucap hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih berbahaya. Dalam keheningan itu, tidak ada yang menang. Hanya ada dua jiwa yang terjebak antara kebencian dan keterikatan, bersiap melangkah keluar dari apartemen menuju kerajaan gelap yang menanti mereka.

 _____________________

Di sebuah restoran remang-remang, Yuna duduk berhadapan dengan Pak Marcelo. Pria itu tampak lebih kacau dari biasanya, mungkin karena pikirannya dipenuhi oleh pemandangan Taeri berciuman dengan pria yang tak mungkin ia lawan.

Yuna mencoba memulai percakapan ringan, namun topik pembicaraan meluncur ke arah kekhawatiran yang sama. "Pak, tahu tidak? Dua hari setelah menghilang, Taeri tiba-tiba muncul. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengangkat teleponku... anehnya, dia datang dengan Tuan Azey," kata Yuna khawatir, jari-jarinya menggulung tisu tanpa sadar. "Mereka... sempat berciuman di depan kampus."

Suara sendok yang beradu dengan cangkir Marcelo berhenti. Ia menghela napas dan menatap Yuna. "Saya sudah melihatnya tadi pagi," jawabnya pelan, seolah tak percaya dengan kata-katanya sendiri. "Saya juga penasaran, bagaimana dia bisa mengenal orang yang dirumorkan sebagai mafia seperti Tuan Azey?" Nada suaranya tenang, namun kekecewaan di wajahnya tak bisa disembunyikan. "Selama ini, dia bukan gadis yang dekat dengan siapa pun. Taeri hanya peduli pada kuliah dan pelajaran. Tidak ada waktu untuk hal semacam itu. Apa sesuatu terjadi padanya, Yuna?"

Yuna tersenyum kaku, matanya menghindar. "Saya juga tidak tahu, Pak..." jawabnya cepat. Ia menunduk, jantungnya berdebar. Dalam pikirannya, cerita sebenarnya berputar liar, hal-hal yang tidak mungkin ia katakan pada siapapun, bahkan pada keluarganya.

Marcelo menyandarkan diri di kursi, menarik napas berat. "Mungkin semua gadis yang hidup di Roma menginginkan Tuan Azey, tapi dia bukan orang yang seharusnya dekat dengan gadis seperti Taeri," gumamnya pelan. "Taeri terlalu murni untuk dunia yang sekarang ia masuki."

Yuna menggigit bibirnya, merasa bersalah. Ia tahu Taeri tidak lagi sepolos bayangan Marcelo, tapi ia juga merasa Marcelo tahu sesuatu tentang Azey. Namun, ia hanya duduk diam, membiarkan kesunyian restoran menelan sisa percakapan mereka.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!