Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Aroma kain baru yang khas menyeruak dari kotak berwarna gading di pangkuanku. Aku tersenyum, senyum tulus pertama dalam seminggu ini. Tanganku menelusuri permukaan satin yang lembut, merasakan kehalusan yang menjalar hingga ke ujung jemari. Ini bukan sekadar gaun. Ini adalah pemberontakan kecilku.
Selama dua bulan penuh aku menyisihkan sebagian gajiku sebagai desainer grafis junior, menolak ajakan teman untuk sekadar minum kopi di kafe mahal, demi gaun ini. Gaun berwarna senja, perpaduan jingga lembut dengan semburat merah muda di bagian bawahnya. Modelnya sederhana, tapi potongannya sempurna. Aku sudah membayangkan memakainya ke acara pernikahan sahabatku akhir pekan ini. Untuk sekali ini, aku ingin menjadi Arini, bukan hanya "adiknya Binar".
"Arin, kamu di dalam?"
Suara itu. Suara merdu yang selalu berhasil membuat semua atensi tertuju padanya. Pintu kamarku terbuka tanpa diketuk. Kak Binar berdiri di ambang pintu, secantik lukisan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna, kontras dengan kulitnya yang seputih porselen. Hari ini ia mengenakan blus sutra berwarna krem yang harganya mungkin setara dengan gajiku sebulan.
"Eh, Kak Binar. Iya, masuk aja, Kak," jawabku, refleks menyembunyikan kotak gaun itu sedikit ke belakang tubuhku. Sebuah kebiasaan bodoh yang mendarah daging.
Matanya yang setajam elang langsung menangkap gerak-gerikku. Senyumnya terkembang, senyum yang bisa meluluhkan hati para dewa, tapi bagiku, senyum itu adalah pertanda.
"Apa itu? Beli baju baru, ya?" tanyanya, melangkah anggun memasuki kamarku yang sederhana. Dunianya yang gemerlap seolah meredupkan cat dinding kamarku yang mulai pudar.
"Cuma ... cuma gaun biasa, Kak," sahutku pelan.
"Lihat dong," rengeknya dengan nada manja yang selalu berhasil. Ia duduk di tepi ranjangku, membuatku tak punya pilihan selain menggeser kotak itu ke arahnya.
Dengan gerakan tak sabar, jemarinya yang lentik membuka penutup kotak. Matanya berbinar saat melihat gaun warna senja itu terlipat rapi di dalamnya.
"Ya Tuhan, Arini! Ini cantik sekali!" serunya, mengangkat gaun itu. Kain satinnya jatuh dengan gemulai, menangkap cahaya lampu kamar. "Warnanya ... persis seperti warna senja di Bali waktu aku dan Mas Danu bulan madu."
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Tentu saja, semua hal indah di dunia ini harus terhubung dengannya.
"Kamu mau pakai ini ke mana?" tanyanya, matanya masih terpaku pada gaun itu, tapi aku tahu pertanyaan itu adalah sebuah interogasi.
"Ke nikahan Rere, Kak. Sabtu ini."
"Oh, nikahan Rere," gumamnya. "Aku juga diundang, lho. Sama Mas Danu, tentu saja. Acaranya di hotel bintang lima, kan? Penting banget buat relasi bisnis Mas Danu."
Aku mengangguk. "Iya, Kak."
Hening sejenak. Kak Binar meletakkan gaun itu kembali ke kotak dengan sangat hati-hati, seolah itu miliknya. Lalu, ia menatapku. Tatapan itu lagi. Tatapan anak anjing yang menginginkan mainan baru.
"Arin, Sayang ...." mulainya. Aku sudah hafal nada ini. Perutku terasa melilit.
"Kenapa, Kak?"
"Kakak boleh pinjam gaun ini, ya? Untuk acara Rere," ucapnya dengan suara semanis madu.
Duniaku seakan berhenti berputar. Dari semua kemungkinan buruk, ini yang paling kutakutkan. "Pinjam?" suaraku terdengar lebih serak dari yang kumaksud.
"Iya, pinjam saja. Kamu tahu kan, semua gaun Kakak rasanya sudah pernah dipakai ke acara-acara penting. Nanti apa kata kolega Mas Danu kalau Kakak pakai baju yang itu-itu saja? Gaun ini ... sempurna. Mas Danu pasti suka."
