Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 25~ Banyak cara untuk pedekate
Jika sanggar Ciptagelar sudah tak perlu lagi diragukan sebab amih Mahiswar akan tau setiap perkembangan dan gerak lajunya, siapa saja ronggeng dan bagaimana kondisinya. Beda dengan sanggar Mayang yang dimana----mereka akan mencuri panggung utama atas permintaan Bahureksa sendiri.
Amih Mahiswar tentu harus melihat bagaimana detail gerakan para ronggengnya terutama Sekar yang sudah mencuri perhatian pewaris tahta keraton, meski tak ia pungkiri Mayang adalah juniornya yang memiliki kemampuan mumpuni.
Sore ini, ia bermaksud kembali melihat ke pendopo tamu, sehabis mandi, namun---pintu kamarnya terbuka, sang suami yang baru saja pulang nyatanya masuk ke dalam.
"Kang, baru pulang?" ia berpaling dari cermin, dan begitu patuh menyambut suaminya, "sudah cantik begini, mau kemana?"
Bibir semerah da rah itu tersenyum, "memangnya biasanya tidak cantik? Kan akang yang bilang, kalau saya istri yang paling cantik."
Ia menyarangkan kecupan pada Mahiswar, "saya mau lihat sebentar ke pendopo tamu, kang."
Tangan-tangan kasar itu meraih pinggang se mox sang selir, "bukankah hampir setiap waktu nyai selalu melihat mereka? Lebih sering dari nyai melihat akang?"
Amih tersenyum dan terkekeh kecil, ia menggeleng, "kalau untuk sanggar Ciptagelar aku sudah tak ragu. Tapi untuk sanggar Mayang, aku penasaran, sebagus apa sampai den anom memintanya secara khusus, di panggung utama."
Ayahanda mengernyit, "oh ya?"
Amih Mahiswar mengangguk, "apa dia seperti ayahnya? Sedang mengincar seorang pekerja hiburan, seperti saya?" alisnya naik turun dengan senyuman usil.
"Bahureksa?" tanya ayahanda diangguki Mahiswar, "siapa lagi, tak mungkin yang kusebut den anom Somantri, kan? Kecuali mungkin Amar..."
Kembali Bratarana mengecup bibir sang istri, "biarkan saja. Yang penting tidak menganggu perjodohannya dengan Anjarwati. Sekarang, kamu urus akang dulu, baru akang ijinkan untuk melihat ke pendopo tamu lagi, kamu terlalu sibuk dengan mereka, sampai melupakan suami sendiri."
Mahiswar tertawa sumbang, "kakang bagaimana, ceuceu dan yayi Anarawati memangnya kemana?"
Lelaki itu berdecak, "Anarawati kan selalu sibuk di rumah sakit. Ceuceu mu, ada. Tapi untuk sekarang aku rindu dengan manjamu..."
Warna lembayung oranye keunguan mulai menghiasi langit di atas keraton, namun amih Mayang baru saja melakukan gerak olah tubuh. Tidak ada latihan berat dan berarti disini, hanya pemanasan dan beberapa gerak saja agar tubuh tak kaku dan tetap hafal pakem-pakemnya.
Seperti sekarang, ia hanya membenarkan pakem-pakem setiap penari unggulannya ini termasuk Sekar, tanpa ada musik yang mengiringi. Berteman ketukan dan hitungan gendang dari sang suami saja sudah cukup menurutnya.
"Ikutin ketukan si akang nanti, buat jadi patokan." Ucapnya.
Semua penghuni keraton baru saja kembali ke peraduan. Namun kini, entahlah...mereka seperti terhipnotis untuk datang ke pendopo tamu.
Seperti sekarang, amih Mahiswar yang baru saja keluar dari kamarnya, diikuti Andayani yang selalu excited melihat kegiatan seni begini.
"Mayang, maaf tadi saya ada keperluan mendesak. Jadi baru bisa kesini kali ini..."
Sari menghentikan sejenak gerakannya, begitupun Sekar yang mendongak diantara duduknya bersama teh Ros dimana kedua gadis ini justru sedang main ayam-ayaman dengan kedua jempol mereka.
Seketika mereka dibuat diam dan serius saat kehadirannya.
