Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Perjalanan panjang akhirnya berakhir ketika roda jet pribadi mereka menyentuh landasan Bandara Internasional Incheon.
Jendela kabin berkabut tipis, dan di luar sana, butiran salju pertama musim dingin turun perlahan, menari-nari di udara sebelum menyentuh aspal yang dingin.
Sebastian berdiri lebih dulu, lalu mengambil slayer wol tebal berwarna krem dan melilitkannya dengan hati-hati ke leher Amira.
“Aku nggak mau kamu kedinginan,” ucapnya sambil merapikan ujung slayer itu ke dalam coat istrinya.
Amira tersenyum kecil, napasnya terlihat dalam uap putih.
Begitu pintu pesawat terbuka, Amira membelalakkan matanya saat melihat beberapa orang yang menyambut kedatangan mereka.
Ia melihat ada karpet merah yang biasa digunakan untuk penyambutan presiden.
Di ujung karpet, dua pria berjas hitam menunduk hormat.
“Welcome to Korea, Mr. Vanderkus. Mrs. Vanderkus,” ucap salah satu dari mereka dengan aksen Inggris yang sopan.
Amira refleks menoleh ke Sebastian yang berdiri di sampingnya.
“Bas, apa mereka salah sambut orang?” bisiknya dengan panik.
Sebastian tersenyum miring saat mendengar pertanyaan dari istrinya.
“Tidak. Mereka memang menyambut kita.”
“Tapi, kenapa pakai karpet merah? Aku bukan siapa-siapa, Bas”
Sebastian mendekat, menunduk hingga sejajar dengan wajahnya.
“Kamu adalah istriku dan itu lebih dari cukup untuk dunia memperlakukanmu seperti ratu.”
Kemudian Sebastian mengajak istrinya untuk turun dan berjalan di atas karpet merah.
Mereka berjalan menuju ke Rolls-Royce hitam yang sudah menunggu dengan pintu terbuka.
“Your residence has been prepared. The Vanderkus Winter Estate.”
Amira kembali menatap Sebastian dengan mata membesar.
“Kita, punya rumah di sini?”
Sebastian menganggukkan kepalanya dan mengatakan kalau ia mempunyai istana musim dingin di Korea.
“Bukan rumah, tapi istana musim dingin.”
Amira menutup mulutnya sendiri, hampir tak sanggup berkata-kata.
Sebastian membantu Amira masuk ke dalam mobil.
Begitu pintu tertutup, Amira langsung menarik napas panjang.
“Sebastian…” panggilnya pelan.
"Hm?"
Amira memeluk tubuh suaminya dan mengucapkan terima kasih.
Sebastian terdiam sejenak saat merasakan tubuh Amira bergetar dalam pelukannya.
Tangannya perlahan terangkat, mengusap punggung istrinya pelan.
“Kenapa menangis?” tanyanya dengan suara serak, meski sebenarnya ia sudah tahu alasannya.
Amira tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya.
Air matanya jatuh membasahi coat tebal milik Sebastian.
“Dulu, bahkan untuk naik angkot saja aku harus hitung berapa ribu yang tersisa di dompetku,” ucap Amira lirih.
“Sekarang, aku disambut dengan karpet merah dan istana musim dingin, Bas. Ini terlalu...”
Sebastian menarik wajahnya perlahan, menyelipkan jemari di antara rambut Amira sambil menatapnya dalam.
“Tidak ada kata terlalu untuk istriku.”
Amira menggigit bibirnya, sehingga air matanya terus jatuh meski ia berusaha menahannya.
Sebastian mengusap pipinya yang basah dengan ibu jarinya.
Setelah itu Sebastian mengajak istrinya masuk ke dalam mobil.
Supir mulai melajukan mobilnya menuju ke istana milik Sebastian Vettel Vanderkus.
Sepanjang perjalanan Amira melihat pemandangan yang sangat indah.
Salju turun semakin lebat, menyapu jalanan kota Incheon yang penuh lampu musim dingin.
Pohon-pohon di pinggir jalan dibalut lampu LED putih kebiruan, membuat pemandangan seperti negeri dongeng.
Amira menempelkan keningnya ke jendela mobil, kedua matanya berbinar seperti anak kecil.
“Bas…” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Aku, ingin makan potoki.”
Sebastian mengerjap, lalu menoleh dengan ekspresi bingung.
“Potoki?”
“Yang pedas, yang direbus pakai saus merah itu…”
Sebastian masih bingung dengan apa yang diinginkan oleh istrinya.
“Sosis rebus?”
“Bukan.”
“Nasi goreng kimchi?”
“Bukan!”
Sebastian mengernyitkan keningnya dan mencoba berpikir keras.
Amira akhirnya menunjuk ke luar jendela saat mobil melewati kios street food.
“Itu! Itu! Yang direbus pakai kuah merah! POTOKI!”
Sebastian mengikuti arah telunjuknya dan melihat panci besar berisi penganan yang mengapung di kuah merah pedas.
Sebastian langsung tertawa terbahak-bahak saat mengetahui apa yang diinginkan oleh istrinya.
“Sayang, itu tteokbokki, bukan potoki.”
Amira mengedip tak paham.
“Beda ya?”
Sebastian menyandarkan kepala sambil tertawa lagi.
“Namanya bukan potoki, bukan topoki, tapi tteokbokki. Ulangi.”
“Potoki.” ucap Amira dengan bibirnya yang ikut manyun.
“Sayang…”
“Topoki?”
Sebastian menghela napas pasrah, lalu mengusap wajahnya sendiri.
“Sudahlah. Mulai hari ini kita resmikan namanya potoki.”