Napas kutahan di dada. "Nggak bisa, Kak," jawabku tegas, mengejutkan diriku sendiri. "Aku beli gaun ini khusus untuk acara Rere."
Raut wajah Kak Binar langsung berubah. Senyumnya memudar, digantikan ekspresi terluka yang dibuat-buat. "Lho, kok gitu? Kamu kan bisa pakai gaunmu yang lain. Yang biru itu juga masih bagus, kan?"
"Tapi aku mau pakai yang ini, Kak. Ini uangku sendiri," balasku, mencoba mempertahankan benteng pertahananku.
"Ya Tuhan, Arini! Perhitungan sekali, sih, sama kakak sendiri!" suaranya sedikit meninggi. "Aku kan cuma pinjam! Nanti juga aku kembalikan. Lagipula, gaun ini akan lebih ... bersinar kalau Kakak yang pakai. Kamu tahu sendiri kan, postur tubuh Kakak lebih bagus."
Sakit. Kata-kata itu menusuk tepat di ulu hati. Selalu seperti ini. Ia akan memuji, lalu menjatuhkan dalam satu tarikan napas.
"Bukan gitu maksudku, Kak. Tapi ...."
"Sssst!" Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebih lebar. Ibu berdiri di sana, membawa dua cangkir teh hangat di nampan. Wajahnya yang biasanya teduh kini tampak berkerut.
"Ada apa ini ribut-ribut? Kedengaran sampai ruang tamu, lho." Ibu meletakkan nampan di meja belajarku. Matanya langsung tertuju pada gaun di dalam kotak. "Wah, baju baru?"
"Ini lho, Bu," Kak Binar langsung mengadu, suaranya dibuat bergetar seolah akan menangis. "Binar kan mau pinjam gaun Arin sebentar untuk acara penting Mas Danu. Masa nggak boleh? Katanya ini uang dia sendiri. Sejak kapan kita di keluarga ini jadi perhitungan begitu?"
Ibu menatapku dengan tatapan menyalahkan. Tatapan yang sama yang kuterima saat aku tak mau memberikan boneka baruku pada Kak Binar waktu kami kecil. Tatapan yang sama saat aku menolak meminjamkan sepeda baruku yang akhirnya lecet karena dipakai Kak Binar.
"Arini," tegur Ibu lembut, tapi terasa seperti cambukan. "Masa sama kakak sendiri begitu? Mengalah sedikit apa susahnya, Nak? Kakakmu kan butuh untuk acara suaminya. Itu juga menyangkut nama baik keluarga."
"Tapi, Bu, Arin beli ini memang untuk dipakai ke acara itu juga," aku mencoba membela diri. Suaraku kini terdengar seperti rengekan anak kecil. Lemah dan menyedihkan.
"Kamu bisa pakai baju yang lain. Baju pestamu masih banyak yang bagus di lemari," kata Ibu, seolah keputusannya adalah final. "Sudah, Binar, kamu bawa saja gaunnya. Biar nanti Ibu yang setrika biar makin rapi."
Aku menatap Ibu, lalu beralih ke Kak Binar. Kakakku tersenyum penuh kemenangan. Senyum tipis yang hanya bisa kulihat. Di depan Ibu, ia memasang wajah penuh terima kasih.
"Makasih ya, Bu. Ibu memang paling mengerti Binar," ujarnya sambil memeluk Ibu. Lalu ia menoleh padaku. "Makasih juga ya, Arin, Sayang. Maaf kalau Kakak maksa. Habis gaunnya cantik banget."
Aku tak menjawab. Hanya bisa menatap nanar saat Kak Binar dengan riang mengeluarkan gaun itu dari kotaknya. Ia menyejajarkan gaun itu di depan tubuhnya sambil berputar di depan cermin besar di kamarku.
"Lihat, Bu. Cantik, kan? Warnanya pas sekali di kulitku," kicaunya.
"Iya, cantik sekali. Kamu pakai apa saja juga cantik, kok," puji Ibu.
Rasanya ada bongkahan es yang menyumbat kerongkonganku. Aku ingin berteriak, mengatakan pada dunia bahwa ini tidak adil. Bahwa aku lelah. Lelah menjadi bayang-bayang, lelah menjadi tempat penampungan barang-barang yang sudah tak diinginkan atau—lebih parah lagi—barang baru yang langsung direbut atas nama "mengalah pada kakak".