Andayani yang berada di samping Mahiswar melirik Sekar dengan senyumannya, sementara Sekar mengangguk sopan meski usia gadis itu dibawah usianya, namun status gadis SMP itu jauh di atasnya.
"Oh, ngga apa-apa nyai ayu."
"Jadi, boleh saya melihat sampai mana gerakannya?"
Anggukan amih Mayang lantas membuat ke 7-nya berdiri termasuk Sekar.
Amih Mayang memberi isyarat pada sang suami untuk memberikan lagu yang ia mau. Namun belum mereka mulai. Kehadiran beberapa orang membuat mereka cukup terkejut.
"Anda, dipanggil bunda!" seru seseorang, ia Amar...datang bersama Somantri dan Wardana. Disusul Bahureksa di belakang mereka.
"Anda lagi liat ini, ah! Bunda nyuruh apa memangnya?"
"Ini ada apa rame-rame begini?" tanya Mahiswar.
"Saya hanya mau mengecek persiapan, amih." Jawab Bahureksa yang justru membuat Mahiswar mengernyit, harus ya? Tumben? Tak usah!
Somantri menggeleng dan mendengus, "aku cuma mau ijin, mi."
"Kemana?" tanya nya. Sari sudah gemas mere mas tangan Sekar saat lelaki pujaan hati ada disana dengan gaya dan tampang kalemnya.
"Ada acara bersama teman-teman yang harus aku datangi, tidak lama selepas isya aku pulang." Ia mengedarkan pandangan dan melihat Sari, hanya tersenyum sekilas dan kembali melihat ibunya.
Alis Mahiswar terangkat, "tumben sekali, biasanya den Amar yang paling getol kalo ada acara atau keluyuran begini?" ujarnya. Amar yang sejak tadi sudah mencuri pandang pada Sekar justru menggeleng, "amih bisa saja. Mana pernah aku keluyuran..."
Reksa tertawa sumbang, seolah suara amih Mahiswar membelanya, "tidak pernah sekali maksudnya? Kamu yang paling senang keluyuran ngga jelas malam-malam."
Niat hati menyerang Amar, namun adiknya itu selalu punya cara untuk membalas, "ahh, begitu ya. Tapi sepertinya kelakuanku itu akan berubah dan membaik kalau seandainya ada pawang tersendiri." Liriknya pada Sekar yang kepergok melihatnya lalu membuang pandangan.
Mahiswar tertawa, "astaga. Sudah-sudah...mengganggu pekerjaan saja, ayo Mayang teruskan, dan kalian....diam, jangan mengganggu lagi. Lagipula kalian tidak perlu disini, tidak perlu sampai repot-repot ikut mengecek persiapan."
Somantri pergi, Andayani kembali dengan hentakan kakinya ke pendopo bersama wajah yang telah keruh.
Siap, suami amih Mayang mulai menepuk gendangnya, para ronggeng bersiap menunjukan aksinya.
"Kakang Amarrr! Kakang bohongin Anda! Bunda justru ngga panggil Andaaaa!"
"Astagfirullah!" kini seru Mahiswar.
Reksa tertawa, "kamu seperti tidak tau saja kakangmu yang satu itu tukang bohong, Anda."
Amar nyengir berlari menghindari Anda yang sudah siap mendaratkan bogemannya membuat semua tertawa termasuk Sekar.
Dan Amar menikmati wajah itu, dimana Reksa pun baru melihat itu dan semakin terpesona.
Reksa sudah harus pamit undur diri saat kang Ridwan memanggilnya, begitupun amih Mahiswar yang sudah berlalu untuk bersiap makan malam.
Para pengisi acara disediakan makan ala prasmanan di tempatnya sendiri, mereka bercampur dan berbaur satu sama lain meski beda sanggar.
Beberapa ambu menyiapkan dan menyediakan hal itu, begitu kontras dengan kehidupannya---apakah Mak dan bapak sudah makan? Jayadi, Wi dan Laksmi? Apa yang mereka makan? Ingin rasanya membungkus untuk mereka.
Sekar sempat melamun dan tertegun sampai salah satu Ambu yang turut menyiapkan makanan itu menegurnya, "Sekar?"
"Ambu Sri?" seru Sekar.