Amira langsung bersorak gembira dan tepuk tangan kecil.
“Yaaay!”
Sebastian menepuk jidatnya saat melihat tingkah istrinya yang lucu.
"Pak, tolong carikan tempat makan yang ada topokinya." ucap Sebastian yang ikut menyebut nama topoki.
Supir menahan tawanya dan ia segera menuju ke penjual tteokbokki.
Tak berselang lama supir menghentikan mobilnya dan menunjukkan penjual tteokbokki yang paling enak.
Sebastian mengajak istrinya untuk turun dari mobil.
"Bas, kita ajak pak supir juga, ya."
Sebastian menganggukkan kepalanya dan ia memanggil Jiho untuk ikut bergabung dengan mereka.
Jiho menggelengkan kepalanya dan ia sangat malu.
Amira langsung memaksa Jiho agar ikut menikmati tteokbokki.
Jiho menghela napas pasrah, lalu berjalan mendekati kios street food dengan mereka berdua mengikuti di belakang.
Seorang ahjumma (bibi penjual makanan) menyambut mereka dengan senyum hangat.
Jiho segera berbicara dalam bahasa Korea sopan.
"Ajumeoni, tteokbokki se geureusirang odeng du gae juseyo. Gimbapdo hana chuga hae juseyo."
Ahjumma mengangguk dengan antusias saat melihat Jiho yang memesan.
"Maeopge haedeurilkkayo?"
“Mau dibuat pedas?”
Jiho menoleh ke Amira dan Sebastian yang masih membaca menu.
Amira mengacungkan jempol saat mendengar perkataan dari Jiho.
“Very spicy!”
“Jangan terlalu pedas nanti kamu batuk.” ucap Sebastian
“Sedang spicy.”
"Junggan maeunmaseuro hae juseyo.
“Sedang pedasnya, ya.” ucap Jiho yang kembali menerjemahkan kepada Amira.
Ahjumma langsung mulai memasukkan tteokbokki ke dalam mangkuk kertas.
Sambil menunggu, Amira berbisik pada Sebastian,
“Bas, aku suka sekali dengan bahasa Korea. Lucu, kayak orang lagi emosi tapi sopan.”
Sebastian tertawa, lalu merangkulnya dari samping.
Tak lama kemudian, mangkuk-mangkuk tteokbokki panas disajikan.
Uapnya mengepul dan aroma pedasnya menggoda.
Amira meniup pelan sebelum menyuap satu potongan.
Begitu masuk mulutnya—
“Mmmm!!! POTOKI!!!”
Ahjumma menatap bingung saat mendengar nama 'Potoki'
Jiho buru-buru menjelaskan sambil menahan tawa.
"Ah, jeohui anaebuni tteokbokkireul ‘potoki’-rago bulleoyo.)
“Ah, istri beliau menyebut tteokbokki sebagai ‘potoki’.”
Ahjumma langsung tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Amira.
"Potoki! Gwiyeopda!"
“Potoki! Lucunya!”
Mereka tertawa terbahak-bahak dan kembali menikmati tteokbokki.
Sebastian mencium perut istrinya yang masih makan dengan lahap.
Ahjumma melihat Sebastian yang mencium perut Amira.
"Agassi bainayo?"
“Adik manis, kamu sedang hamil?”
Amira mengerjap bingung karena tidak paham dengan bahasa Korea.
“Dia bilang apa?” tanya Sebastian.
Jiho sedikit kikuk lalu menjelaskan apa yang dikatakan oleh Ahjumma.
“Ahjumma bertanya apakah Nyonya sedang hamil.”
Amira refleks menatap Sebastian, lalu tersenyum malu-malu.
“Bilang, iya.”
Jiho mengangguk, lalu menjawab pada Ahjumma,
“Ne, baein yejeongieyo,”
“Ya, beliau sedang hamil.”
Ahjumma langsung berseru kaget namun senang.
“OMO! OMO! Gwiyeoun mati! (Astaga! Lucu sekali!)”
Dengan semangat, ia mengambilkan satu telur rebus dari panci odeng dan memasukkannya ke mangkuk Amira.
“Saya kasih gratis! Untuk bayi! Makan yang banyak biar sehat!”
Amira tak paham kata-katanya, tapi ikut mengangguk-angguk bahagia.
Sebastian tertawa kecil sambil membisiki sesuatu ke telinga Jiho.
“Tolong bilang kalau nanti kami akan datang lagi. Dan suruh dia siapkan 100 porsi potoki kalau istriku ngidam malam-malam.”
Jiho menyampaikan pesan itu dan Ahjumma tertawa sambil menepuk meja gerobaknya.
“Kalau perlu 1000 porsi juga saya buatkan! Pokoknya ‘Potoki Princess’ boleh makan gratis seumur hidup di sini!”
Amira semakin senang, langsung berdiri dan memeluk Ahjumma.
Ahjumma terkejut tapi membalas pelukan dengan hangat.
Jiho sampai menahan tawa melihat pemandangan itu.
Sebastian menggeleng pelan sambil tersenyum, menatap istrinya yang mudah sekali dekat dengan orang lain.
“Hari pertama di Korea dan kamu sudah punya julukan baru, Sayang.”
“Julukan apa?” tanya Amira sambil kembali duduk.
“Putri Potoki.”
Amira langsung terkekeh bangga dengan julukannya.
“Aku suka! Mulai sekarang panggil aku Princess Potoki.”
Sebastian mencubit hidung istrinya yang menggemaskan.
“Baik, Yang Mulia.”
Mereka bertiga kembali menikmati tteokbokki di tengah dinginnya malam musim dingin.
karna bastian mandul