Kak Binar bahkan tidak repot-repot membawa kotaknya. Ia hanya menyampirkan gaun itu di lengannya. Gaun hasil kerja kerasku selama dua bulan.
"Kalau begitu Binar ke kamar dulu ya, Bu, Arin. Mau coba gaun ini sama sepatu yang baru Binar beli kemarin. Mas Danu sebentar lagi jemput."
"Iya, Sayang," sahut Ibu.
Setelah Kak Binar keluar, Ibu menatapku. "Jangan cemberut begitu. Nanti Kakakmu jadi nggak enak hati. Ingat, Arini, kebahagiaan kakakmu itu prioritas. Dia sudah banyak berkorban."
Aku tidak tahu pengorbanan apa yang Ibu maksud. Seingatku, Kak Binar selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Sekolah terbaik, mobil saat ulang tahun ke-17, pernikahan mewah dengan pria yang dicintainya. Sementara aku? Aku mendapatkan buku-buku bekasnya, mobil tua warisan Ayah, dan mungkin sisa-sisa perhatian.
"Arin ke kamar mandi dulu, Bu," ucapku, tak sanggup lagi berdebat.
Aku mengunci diri di dalam kamar mandi. Kubuka keran air sekeras mungkin, berharap suaranya bisa menenggelamkan isak tangis yang akhirnya pecah. Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Mata yang sembap, hidung yang memerah. menyedihkan.
Bunyi klakson mobil dari luar menyadarkanku. Pasti Mas Danu sudah datang. Cepat-cepat kubasuh wajahku, mencoba menghilangkan semua jejak air mata.
Saat aku keluar, aku melihat mereka di ruang tamu. Pemandangan yang seharusnya indah, tapi terasa menyakitkan. Kak Binar sedang memamerkan gaun barunya—gaunku—kepada suaminya.
"Bagus nggak, Mas?" tanya Kak Binar sambil berputar anggun.
Mas Danu, suaminya, tersenyum. Senyumnya hangat dan tulus. Dia pria yang baik, setidaknya dari yang kulihat. Tampan, mapan, dan sangat mencintai Kak Binar. Dia adalah trofi terbesar dalam hidup kakakku.
"Bagus sekali, Sayang. Kamu kelihatan seperti bidadari," puji Mas Danu. Matanya tak lepas dari sosok Kak Binar. Ia bahkan tak menyadari kehadiranku yang berdiri mematung di ujung koridor.
"Benarkah?" Kak Binar terkikik manja. "Ini gaun Arini, lho. Dia baik sekali mau meminjamkannya padaku."
Mas Danu akhirnya menoleh ke arahku. Hanya sekilas. Ada senyum tipis di bibirnya, mungkin sebuah ucapan terima kasih tanpa suara. Tapi matanya dengan cepat kembali terfokus pada istrinya, pusat dunianya.
"Adikmu memang baik," katanya, lalu mengulurkan tangannya pada Kak Binar. "Ayo, kita berangkat. Nanti terlambat."
Aku melihat mereka berjalan bergandengan tangan keluar rumah, masuk ke dalam mobil sedan hitam yang mengilap. Kak Binar melambaikan tangan dari jendela mobil dengan senyum puas. Senyum seorang pemenang.
Aku kembali ke kamarku. Mataku tertuju pada kotak gading yang kini kosong di atas ranjang. Terasa simbolis. Seperti hatiku. Kosong.
Selalu seperti ini. Sejak kecil. Aku dan barang-barang bekas milik Kak Binar. Boneka yang sudah kusam, sepeda yang sudah lecet, buku pelajaran yang penuh coretan. Aku pikir setelah dewasa dan punya penghasilan sendiri, siklus ini akan berhenti. Ternyata aku salah.
Bahkan kebahagiaan kecil yang coba kubangun untuk diriku sendiri pun bisa ia rebut dengan mudah.
Dan malam itu, saat aku menatap pantulan diriku di cermin hanya dengan piyama usang, aku bertanya-tanya. Jika gaun baru saja bisa ia ambil, apalagi yang akan ia ambil dariku di masa depan? Aku tak tahu bahwa pertanyaan itu adalah sebuah firasat. Firasat bahwa suatu hari nanti, aku bukan hanya akan mendapatkan barang bekasnya.
kan jadi bingung baca nya..