"Ya ampun, ikut ngisi acara ngibing disini?" tanya nya lantas pandangannya jatuh pada amih Mayang, Sari, Yani, Ros dan yang lain.
"Iya." Senyum Sekar, dan Sri terlihat mengelus dadanya, "Alhamdulillah."
Ia sangat tau bagaimana kondisi ekonomi keluarga Eeng, bapak Sekar.
Lantas Sekar duduk melantai, ditemani Ambu Sri yang juga ikut makan. Mengobrol bersama sampai akhirnya....
"Ambu ngga pulang hari ini? Jajang di rumah sama bapaknya?" tanya Sekar.
"Pulang. Habis ini selesai, Alhamdulillah bapaknya Jajang kan sudah ada motor, meski butut lumayan buat antar jemput kalau tugas disini memakan waktu seperti sekarang."
Ah iya, Sekar baru ingat itu.
"Disini 3 hari kan, Kar?" tanya Ambu diangguki Sekar, "besok rencananya mau nyekar ke makam beberapa Ais pangampih disini, katanya minta ijin...terus mandi kembang dulu, kayanya tau kalo aku bukan da rah biru, Ambu jadi disuruh mandi, takut bawa da rah kotor."
Ambu Sri tertawa kecil dan mengangguk paham "ada-ada saja kamu. Hati-hati, jaga perilaku ya, Kar...disini."
Sekar mengangguk, "kalau gitu, aku ikut sampai gerbang sekalian jalan-jalan sedikit, bosen di pendopo terus."
"Boleh," Ambu Sri mengangguk sambil menenteng dompetnya yang ia masukan ke dalam ku tang baju.
"Ngga kebayang kalo aku tinggal disini, pasti ngga betah harus seharian di dalem kaputren atau keraton. Pantes kalo anak-anak sultan sering keluyuran." bisik Sekar kini berjalan bersama ambu Sri.
Wanita itu tertawa, "mana Kanjeng Gusti Ayu galak dan tegas lagi, jangan mau lah...kamu ngga akan betah." ia tertawa juga, untung saja mereka sudah sedikit menjauh dari Mande dan area kompleks kaputren.
Suara binatang malam bertrakea turut serta menutupi bisikan-bisikan Sekar dan ambu Sri, "tapi ambu betah kerja disini."
"Betah lah, betah sama uangnya, Kar..."
Kembali mereka tertawa sambil bercengkrama, diantara suasana syahdu lingkungan keraton, lembayung senja sudah hilang tak berbekas berganti gelap saat ini. Menyisakan keheningan dan kesunyian.
Hanya lampu-lampu neon putih yang berpendar sebagai hal terakhir yang menguarkan kehangatan. Bangunan kokoh di belakang mereka yang didominasi cat putih dan coklat, dengan tidak meninggalkan aksen batu-bata ciri khas keraton di masa jaman Majapahit itu lantas menjadi saksi jika Sekar pernah menjejakan kaki dan namanya di sebuah keraton bernama kasepuhan.
"Kar, ambu pulang dulu." Tunjuknya di gerbang belakang yang secara khusus dibuka untuk para abdi dalem, biyung, Ambu ini bolak balik bekerja serta pulang ke rumah masing-masing. Penjaga juga selalu disiagakan menjaga dimana di balik pagar besi tinggi itu, suami ambu Sri telah menunggu.
Langkah Sekar terhenti lantas melambaikan tangannya pada tetangganya itu.
Masih menatap Ambu Sri yang sudah naik ke atas boncengan motor dari balik pagar keraton, Sekar masih menikmati suasana malamnya disini, udara sejuk, tak banyak orang, hanya berteman kesunyian dan dingin.
Kakinya memutar untuk berbalik, namun ia cukup terkejut, saat tepat di belakang badannya seseorang sudah berdiri.
"Astagfirullah!"
"Aku kira kamu mau kabur...makanya ku ikuti."
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪
kedua kurang mempersiapkan strategi , kelamaan memantau.
ketiga anda kurang beruntung itu aja
maaf ya kamu keduluan sama adekmu tuh yg namanya amar, dia tawarin Sekar jadi. istri satu²nya
amihh jembar anakmu nih yaa yg k3gatelan sama Sekar bukan Sekar yg menggoda